Jeratan Tobat Sambel

Ilustrasi

Oleh: Kang Endi

Angin berhembus perlahan di antara pepohonan yang rindang. Angin lembut itu menyapa dua anak manusia yang tengah istirahat di sebuah gubuk di pinggir ladang. Perlahan, angin lembut itu mampu menghilangkan keringat yang mengucur di sekujur tubuh Abah Leman dan Ahmad Jalu. Hampir setengah hari mereka baru selesai mencangkul tanah. Membuat gundukan tanah, memanjang berukuran dua meter dengan lebar setengah meter. Mereka berdua menyandarkan punggung mereka di tiang gubuk yang terbuat dari bambu.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga!" Abah Leman mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dengan handuk kecil.

Ahmad Jalu hanya terdiam seraya mengatur nafas lebih tenang. Ia hanya memandang gundukan-gundukan tanah yang berada di depannya. "Lumayan luas juga, Bah," katanya.

"Hari ini, kita cukup membuat gundukannya. Sudah banyak. Besok pagi, kita tanam bibit pohon ubinya. Mungkin kita minta bantuan Mang Juju, agar cepat selesai."

Tiba-tiba, dari arah samping datang seorang gadis dengan lelaki setengah baya. Gadis berjilbab biru itu bernama Siti Rahmaniah atau akrab dipanggil Rahma, ia adalah puteri bungsu Abah Leman. Sementara lelaki tengah baya bernama Mang Juju, ipar dari istri Abah Leman, yang selama ini ikut membantu setiap kegiatan Abah Leman.

"Assalamu alaikum...," sapa mereka berdua dengan ramah.

"Wa alaikum salam. Alhamdulillah, makan siangnya sudah datang. Masak apa?" tanya Abah Leman.
 
Gadis  itu kemudian menyajikan dua tumpukan rantang dan sebuah teko di hadapan Abah Leman. "Ini kesukaan Abah. Ikan asin, sambel, tempe, lalapan, dan sayur asem," kata Rahma.
 
"Ayo, kita makan bareng. Abah memang sudah lapar nih," ajak Abah Leman.

Kemudian, mereka berempat menikmati makan dengan lahap. Sesekali mereka tersenyum bersenda gurau. Muka mereka tampak berkeringat karena rasa pedas dari sambel yang mereka nikmati. "Wah, sambelnya padas sekali," cetuk Ahmad Jalu.
 
"Ya namanya sambel, pasti pedas. Kalau yang manis itu namanya sirop," Abah Leman meledek.

"Betul, Bah," Rahma mengaminkan.

Selang beberapa menit mereka selesai. Rahma membereskan lalu menumpuk kembali rantangnya. Seperti biasa, Abah Leman menikmati teh tubruk yang tersaji di cangkir besar. Ahmad Jalu dan Mang Juju masih merasakan pedasnya sambel. Tampak dari bibirnya yang masih memerah dan mengeluarkan suara.

"Kenapa ya. Sudah tahu sambel itu pedas, tapi masih saja dimakan?" kata Ahmad Jalu.

"Karena sambel menambah kenikmatan saat kita makan. Rasa pedas yang ada merupakan tantangan tersendiri," balas Abah Leman.

"Betul Bah, kalau makan tidak pakai sambel, kurang afdol. Padahal sudah tahu resikonya, perut panas, dan mules," tambah Mang Juju.

Abah Leman tersenyum, "Jalu, dari sambel ini kita bisa ambil pelajaran, lho," kata Abah Leman.

"Pelajaran apa, Bah?"

"Wah, Abah itu hebat. Apa saja bisa jadi bahan ilmu," ujar Mang Juju.

"Mumpung Abah inget. Banyak orang menyebut istilah tobat sambel. Mungkin kamu juga pernah mendengarnya," tanya Abah Leman.
 
"Pernah memang. Tapi Jalu belum terlalu paham maksud dari tobat sambel," katanya.

"Begini, Jalu," Abah Leman memulai, "Banyak orang mengaku tobat, mengaku insyaf, tapi beberapa hari kemudian kambuh lagi melakukan maksiat. Tobat bilangnya, tapi melakukan lagi. Kebetulan satu sifat maksiat itu seperti sambel, bikin penasaran dan ketagihan, meski berdosa."

"Contohnya seperti apa, Bah?" tanya Ahmad Jalu.

"Banyak. Contoh di kalangan anak muda gampang, mereka mengaku tobat dari minuman keras dan narkoba, tapi hanya beberapa hari. Besok-besoknya, kambuh lagi minum. Pas giliran ada yang mati karena overdosis, baru insyaf. Ternyata sebentar saja, paling hanya sebulan, kemudian mabuk lagi, sakau lagi. Nah  itu namanya tobat sambel," Abah Leman menjelaskan.

"Terus, Bah? tanya Mang Juju.
 
"Di kalangan orang dewasa juga banyak. Giliran ada musibah, atau ada masalah, banyak utang, atau anggota keluarga meninggal, tiba-tiba rajin sholat, rajin berdoa, rajin ke mesjid. Tapi hanya sesaat. Kemudian mereka bermaksiat lagi. Apalagi kalau sudah banyak uang, suka lupa diri. Kebiasaan taat saat sedang susah tidak lagi dilakukan. Jadi ninggalin sholat lagi, tidak berdoa lagi, dan tidak kelihatan lagi pergi ke mesjid," lanjut Abah Leman.

"Kenapa bisa begitu, ya?" tanya Ahmad Jalu.

"Kalau jawaban para alim ulama, itu bergantung tingkat keimanan yang dimiliki. Kalau orang sudah memiliki keimanan dangan benar dan kuat, biasanya tidak akan begitu. Kalau sudah tobat, ya tobat seterusnya. Istiqomah, bahasa anak sekolahnya, konsisten. Bahasa agamanya tobat nashuha. Atau tobat yang sesungguhnya."

"Berarti tobat sambel itu tobat yang pura-pura?"

"Betul, Jalu. Menurut para ulama, ada beberapa unsur sehingga disebut tobat nasuha. Pertama, rasa penyesalan karena telah berbuat dosa, atau berbuat maksiat disertai rasa takut adzab dari Allah. Kedua, berniat dan berusaha tidak terjerumus lagi kepada perbuatan dosa tersebut. Ketiga, karena rasa menyesal, diikuti oleh ibadah yang banyak. Satu saja, unsur tersebut tidak ada,  berarti orang tersebut belum tobat bersungguh-sungguh," jelas Abah Leman.

Ahmad Jalu, Mang Juju dan Siti Rahmaniah yang sudah kembali bergabung, terdiam merenungi penjelasan Abah Leman yang benar-benar meresap ke dalam hati. Sesekali terdengar suara kicauan burung di antara gesekan suara dedaunan.
 
"Abah, kalau ciri tobat seseorang diterima Allah, bagaimana?" Rahma kini yang bertanya.

"Wah, berat pertanyaannya. Urusan diterima tidaknya tobat seseorang adalah urusan Allah. Kita tidak bisa tahu. Tapi masih menurut ulama, ada beberapa ciri kalau orang tersebut benar-benar bertobat. Orang tersebut akan memilih teman dan lingkungan yang baru, yang bisa mendekatkan diri beribadah. Misalnya, dulu temannya orang begajulan sekarang temannya ustad, orang sholeh. Dulu tempat bermainnya di tempat-tempat hiburan, di pinggir jalan, kini sering ke mesjid atau majlis ilmu. Lisan dan sikapnya akan benar-benar dia jaga. Kalau dulu sering berkata dan bersikap sia-sia, berbohong, sekarang sebaliknya. Dia bicara sesuatu yang benar dan bermanfaat, serta rajin beribadah. Nah, itu sebagian tanda yang bisa kita ketahui dari orang yang tobat nasuha," beber Abah Leman.

"Berarti kalau orang yang tobat sambel itu seperti main-main, dong?" tanya Ahmad Jalu.
 
"Betul, bisa disebut demikian. Allah tidak senang dengan orang yang mempermainkan agama. Selain yang tobat kambuhan, Allah juga mengancam orang yang rajin beribadah tapi dengan sengaja berbuat maksiat. Sholat rajin, mengaji rajin, tapi korupsi, berzinah, berbohong, tetap saja dilakukan. Ancaman untuk orang seperti ini, api neraka yang menyala-nyala," tegas Abah Leman.
 
Suasana tampak hening. Angin yang berhembus siang benar-benar membuat segar. "Tapi kenapa banyak orang yang menunda-nunda tobat, Bah?"

"Ini juga kenyataan yang ada di masyarakat kita. Banyak orang menunda-nunda tobat. Banyak yang berpikir, tobat itu nanti saja kalau sudah tua. Selagi masih muda, berpuas-puas diri melakukan maksiat, padahal ini keliru besar."

"Benar, Bah. Jalu lihat, rata-rata yang rajin ke mesjid atau mushola adalah mereka yang sudah renta, pensiunan, sudah bungkuk, kadang jalan saja sudah susah," tukas Ahmad Jalu.

"Alhamdulillah, itu masih mendingan. Sudah tua sadar dan memperbanyak ibadah."

"Daripada sudah tua, tapi tetap maksiat kan?" sergah Mang Juju.

"Sebenarnya, bertobat itu tidak perlu menunda-nuda. Dari sekarang, dari seumur kamu, Jalu. Kita harusnya bertobat, minimal dengan membaca istigfar. Rasulullah Saw, yang hidupnya mulia tanpa dosa saja sehari beristigfar 100 kali. Apalagi kita, yang setiap saat pasti tergelincir maksiat, sudah seharusnya sering-sering beristigfar," katanya.

"Kalau perlu, ribuan kali, Bah," cetuk Mang Juju.

Abah Leman mengangguk tanda setuju. "Yang terpenting, jangan berpikir dosa besar atau dosa kecil yang kita lakukan, tapi kepada siapa kita melakukan dosa. Kan kepada gusti Allah. Kalau orang sombong, lihat dosa itu seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dianggap sepele. Tapi kalau orang beriman, seperti para sahabat nabi, melihat dosa itu seperti gunung di depan mata yang siap menimbunnya."
 
"Abah, sebentar lagi Dzhuhur," Rahma mengingatkan.

Abah Leman menengadahkan kepala ke langit. Tampak matahari sudah berada di tengah-tengah. "Alhamdulillah, tidak terasa waktu. Yuk kita pulang. Mang Juju, besok jangan lupa, bantu Abah nanam pohon ubi," pinta Abah sambil melirik Mang Juju yang berada di sampingnya. (***)  Penulis pernah bekerja sebagai jurnalis di beberapa media massa di Jakarta. Saat ini bekerja sebagai pendidik di SPM Menteng, Jakarta.
 


                                                                                                                                 Jakarta, 24/2/2016
 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar