Mengukur Tingkat Kedemokratisan Pilkada
Hal yang patut disyukuri dari pemilihan kepala daerah serentak, 9 Desember lalu, adalah tidak terbuktinya teror kekerasan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Suasana cenderung sejuk seperti musim hujan saat ini.
Memang lima dari 269 daerah mengalami penundaan pelaksanaan pilkada: Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Fakfak, Kota Pematang Siantar, dan Kota Manado. Namun, itu tidak sampai mengganggu keamanan dan ketertiban. Manado dan Gowa memang sempat bergejolak, tetapi tidak cukup mengkhawatirkan.
Publik nasional tidak disuguhi drama kekerasan dan praktik defisit demokrasi yang memalukan. Ini sukses penting dan indah dari bangsa ini untuk dunia bahwa kita bisa mengelola pemilihan lokal tanpa bakar-bakaran.
Empat keindahan
Hal pertama yang paling indah dan mengejutkan adalah banyaknya perempuan kepala daerah yang terpilih. Dari perhitungan cepat, setidaknya ada 35 perempuan berhasil mengukir sejarah sebagai kepala/wakil kepala daerah atau setara 13,25 persen dari total peserta pilkada.
Sebagian nama telah diduga menang karena berstatus petahana sukses, seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Di Klaten, bahkan bupati dan wakil bupati yang memenangi pilkada adalah perempuan (Sri Hartini dan Sri Mulyani).
Secara positif, keberhasilan para perempuan itu menunjukkan wajah politik yang semakin berubah dan egaliter. Prasasti politik patriarkal semakin terkikis oleh bukti kemampuan perempuan dalam pemerintahan. Ini juga menunjukkan, perempuan secara de facto bisa eksis dan sukses melakukan sesuatu dalam politik setelah beberapa kurun waktu secara de jure dianggap tidak eksis dan pasti gagal mengemban tanggung jawab publik (Dewi Candraningrum, 2013:11).
Namun, realitas ini harus dibedah secara kritis kasus per kasus karena hegemoni dan politik patronase masih ikut menentukan keberhasilan di antara pemenang. Kita pun tak bisa menutup mata, perempuan kadang dianggap ”pemanis” dalam politik, seperti suara seorang pemilih asal Depok yang bosan dengan kepala daerah laki-laki melulu dan menginginkan seperti Tangerang Selatan yang memiliki kepala daerah kinyis-kinyis.
Kedua, pelbagai peluang untuk memperbesar libido kekuasaan tanpa etika berhasil diredam melalui perbaikan regulasi. Kesempatan pasangan kalah mengajukan pembatalan hasil pilkada dipersempit melalui margin selisih 0,5-2 persen, bergantung pada populasi penduduk daerahnya (Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8/2015). Hal ini mengurangi beban kerja Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan limbah politik pasca penetapan oleh KPUD sekaligus mempersempit politik main mata hakim MK seperti yang dilakukan Akil Mochtar.
Pemasangan alat peraga dan iklan media massa/elektronik pun sepenuhnya ditanggung KPUD (Pasal 5 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2015). Pada pilkada kali ini, kuasa modal tidak cukup terlihat. Mekanisme ini juga ikut memperkecil potensi korupsi sang pemenang dan ”jurus mabuk” sang pecundang akibat modal politik hangus terlalu banyak.
Ketiga, keberhasilan Partai Nasdem memenangkan 129 pasangan calon yang diusung atau didukung menjadi realitas politik baru nasional. Dalam waktu singkat, partai yang baru ikut Pemilu 2014 dan memperoleh 8,4 juta suara (6,72 persen) ini berhasil menjadi penantang serius dunia politik ke depan dengan meraup kesuksesan 50,9 persen (dari 253 daerah). Hasil lain diterima Golkar. Meskipun mengusung nama besar sebagai partai pemenang kedua Pemilu 2014 (18,4 juta suara/14,75 persen), keberhasilan Golkar ”hanya” 52 persen versi hitung internal (Kompas.com, 11/12). Ini menunjukkan, timbangan politik etik masih digenggam publik. Partai yang terus mengkhianati konstituen pasti akan ditinggal.
Keempat, pilkada kali ini masih mampu menegakkan rasionalitas politik bahwa popularitas tidak selalu menjadi penentu elektabilitas. Ada faktor yang lebih kompleks untuk dipilih dibandingkan ”sekadar artis”.
Pada pilkada kali ini, enam selebritas ikut serta, tetapi hanya tiga yang berhasil, yaitu Zumi Zola di Jambi (59,48 persen), Pasha ”Ungu” di Palu, Sulawesi Tengah (37,85 persen), dan Emil Elestianto di Trenggalek, Jawa Timur (70 persen). Adapun Maya Rumantir (Sulawesi Utara), Dedi ”Miing” Gumelar (Karawang), dan Helmy Yahya (Ogan Ilir) gagal memenangi hati rakyat.
Kesimpulan ini tetap menyemangati politikus bahwa yang berkeringat lebih banyak akan mendapatkan tempat dalam politik agregasi dibandingkan sekadar tampang beken.
Sang buruk rupa
Namun, tidak semua realitas pilkada serentak ini berwajah cantik. Ada juga si buruk rupa yang perlu diantisipasi pada pilkada mendatang.
Di antara yang paling buruk adalah sepinya pemilih sebagai konsekuensi tidak berisiknya friksi antarpartai dan massa pendukung. KPU gagal mencapai target angka partisipasi 77,5 persen. Di banyak daerah, angka partisipasi pemilih di bawah 60 persen. Bahkan, di Medan, Sumatera Utara, angka partisipasi pemilih di bawah 30 persen! Hanya di pusat perhatian publik nasional sajalah, seperti Depok dan Surabaya, tingkat partisipasi cukup baik.
Buruknya partisipasi memang tidak memengaruhi hukum ketetapan hasil pilkada. Pilkada tetap sah secara de jure, tetapi menghadapi kendala pada legitimasi populis dan etik. Ini akibat publik menganggap pilkada hanya ”permainan bagi orang kotaan” dan tidak berhubungan dengan harapan dan visi apa pun bagi perubahan di dunia nyata. Titik kritisnya mulai terlihat pada Pilpres 2014, partisipasi pemilih tidak mencapai 70 persen.
Salah satu benih penyakit serius atas perjalanan demokrasi elektoral 15 tahun terakhir ini adalah kegagalan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Yang terjadi malah ambiguitas: demokrasi elektoral menjadi instrumen kemakmuran bagi elite politik dan meninggalkan ceruk kesengsaraan semakin luas di kalangan rakyat (Cornelis Lay, 2012:xiv).
Namun, keburukan tingkat partisipasi ini bisa menjadi bumerang baru dalam perjalanan demokrasi ke depan. Pertama, peluang ini semakin menyuburkan borjuisme, elitisme, dan dinasti dalam politik sekaligus mematikan representasi populer dan inisiatif-inisiatif politik alternatif khas anak muda. Kedua, apatisme publik pada model-model demokrasi partisipatif bisa semakin menjauhkan mekanisme kesejahteraan karena pemerintah bisa berjalan tanpa kesadaran dan kontrol publik. Ketiga, yang paling buruk adalah kerinduan publik pada model-model kediktatoran politik, seperti Orde Baru atau sistem khilafah.
Jika yang ketiga terjadi, sempurna sudah demokrasi kita sakit parah. Waktu akan menguji sosok-sosok kepala daerah baru ini apakah keberhasilan mereka kali ini mampu menyuburkan demokrasi lokal atau sama seperti perilaku elite nasional: menghidupkan mesin oligarki dan berlibur di kapal korporatokrasi!*** (penulis adalah peneliti demokrasi lokal dan Dosen Antropologi Fisip Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe)
Editor : Ai
Sumber : Indopolitika.com
Tulis Komentar