Hutan dan Kehancuran Kehidupan Masyarakat Sekitarnya

(Bagian ke dua)

Penulis : Fahrullazi 
 

Jika kita sedikit meluangkan waktu untuk membaca sejarah, kita akan tahu bahwa hutan di negeri ini pernah menjadi nadi penting bagi perekonomian dunia. Hutan yang hari ini kita abaikan, kita aggap tidak punya nilai ekonomis, dulu selama berabad-abad pernah menjadi sumber kekayaan bangsa eropa. Hutan juga menjamin ekonomi masyarakat, sehingga masyarakat dapat hidup dengan nyaman, damai dan sejahtera.

Sejak masuk ke kepulauan Nusantara pada abad ke 15, Bangsa Eropa, mereka mulai mengumpulkan pundi-pundi kekayaan melalui perdagangan hasil hutan yang ada di negeri ini. Selama berabad-abad berikutnya meskipun mereka sudah membuka beberapa perkebunan, seperti sawit, karet, tembakau, teh, bahkan kayu jati, tetapi pada sisi lain mereka tetap menjaga dan membiarkan hutan tetap lestari. Mereka tidak memusnahkan pohon jelutung, atas kehadiran kayu karet yang mereka datangkan dari amerika latin.

Kaum Eropa  juga tidak memusnahkan kelapa, walaupun sawit sudah pula mereka kembangkan dan jadikan perkebunan, seperti marihat dan sokpin. Mereka juga tidak merusak hutan yang lain, meskipun mereka juga menanam jati sebagai kayu yang berkualitas baik. Hutan dan lingkungan sekitarnya seperti sungai, danau dan lainnya yang menjadi sumber kehidupan masyarakat justru mereka manfaatakan dengan cerdik dengan membangun sistim perdagangan terhadap asil hutan yang dicari oleh masyarakat.

Apa-apa yang menurut masyarakat bermanfaat mereka ikuti, lalu mereka lahirkan perdagangan terhadap benda-benda hutan yang bermanfaat itu, dan kegunaanya semakin mereka kembangkan. Menariknya lagi dari bisnis hasil hutan tersebut mereka benar-benar menjadi kaya raya.

Belanda misalnya melalui Kongsi Dagang VOC, yang berdiri pada abad ke 16, yang berpusat di Batavia, justru menjadi perusahaan raksasa yang kekayaanya hingga saat ini belum tertandingi oleh perusahaan yang ada di seluruh dunia hari ini, Kekayaan VOC mencapai hampir 100 ribu triliun. Apa yang diperdagangnya oleh Belanda dan kaum eropa lainnya kala itu dari nusantara atau Indonesia?

Hampir 100 persen adalah sumber alam mulai dari buah-buahan, kulit kayu, getah kayu, kulit binatang dan lain sebagainya yang sumbernya adalah dari hutan. Sampai akhirnya Belanda dan kaum eropa lainnya menguasai perekonomian Indonesia selama hampir 300 tahun, tidak ada hutan Indonesia yang rusak dan hancur separah yang sekarang kita alam. Tidak ada danau, tasik yang mengering, tidak ada anak-anak sungai yang airnya tidak mengalir akibat dirusak.

Pada sisi lain secara geologi, kaum Eropa melalui penelitian sesungguhnya juga sudah mengetahui dengan baik pusat-pusat tambang yang ada di negeri ini. Ada begitu banyak catatan, tanda-tanda yang mereka tinggalkan yang menjadi pertanda belakangan hari sebagai pedoman untuk pertambangan apakah itu tembaga, minyak dan lain sebagainya. Tetapi saat itu potensi tambang belum ada yang mereka kelola. Satu-satunya tambang yang mereka kerjakan hanya tambang batu kapur sebagai bahan dasar pembuatan semen.

Bisa jadi waktu itu, teknologi di sector pertambangan belum berkembang, tetapi pada sisi lain, mereka tentu berpikir saat mengelola hutan dengan biaya yang murah mereka mendapat keuntungan yang besar, maka untuk apa juga mengerjakan tambang dengan tingkat pekerjaan pasti letih, sulit dan berat. Mereka mengantongi kekayaan demikian besar hanya main di permukaan bumi saja dengan memanfaatkan potensi berbasis hutan, dimana mereka tidak perlu merawat, menanam dan hanya sedikit menjaga.

Istilah zaman sekarang mereka cuan besar hanya memanfaatkan hutan. Hutan benar-benar mereka jaga, kalaupun mereka memanfaatkan kayunya mereka buat regulasi yang ketat, sehingga hutan tetap lestari, karena terus bertumbuh kembang. Dalam upaya melindungi Pemerintahan Hindia Belanda seperti apa yang diakui oleh masyarakat Kerajaan Pelalawan. Belanda waktu itu menerapkan aturan pelarangan bagi masyarakat agar tidak melakukan penebangan sembarangan terhadap pohon-pohon hutan yang berpotensi dan bermanfaat secara ekonomi. Apakah potensi pohon itu diperoleh melalui buah, kulit, atau getah.  

Ada beberapa jenis pohon yang tidak boleh ditebang kala itu diantaranya adalah pohon seminai, karena buah seminai dapat menghasilkan minyak yang sangat diminati sebagai komoditas perdagangan. Ada pohon jelutung, balam merah, keruing yang getahkan juga menjadi salah satu komonditas perdagangan. Peraturan itu diantaranya mengatur masyarakat yang apabila membuka ladang baru untuk bertanam padi dan mereka menemukan jenis-jenis pohon yang dilindungi seperti seminai, kempas, jelutung maka masyarakat wajib mengenklave tanaman tersebut dan jika ada yang melanggar ketentuan itu maka akan dikenakan denda yang begitu besar.

Peraturan itu bukan hanya sekedar di atas kertas, tetapi benar-benar diterapkan melalui jalur kerajaan. Raja melalui pembesarnya kaum datuk-datuk menyampaikan kepada para batin-batin untuk memperhatikan ketentuan atau aturan yang berlaku tersebut. Sehingga pada waktu itu jika masyarakat membuka hutan untuk membuat ladang padi yang baru, maka mereka tidak akan menumbang pohon-pohon yang dilarang untuk ditebang. Dengan tidak menebang dan melakukan enclave maka saat mereka membakar ladang, pohon yang dilarang tidak ikut terbakar.

Pada sisi lain jika kita perhatikan lagi, catatan sejarah yang ada maka Raja-raja pada zaman kolonial itu memberikan kehidupan bagi mayarakatnya bukanlah dengan memberikan bantuan langsung, tetapi Raja-Raja memberikan kawasan berupa hutan tanah kepada batin-batin, dan juga kaum pembesarnya, sebagai sumber kehidupan. Setiap batin yang ada diberi kawasan hutan, dan dikawasan itu selain sumber kehidupan, itu juga sumber dan batas dalam menjalankan adat istiadat bagi masing-masing Batin.

Menurut hemat saya, batin pada saat itu bukanlah orang yang dapat menentukan hitam putih dan pemindahan hak kawasan kepada sembarang pihak, tetapi lebih berfungsi untuk menjaga, mengayomi serta mengatur pemanfaatan kawasan termasuk juga menentukan batas-batas dengan kawasan batin yang lainnya.  Pengakuan kawasan pebatinan itu sendiri oleh kerajaan sebagai tanggung jawab kerajaan untuk melindungi, kehidupan baik dari segi ekonomi, budaya maupun tradisi dan adat istiadat yang dimiliki oleh batin-batin. 

Pada sisi lain, toritorial pebatinan juga menjadi penting, sebab jika tidak memiliki kawasan atau toritorial maka akan sulit menegakkan adat istiadat. Tetapi belakangan, apa yang terjadi bahwa batin selaku ketua pebatinan mungkin karena ketidakpahaman akan fungsi kawasan yang mereka kuasai yang diakui oleh kerajaan dulunya, mereka melakukan tindakan yang dapat dikatakan keliru. Melalui kuasa yang diberikan oleh pebatinan sebagai Batin, mereka melakukan pemindah tanganan kawasan pebatinan sesuka hati kepada pihak-pihak lain dengan melakukan jual beli atau ganti rugi.

Dan hari ini apa yang terjadi? masyarakat pebatinan mengalami kesulitan bukan saja secara adat istiadat, karena toritorial adat yang sudah menjadi milik pihak lain, tetapi juga secara ekonomi, dan kebudayaan. Kenapa demikian, sebab kaum pebatinan  tidak lagi punya cadangan kawasan sumber kehidupan, karena hutan-hutan tanah mereka sudah dipindah tangankan ke berbagai pihak. (bersambung)

(Penulis adalah Sekretaris Pusat Kajian Ketahanan Pangan dan Masyarakat).


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar