Sumriadi: Terkait Putusan MA, Eksekusi Tetap Dilaksanakan
PELALAWAN, RIAUBERNAS.COM - Kisruh masalah putusan MA terkait eksekusi lahan PT. Pepitra Supra Jaya (PSJ) dan lahan masyarakat yang menjadi anggota koperasi mitra usaha perusahaan PSJ terus bergulir.
Menyikapi persoalan tersebut, Kejaksaan Negeri Pelalawan melalui Kasi Intel Kejaksaan Negeri Pelalawan Sumriadi, SH, MH ketika dikomfirmasi oleh media ini terkait persoalan tersebut mengatakan, bahwa Kejaksaan Negeri Pelalawan selaku eksekutor dalam putusan pidana yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) terkait eksekusi dan penertiban serta pemulihan ribuan hektare lahan sawit yang dikelola PT. Peputra Supra Jaya (PSJ) di wilayah desa Pangkalan Gondai, Langgam, Kabupaten Pelalawan, sudah inkrah sehingga tindak lanjut eksekusi tersebut harus tetap dilaksanakan.
"Menurut pandangan kami selaku eksekutor, putusan perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) maka pelaksanaan penertiban dan pemulihan kawasan hutan sebagai tindak lanjut eksekusi Putusan Mahkamah Agung RI itu harus tetap dilaksanakan," ujar Sumriadi pada Senin (22/3/2021).
Putusan eksekusi tersebut, lanjut Sumriadi, tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018, yang berisi tentang instruksi mengembalikan lahan kepada negara melalui Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Riau. Dimana Hutan Tanaman Industri (HTI) kemudian diserahkan kepada PT. NWR yang memegang izin seluas 3.323 hektare.
Sumriadi menegaskan, Putusan Mahkamah Agung RI dalam Peradilan Pidana dan putusan Mahkamah Agung RI dalam peradilan TUN, merupakan hal yang berbeda. Bahkan menurutnya tidak ada hubungannya. "Menurut hemat kami dua putusan itu merupakan hal berbeda. Sebab objeknya juga berbeda," terang Sumriadi.
Sementara itu, Pengamat Hukum UR Mexsasai Indra, sebagaimana dilansir dari media riauantaranews.com pada pemberitaan Jum'at (19/3/2021) kemarin berpendapat, bahwa tidak ada korelasi atau saling berkaitan antara putusan pidana (eksekusi) dan putusan TUN tersebut.
"Yang perlu dipahami secara filosofis adanya Putusan TUN, tidak dimaksudkan melakukan tindakan korektif terhadap putusan dalam peristiwa Pidananya. Sebab hal ini terkait dengan kompetensi absolut dari badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili dalam perkara a quo," terangnya.
Menurut Mexsasai Indra, Berdasarkan pengamatannya apa yang menjadi objek sengketa TUN dalam perkara tersebut, yakni terkait dengan adanya Surat Tugas yang dikekuarkan oleh DLHK Provinsi Riau, yang notabenenya merupakan implementasi atau tindaklanjut atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs).
"Karena dalam putusan Pidananya secara eksplisit menyatakan bahwa areal yang menjadi objek sengketa dikembalikan kepada negara, sehingga keadaan hukumnya dikembalikan kepada negara dengan landasan filosofis Pasal 33 ayat (3) UUD 1945," jelasnya. (Sam)
Tulis Komentar