Manusia Pensil
Matahari mulai meninggi. Udara terasa segar. Ahmad Jalu baru selesai melakukan joging pagi. Ia duduk di teras mushola sambil mengatur pernafasan. Tampak t-shirtnya basah oleh keringat. Tak jauh dari dirinya duduk, Abah Leman tengah asik menulis di buku yang terbuka di atas meja kecil yang biasa digunakan anak-anak mengaji. Tangannya menari-nari perlahan diiringi dengan konsentrasi yang terpancar dari sorot matanya.
“Serius banget, Bah. Sedang nulis apa? Surat cinta, ya?” ledek Ahmad Jalu.
“Keppo, deh," jawab Abah Leman sambil terus menuliskan beberapa kalimat, “Abah lagi nulis do’a," lanjutnya.
“Do’a apa, Bah?”
“Ada beberapa. Doa sehari-hari yang sering kita panjatkan setiap selesai sholat. Abah menulis lagi takut lupa.” Abah Leman kembali menggerakkan pensilnya di atas buku.
Setelah beberapa saat, Abah berhenti menulis lalu tangan kanannya mendekatkan pensil ke arah Ahmad Jalu. “Coba perhatikan pensil ini! Ada yang cukup penting dibanding tulisan Abah.”
“Hmmm... biasa saja, ah. Pensil ini tidak istimewa. Hanya sebatang pensil yang terbuat dari kayu, dicat biru dan hitam.”
“Memang, itu fisiknya.”
“Terus, apa yang harus dilihat lagi, kalau bukan fisiknya?” cecar Ahmad Jalu, penasaran rupanya.
“Bergantung sudut pandang. Nak, ada beberapa pelajaran yang bisa kamu ambil dari sebatang pensil yang kecil ini.”
“Pertama…,” Ahmad Jalu mendahului sambil cengengesan.
“Hmm, bisa saja kamu, Jalu. Pertama, pensil ini bisa menulis kalimat pendek, bisa menulis kalimat panjang. Bisa satu baris, bisa satu halaman atau bahkan satu buku. Bisa juga menggambar atau melukis. Bisa menggambar sebuah pohon, bisa menggambar buah-buahan yang kecil, bahkan bisa juga menggambar pemandangan gunung yang besar. Tergantung tangan yang mengarahkan," ungkapnya.
“Betul, Bah. Jalu juga kebetulan suka menggambar.”
“Jalu, manusia juga ibarat pensil...," Abah menggantungkan kalimatnya.
“Masa, sih? Kok bisa?”
“Ini perumpamaan, Jalu. Manusia adalah pensilnya. Sementara amal sholeh dan perbuatan adalah tulisannya. Kita bisa beramal sholeh dan beribadah, tergantung dari arahan Allah Swt. Arahan itu yang sering kita dengar dengan sebutan taufik dan hidayah.”
“Kalau kita tidak mau beribadah, dan tidak beramal sholeh, berarti tidak dapat taufik dan hidayah dari Allah Swt. Begitu kan?” Ahmad Jalu mengajukan pertanyaan kritis.,
“Kata para ulama begitu, tapi bukan berarti kita berdiam diri dan merasa aman berada dalam kondisi tidak mau beramal dan tidak mau beribadah. Makanya, kita perlu menuntut ilmu agar sadar siapakah yang sering mengarahkan hidup kita, Allah SWT atau syetan.” Abah Leman menarik napas.
“Berarti kalau kita tidak diberi taufik dan hidayah oleh Allah Swt, kita tidak berdosa dong?” pertanyaan Ahmad Jalu tambah menajam.
“Kebanyakan orang berpikir begitu, mau enaknya saja. Apalagi kalau kaum yang menyandarkan pemahaman agama sebatas logika manusia. Ini bahaya. Memang, taufik dan hidayah itu tidak datang kepada setiap orang. Tapi kita juga harus mempersiapkan diri menjadi orang-orang yang layak dipilih Allah untuk diberi hidayah."
“Terus yang kedua, Bah,” Ahmad Jalu makin penasaran.
“Kamu terlalu bersemangat," Abah diam sejenak, lalu katanya, "Kedua, dalam menulis kadang pensil menjadi tumpul kadang patah. Seperti itu juga hidup kita. Kadang semangat kita melemah atau bahkan putus asa karena banyak masalah atau persoalan hidup. Jika pensil memiliki pengraut untuk menajamkan kembali, kalau kita memiliki Al Quran dan sering-seringlah menghadiri majelis ilmu, membaca kitab, mendengarkan ceramah, untuk menumbuhkan kembali
semangat yang ada pada diri kita," bebernya.
Ahmad Jalu mengangguk-angguk, mencoba memahaminya.
“Nah, yang ketiga adalah di setiap pensil biasanya akan dilengkapi dengan karet penghapus.”
“Kalau ini saya tahu fungsinya, Bah. Jika pensil menggoreskan sesuatu yang salah, maka karet itu menghapusnya.”
“Pintar kamu, Jalu. Kita juga sebagai manusia, pasti melakukan kesalahan. Kita bukan malaikat. Baik dalam beribadah atau beramal sholeh, kita kadang masih keliru. Jika kita melakukan hal tersebut, segera bertobat dan meminta ampunan kepada Allah. Agar lembar kehidupan kita yang salah segera dihapus, dan bisa menulis ulang dengan sesuatu yang bagus.”
“Masih banyak lagi, Bah?”
“Ini yang terakhir perumpaan manusia seperti pensil.”
“Bagian yang terpenting pada pensil itu bukanlah bagian luar, tetapi arang di tengah-tengah batang pensil itu sebenarnya. Meski pensil bercorak warna-warni, tapi kalau arangnya sering patah buat apa? Bagitu juga dengan kita, Jalu. Apa yang ada di dalam diri kita itu lebih penting dan lebih utama dibanding luar. Kamu tahu maksud Abah, kan? Hati kita harus lebihbagus dibanding penampilan kita. Niat yang ikhlas harus kita jaga dalam setiap perbuatan. Semangat pantang menyerah tak putus asa lebih bagus daripada hanya sekedar badan yang kekar,” jelas Abah Leman panjang lebar.
“Ada lagi?” tanya Ahmad Jalu.
“Sudah, Jalu. Untuk sementara itu saja dulu, Abah mau melanjutkan tulisan.”
Ahmad Jalu tersenyum. Pandangannya tak lepas dari wajah Abah Leman yang kembali khusyu menggoreskan pensil di lembaran buku tulis. (***)
Tulis Komentar