Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Oleh: Hergyta Putri Ayusanda

 

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terkait keuangan daerah yang disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Manajemen keuangan daerah diperlukan untuk mewujudkan otonomi daerah dan mengontrol kebijakan keuangan daerah secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Adanya sistem otonomi daerah juga memunculkan lembaga daerah yang memiliki tanggungjawab dalam mengatur kebutuhan dan ketertiban daerah.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyatakan bahwa DPRD memiliki tiga fungsi utama yaitu pembuatan perundangundangan (fungsi legislasi), penyusunan anggaran (fungsi anggaran), dan pengawasan terhadap kinerja eksekutif (fungsi pengawasan). DPRD memiliki hak untuk mengawasi pelaksanaan tata anggaran untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. 

Namun, kenyataannya masih rendahnya peran DPRD dalam keseluruhan proses anggaran pada APBD, baik perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, serta pengawasan kinerja eksekutif. Hal ini dapat berdampak pada program kerja yang tersusun dalam anggaran belum sesuai dengan prioritas daerah dan berpotensi terbukanya permasalahan besar seperti penyelewengan anggaran.

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur dari penyelenggara pemerintahan daerah dan memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah daerah dalam rangka menjalankan roda pemerintahan daerah. DPRD sebagai organisasi politik yang berjuang untuk menyuarakan aspirasi rakyat. 

Adapun Tugas pokok dan Fungsi DPRD yaitu sebagai berikut:

Fungsi Pembentukan Perda atau legislasi adalah fungsi membentuk Peraturan Daerah bersama sama dengan kepala daerah. Fungsi Anggaran atau budgeting, yaitu bersama kepala daerah menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tiap tahun bersama kepala daerah. Fungsi Pengawasan atau controlling, yaitu mengawasi pelaksanaan Undang-Undang, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Mengenai Tugas dan wewenang DPRD telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 

Dalam tulisan ini akan membahas tentang fungsi anggaran DPRD Provinsi, karena fungsi anggaran pada dasarnya memiliki peran penting dalam membiayai semua kegiatan yang sudah direncanakan oleh pemerintah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yaitu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Fungsi anggaran merupakan salah satu fungsi dari DPRD dalam menyusun dan menetapkan APBD Bersama dengan pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah Kepala Daerah. 

Hal tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 101 ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa: “membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernurmembahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernur”.

DPRD dalam melaksanakan fungsi anggaran harus terlibat secara aktif dan proaktif dalam setiap proses penyusunan APBD dan memahami makna anggaran dengan baik. Dalam hal ini, DPRD harus pintar dalam menyusun APBD agar sesuai dengan perencanaan pembangunan dan kebutuhan masyarakat. DPRD harus berperan serta dalam setiap proses penyusunan APBD dengan menyusun menjunjung fiduciary duty. 

Dalam perencanaan penggunaan keuangan daerah akan dibahas dan ditetapkan dalam bentuk APBD oleh DPRD bersama kepala daerah dalam bentuk peraturan daerah (PERDA) dalam setiap tahunnya. Maka DPRD mempunyai kewenangan untuk menyetujui atau menolak serta menetapkan RAPBD yang diajukan oleh pihak pemerintah daerah menjadi APBD.

Dalam melaksanakan pembangunan daerah yang terencana dan berkelanjutan pemerintah daerah harus menyusun APBD sebagai anggaran oprasional keuangan dengan mekanisme penyusunannya. Penyusunan APBD berdasarkan pada rencana yang sudah ditetapkan terlebih dahulu, mengenai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dalam pembentukan APBD harus melewati beberapa tahapan. 

Kepala Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI Asep Ahmad Saefuloh mengatakan bahwa seluruh tahapan dalam penyusunan RAPBD harus dilalui tanpa satu tahapanpun yang dilewatkan, karena untuk menghindari persoalan hukum”. Bagi pemerintah daerah dan DPRD dalam pembahasan APBD harus berhati-hati agar tidak ada satu tahapan yang dilewatkan.

Penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran yakni sebagai berikut:

A. Transparansi dan Akuntabilitas

Pemerintah daerah harus transparansi dalam memberikan informasi mengenai tujuan, sasaran, hasil dan manfaat kepada masyarakat mengenai APBD dan setiap dana yang diperoleh penggunaannya harus dipertanggungjawabkan.

B. Disiplin Anggaran

Penyusunan APBD harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan adanya keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat serta harus berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.

C. Keadilan Anggaran

Pengalokasian anggaran yang dilakukan oleh pemerintah harus digunakan secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa adanya diskriminasi dalam memberikan pelayanan.

D. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran

Dana yang sudah tersedia harus digunakan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan mutu pelayanan dan kesejahteraan guna kepentingan masyarakat. Dalam perencananaan anggaran harus ditetapkan secara jelas mengenai tujuan, sasaran hasil serta manfaat yang akan didapat oleh masyarakat dari suatu kegiatan yang diprogramkan.

E. Format Anggaran

APBD harus disusun berdasarkan format anggaran deficit untuk mengetahui adanya selisih antara pendapatan dan belanja yang akan mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran.

Penyusunan dan penetapan APBD telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pada Bab IV. Tahapan penyusunan Perda APBD akan dimulai dari kegiatan penyiapan Rancangan Peraturan Daerah APBD, sosialisasi, penyampaian keada DPRD, pembahasan, pengambilan keputusan, evaluasi dan yang terakhir adalah penetapan APBD.

Dalam proses penyusunan APBD dimulai dari penyusunan rancangan kebijakan umum anggaran (KUA) dan dokumen prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS). Dari kedua dokumen itu kemudian akan dibahas bersama DPRD untuk menghasilkan sebuah nota kesepahaman. 

Kepala Daerah menyampaikan surat edaran yang berisi pedoman penyusunan Rancangan Kerja Anggaran-Organisasi Perangkat Daerah (RKA-OPD) yang kemudian ditindaklanjuti oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan melakukan penyusunan RKA-OPD berdasarkan nota kesepahaman yang telah dibahas tersebut. 

Pelaksana Pengelolaan Keuangan Desa (PPKD) melakukan kompilasi RKA-OPD menjadi Raperda APBD untuk dibahas serta memperoleh perseujuan Bersama dengan DPRD sebelum diajukan dalam proses evaluasi. Proses penetapan Perda APBD baru akan dilakukan apabila telah dinyatakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi oleh Menteri dalam negeri atau gubernur.

Berikut langkah-langkah dalam proses penyusunan rancangan APBD berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu:

1. Penyusunan rencana kerja pemerintah daerah disampaikan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan    pendahuluan RAPBD.
2. Penyusunan kebijakan umum anggaran (KUA) dan prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS).
3. Pembahasan KUA dan PPAS oleh Pemerintah Daerah Bersama dengan DPRD. Surat edaran kepala daerah tentang penyusunan RKA-OPD.
4. Penyusunan rencana kerja anggaran dan Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
5. Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.
6. Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

Pada dasarnya APBD merupakan rencana kegiatan pemerintah daerah untuk jangka waktu satu tahun yang disebut Rancangan Kerja Perangkat Daerah (RKPD). Kemudian penyusunan APBD didasarkan pada kewenangan penyelenggaran urusan pemerintahan yang terdiri dari dari urusan wajib dan urusan pilihan. 
Maka dari itu, anggaran belanja daerah harus diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara garis besar penetapan APBD dapat diuraikan sebagai berikut:

Penyampaian Raperda APBD yang dilakukan oleh kepala daerah kepada DPRD dan Pembahasan menitikberatkan pada kesesuaian antara KUA dan PPAS dengan program dan kegiatan yang diusulkan agar mendapat persetujuan Bersama.

Persetujuan Raperda APBD yaitu pengambilan keputusan Bersama DPRD dengan kepala daerah terhadap RAPERDA DRPD yang dilakukan paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran tersebut dilaksanakan. Kemudian kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

Raperda APBD dan Peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk di evaluasi dalam waktu paling lama 3 hari kerja yang bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasiona, kepentingan publik dan kepentingan aparatur, serta untuk meneliti apakah APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi atau perda yang lainnya.

Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD paling lambat dilakukan pada tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.

Dengan ditetapkannya APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD, maka berarti bahwa seluruh materi atau muatan yang ada dalam Rancangan APBD telah disetujui untuk dilaksanakan, dengan kata lain bahwa tahapan perencanaan, pembahasan dan penetapan anggaran telah berakhir untuk tahun anggaran yang bersangkutan. Tetapi dalam penetapan APBD sering mengalami keterlambatan karena beberapa factor yaitu Sumber daya manusia, hubungan eksektutif dengan legislatif, regulasi dan kinerja. 

Dengan adanya keterlambatan dalam penetapan APBD akan memberikan dampak negatif yakni terlambatnya pelaksanaan program pemerintah daerah yang umumnya sebagian besar pendanaan program yang telah direncanakan tersebut berasal dari APBD. Namun belum ada sanksi yang mengikat terhadap keterlambatan dalam penetapan APBD menjadi kelemahan dalam penyusunan APBD, ketepatan waktu hanya didasarkan pada kesadaran dan komitmen daerah untuk menetapkan APBD tepat waktu. 

Sanksi administratif yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ketentuan Pasal 311 ayat (2) bahwa “Kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya yang diatur dalam ketentuan Perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.” Sedangkan pada ketentuan Pasal 312, dalam ayat (2) bahwa: “DPRD dan Kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.”

APBD Sebagai Penunjang Otonomi Daerah

Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adapun pelaksanaan otonomi daerah dimulai Januari 2001 dan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda bagi daerah.

Pemerintah daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang besar akan menyambut otonomi daerah dengan penuh harapan, tetapi sebaliknya daerah yang miskin sumber daya alamnya akan menanggapinya dengan sedikit rasa khawatir dan was-was. Kekhawatiran beberapa daerah tersebut bisa dipahami, karena pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah untuk lebih mandiri baik dari sistem pembiayaan maupun dalam menentukan arah pembangunan daerah sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat di daerah.

Selain hal tersebut, alasan klasik seperti kesiapan sumber daya manusia di daerah, masih lemahnya struktur dan infrastruktur daerah memang merupakan kenyataan yang tidak dipungkiri dialami oleh beberapa pemerintah daerah, ada kekawatiran pula dari beberapa pihak bahwa otonomi daerah hanya akan memindahkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme  serta inefisiensi dari pemerintah pusat ke daerah, mengancam kelestarian lingkungan dan memungkinkan munculnya raja-raja kecil didaerah.

Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi  daerah sendiri. Tujuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efesien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karateristik didaerah masing-masing. Otonomi daerah menghasilkan dampak yang beragam bagi perekonomian daerah juga berpotensi menimbulkan resiko fiskal.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat. Dalam rangka pertanggungjawaban publik, Pemerintah Daerah harus melakukan optimalisasi anggaran yang dilakukan secara ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (value for money) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Oleh sebab itu, APBD yang pada hakikatnya merupakan penjabaran kuantitatif dari tujuan dan sasaran pemerintah daerah serta tugas pokok dan fungsi unit kerja harus disusun dalam struktur yang berorientasi   pada   pencapaian   tingkat kinerja tertentu Artinya, APBD harus mampu memberikan gambaran yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas berbagai sasaran yang hendak dicapai, tugas dan fungsi pokok sesuai dengan kondisi, potensi, aspirasi dan kebutuhan riil di masyarakat untuk  suatu tahun tertentu. Dengan demikian alokasi dana yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan dapat memberikan manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat dan pelayanan yang berorientasi pada  kepentingan publik (PP No 58 Tahun 2005).

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Namun, antara satu daerah dengan daerah lainnya, sumber pembiayaannya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah yang akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas otonomi daerah karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintahan daerah itu sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Namun demikian, mobilisasi sumber dana secara berlebihan dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kondusif. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai kemampuan keuangan daerah.

Hubungan keuangan pusat dan daerah dilakukan sejalan dengan prinsip Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana yang telah digariskan dalam UU No. 33 tahun 2004. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah  merupakan suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah  serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Adapun perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, juga merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan negara dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintah pusat yang diserahkan, dilimpahkan dan ditugasbantukan kepada daerah. Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintahan daerah dilakukan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang didasarkan atas penyerahan tugas oleh pemerintah kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stablitas kondisi perekonomian nasional dan keseimbangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah.

Salah satu dampak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah perlunya dilaksanakan reformasi manajemen keuangan daerah, sedangkan lingkup manajemen keuangan daerah yang perlu direformasi meliputi manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah, namun dalam  fokus kajian/pembahas ini hanya pada manajemen penerimaan daerah yang digali melalui desentralisasi fiskal.


Pola Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan , tugas dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan.

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perimbangan keuangan tersebut juga merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan negara serta dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan dan ditugasbantukan kepada daerah.

Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah daerah dilakukan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang didasarkan atas penyerahan tugas oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas kondisi perekonomian nasional dan keseimbangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan  suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Perimbangan keuangan tersebut dilaksanakan sejalan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian pengaturan perimbangan keuangan tidak hanya mencakup aspek pendapatan daerah, tetapi juga mengatur aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.

Pembentukan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintah Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pemerintahan.[8] Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah.

Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi yaitu : 1) fungsi distribusi, 2) fungsi stabilisasi dan 3) fungsi alokasi[9] Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan pada fungsi alokasi oleh pemerintahan daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi tersebut sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara pemerintah pusat san pemerintah daerah, sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.[10] Dalam pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar  dapat terlaksana secara efisien dan efektif, juga untuk mencegah adanya tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka perlu diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan.

Sedangkan penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selanjutnya penyelenggaran kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik kewenangan pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur atau ditugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau desa atau sebutan lainnya dalam rangka tugas pembantuan.

Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan terhadap bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat, dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi (enginee of growth). Daerah juga dituntut untuk menarik investasi asing agar bersama-sama swasta domestik mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan multiplier effect yang besar.

Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mengkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut, sebagai berikut: 

1) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, 2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, 3) memberdayakan dan menciptakan ruang publik bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian pemerintah daerah yang dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah dalam lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya meningkatkan efisiensi, efektifitas dan profesionalisme aparatur pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam maupun sumber daya lainnya milik daerah, sedangkan upaya tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan profesionalisme dan manajemen pemerintahan yang handal.

Kemampuan aparat daerah dalam menjalankan otonomi bakal dihadapkan pada berbagai tantangan, selain bagaimana upaya meningkatkan pendapatan asli daerah, juga bagaimana upaya menciptakan iklim ekonomi yang kondusif dalam rangka melayani investasi domestik maupun asing, menyusun perencanaan strategis pembangunan daerah dan mengelola proses pembangunan, sedangkan tantangan ini hanya akan mampu dihadapi oleh aparat daerah baik eksekutif maupun legislatif yang mempunyai visi strategik, mampu berpikir strategik dan berkualitas tinggi. (penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Universitas Islam Riau)


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar