Suksesi PWI Pelalawan Jelang Pilkada 2020: Jadilah Seperti Muara...

net

                         Oleh: Andy Indrayanto

PERHELATAN 'besar' sebentar lagi akan berlangsung di padepokan kahyangan. Perhelatan ini dalam rangka memilih pimpinan padepokan yang anyar untuk tiga tahun ke depan. Setelah dua (2) periode tampuk padepokan dipegang oleh orang yang sama tanpa perubahan berarti, kini tanggung jawab padepokan akan beralih ke sejumlah kandidat yang telah menyatakan dirinya untuk maju. Itulah yang tengah dibahas dan diobrolkan para santri dan pinisepuh di Balairung, yang berada di seberang padepokan.

Di luar Balairung, tanpa bermaksud menyaingi, perhelatan yang skalanya lebih besar dari padepokan, akan juga berlangsung dalam hitungan bulan saja. Sama seperti tampuk pimpinan di padepokan yang telah memegang selama dua periode, Sang raja di Kerajaan Mayapada pun telah menjabat dua periode, dengan masing-masing lima tahun kepemimpinannya. Sebentar lagi usai masa baktinya, Sang Raja baru pun akan ditentukan nasibnya oleh rakyat kerajaan; apakah Sang Raja lama mampu menurunkan trah-nya ke darah dagingnya atau Sang Raja baru akan digantikan oleh sosok yang lain.

Gonjang-ganjing kian hari kian semarak di seluruh sudut-sudut pelosok kerajaan. Jagoan tiap kelompok diajukan dengan sejuta janji dan sebuncah harapan. Sejauh ini, empat jago yang muncul sudah mulai menabur janji, harapan serta mimpi-mimpinya, dan mereka terus berlomba memenangkan hati rakyat kerajaan. Ini tak berbeda jauh dengan kondisi internal di padepokan, dalam hitungan bulan jelang Suksesi, sejumlah nama muncul diiringi publisitas yang memukau. Semua saling berlomba dan menabur janji untuk membuat yang terbaik bagi para santri.

Tekad merubah image padepokan yang selama ini tak pernah menyentuh ke masyarakat bahkan cenderung berlindung di balik jubah kebesaran padepokan, juga kemandirian padepokan yang tak bergantung dengan dana kerajaan, serta kesejahteraan para santri yang sampai saat ini masih di awang-awang, menjadi tawaran yang disodorkan pada para santri, baik yang punya hak dalam memilih tampuk padepokan maupun tidak. Perhelatan tampuk padepokan meski levelnya tak bisa disamakan dengan perebutan tahta di Mayapada, namun tak urung menjadi bahan diskusi tak kalah menariknya di kalangan para patih
Mayapada.

Menariknya, karena suksesi padepokan digelar hanya beda hitungan hari saja dengan pemilihan tahta di Mayapada. Dan itu menjadi penilaian dan analisa tersendiri bagi para santri bahkan pinisepuh padepokan. Apalagi saat ini, ada paradigma berkembang bahwasannya para kandidat padepokan memiliki dukungan masing-masing dari jagoan yang akan maju ke tahta mayapada. Artinya, ada "dukungan" tak tertulis dari para kandidat yang akan maju ke tahta Mayapada ke para calon pemegang tampuk padepokan, berikutnya. Tak ada yang salah dengan paradigma itu. Sah-sah saja setiap santri atau pun pinisepuh bahkan sejumlah patih menilai seperti itu.

Suksesi di padepokan yang berdekatan dengan pemilihan tahta di mayapada, membuat korelasi ini menjadi penilaian logis dan masuk akal bagi para santri. Dalam level yang lebih tinggi lagi, siapapun yang bertahta cenderung memang akan memilih orang-orangnya sendiri di setiap lini. Itu sudah hukum alam.

Suksesi padepokan kali ini kemungkinan bakal alot, guna mencari penerus padepokan. Bagai sebuah 'kutukan', nama yang terpilih menjadi pimpinan padepokan, kelak harus rela meluangkan waktunya lebih banyak guna membenahi padepokan yang kini seperti pepatah, "hidup tak mau mati pun segan", tanpa ada program nyata yang menyentuh ke masyarakat banyak. Sumbangsih padepokan bagi pembangunan di Mayapada, belum terlihat secara real selain sebatas hanya sebagai mitra. Sebuah kata yang sebenarnya masih perlu lebih banyak lagi didiskusikan.  

Meski mengemban tugas yang berat bagi yang terpilih memimpin padepokan nanti, tapi jangan ditanya soal keseriusan para kandidat padepokan yang mau maju memegang tampuk selanjutnya. Karena seabgreg tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh padepokan dari hasil Musyawarah di hari H pemilihan nanti, bukan lah sesuatu yang bisa diemban setengah-setengah. Jika keluar dari patron dan pakem yang ada, sanksi padepokan dengan pengawasan para santri dan pinisepuh senior sebagai anggota kehormatan padepokan di tingkat berlapis, akan menunggunya.

"Kenapa, ya, bisa terjadi seperti itu?" Seorang santri muda bertanya di tengah obrolan para santri senior, di suatu senja, masih di Balairung.

Satu perbedaan nyata yang terjadi dari kontroversi pemilihan pimpinan padepokan dan kerajaan, tak lain adalah "kehidupan". Di padepokan, pemegang tampuk pimpinan bukan berarti ia akan mendapatkan fasilitas bak Sang Raja di Kerajaan Mayapada. Di padepokan, ia harus rela mengabdi tanpa pamrih. Ia harus rela waktunya bersama keluarganya bakalan tersita untuk mengurus serta membenahi padepokan, agar lebih berarti bagi masyarakat. Ia harus mampu mengurus bukan padepokan saja, tapi juga para personal para santri yang kadang kerap mbalelo sepak terjangnya. Sejalan dengan itu, keutuhan, kekompakan serta kebersamaan padepokan harus tetap dijaga tanpa adanya intrik-intrik atau conflict interest dirinya sebagai pemegang tampuk padepokan dengan berbagai kepentingan yang menggoda.    

Diakui atau tidak, jabatan menjadi pimpinan di padepokan memang menggiurkan. Sejumlah realitas sudah membuktikan hal itu, baik di tingkat padepokan maupun pesanggrahan. Tak hanya nama pimpinan secara personal yang melambung, namun berbagai tawaran lain yang rata-rata bersifat kepentingan pribadi nyaris akan datang menghampiri secara otomatis. Betapa tidak, menjadi pimpinan padepokan yang diisi oleh para santri terpilih dengan kapasitas intelektual yang telah teruji, tlah menjadi sorotan yang tak terelakkan oleh publik. Di sinilah terkadang titik persoalannya, karena godaan serta berbagai tawaran yang menggiurkan itu yang pada akhirnya membuat 'kepentingan pribadi' menjadi tumpang tindih dengan 'kepentingan padepokan'.  

Namun bagi padepokan yang bersifat profesional dalam kinerja, sudah semestinya para kandidat padepokan memiliki sikap dan karakter tersendiri dalam memimpin padepokan kelak. Sikap menjaga jarak dan tarik ulur perlu dimiliki oleh seorang leader yang akan memimpin padepokan nanti. Bukan sikap menghamba - akibat conflic interest yang terjadi - yang akan menjadi wajah padepokan berikutnya.

Akhirulkalam, gong suksesi padepokan yang akan digelar kurang dari tiga purnama lagi itu, kini sudah ditabuh seiring terbentuknya kepanitian perhelatan. Gaung suksesi padepokan sendiri jauh-jauh hari sudah menggema dengan pernyataan sejumlah kandidat yang ikut-ikutan menggelar deklarasi, seolah menjadi latah mengikuti deklarasi para kandidat yang maju merebut tahta di Mayapada. Namun apapun itu, deklarasi atau tidak, semua berpulang pada masing-masing kandidat yang akan merebut pimpinan padepokan.

Karena yang terpenting ke depan, tampuk pimpinan padepokan harus mampu menjadi seperti muara. Ia mau menerima air tawar, air asin bahkan air yang tak sehaluan untuk ditampung. Dengan menjadi seperti muara yang mau mewadahi semua air dari berbagai jenis latar belakang, mudah-mudahan ke depan padepokan yang diisi para santri mumpuni ini bisa memiliki sikap dan karakter yang mampu menjaga marwah padepokan. Sikap tidak menghamba pada kekuasaan dan mampu menjaga jarak, juga karakter tegas tanpa harus ada embel-embel 'kepentingan pribadi' di dalamnya. Dan arti kata "kemitraan" juga bisa lebih diperjelas lagi. Semoga! *** (Penulis adalah anggota PWI Pelalawan)      


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar