Oleh: Andy Indrayanto

Menjaga Kedaulatan “Halaman Luar” Indonesia

 Memiliki dan menjadi warganegara Indonesia adalah sebuah anugerah yang tak ternilai. Anugerah karena negara yang terletak di garis khatulistiwa ini terdiri dari banyak pulau. Ribuan pulau yang terbentang mulai dari Pulau Benggala – wilayah paling barat Indonesia, lebih barat ketimbang Sabang – hingga Papua adalah “tambang” kehidupan sebuah negara bernama Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia  juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang luas wilayah lautnya lebih besar dibandingkan dengan daratan. Laut yang bagai mengapungkan pulau-pulau itu, di celah-celahnya menyimpan kekayaan laut berupa ikan dan biota lainnya yang cukup banyak.

Data Organisasi Pangan Dunia (FAO) bahkan menempatkan Indonesia diurutan ketiga penghasil ikan setelah Cina dan India. Tak hanya biota laut Indonesia saja yang menakjubkan, relief atau topografi dasar laut Indonesia juga ternyata terunik di dunia. Tapi sayangnya, berbagai keindahan topografi di dasar lautan dengan berbagai bentuk seperti basin atau palung, gunung bawah laut atau sea mount, terumbu karang yang menakjubkan ini kurang memberikan kesan yang berarti bagi banyak orang, karena wujudnya tidak terlihat langsung dengan nyata.

Padahal keindahan topografi dasar laut yang terunik itu menghasilkan keragaman hayati laut dan kaya akan plankton, sehingga dapat menghidupkan ikan dan hayati laut lainnya. Salah satu diantaranya adalah ikan tuna dan tongkol/cakalang yang persebarannya merata di laut Indonesia karena lautnya terang dengan cahaya matahari, arusnya panas sehingga hidup dengan baik ikan-ikan kecil, udang, cumi, kepiting  dan lainnya yang menjadi makanannya.

Kekayaan laut berupa ikan dan biota lainnya di laut Indonesia persebarannya mulai dari titik pantai sampai laut lepas, dan ini tersebar merata di seluruh laut Indonesia mulai Sabang Sumatera (Barat) sampai Merauke Papua (Timur). Dan kekayaan laut yang melimpah ini, sejak awal kemerdekaan sampai saat ini belum dikekola secara optimal. Pengelolaan yang tidak profesional ini mengakibatkan masyarakat pesisir yang seharusnya sejahtera dengan sumber daya laut, tetapi hingga kini masih tetap terlilit dengan kemiskinan yang menggiriskan.

Tak hanya itu, kurangnya pengawasan dari instansi terkait juga mengakibatkan banyak terjadi illegal fishing secara besar-besaran oleh korporasi perikanan asing dari negara tetangga yang merugikan negara 300 trilyun per tahun. Lebih mengagetkan lagi ketika hasil tangkapan illegal fishing dibawa pulang ke negara asalnya kemudian mengekspor kembali ke Indonesia dengan harga murah, sehingga mengancam harga ikan nelayan-nelayan lokal.

Karena itu, upaya menutup pintu bagi illegal fishing  di Indonesia, pemerintah dengan tegas menggunakan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Permen Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penggunaan Pukat Harimau, dan sebanyak lagi Undang-Undang lainnya, peraturan pemerintah, serta keputusan presiden. Selain dari itu berkaitan dengan kedaulatan bangsa didasarkan pada  Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Deklarasi Djuanda 1957, UNCLOS III tahun 1982 tentang konsep kepulauan Indonesia, serta Zona Ekonomi Eksklusif untuk menindak tegas secara hukum terhadap para illegal fishing dengan cara membakar dan menenggelamkan kapalnya.

 Harus diakui, sebelum Pemerintahan Jokowi-JK, tanggung jawab negara terhadap pengelolaan di sektor perikanan laut – ikan dan fauna laut lainnya – sepertinya tidak serius jika tak mau dibilang maksimal. Atau dengan kata lain selama ini selalu di nomordua kan bila dibandingkan dengan sektor minyak dan gas bumi (Migas) yang berada di lepas pantai. Padahal potensi sumber kelautan mencapai 76,8 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Karena itu, potensi maritim perlu dikelola agar dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat seluruhnya.

Atas berbagai alasan itulah, begitu Jokowi ditahbiskan menjadi Presiden RI ke 7, salah satu kebijakan mantan Gubernur DKI Jakarta itu adalah ingin mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim atau poros dunia dalam bidang kelautan. Dan jika kita menilik pada sejarah masa lalu - jauh sebelum Negara Indonesia diproklamirkan bahkan berdiri – nenek moyang kita memang sudah terkenal tangguh dalam bidang maritim. Lihatlah sejarah peradaban Majapahit, Sriwijaya, Pasundan dan kerajaan-kerajaan besar yang pernah hidup di bumi nusantara ini, betapa jalur laut menjadi poros yang vital bagi peningkatan masyarakat di daerah-daerah kerajaan tersebut. Tak hanya bidang ekonomi saja, berbagai sektor lain pun secara otomatis akan terangkat “nasib”-nya jika jalur laut benar-benar menjadi focus yang tak berubah dalam Pemerintahan Jokowi-JK saat ini.

Jokowi ternyata tak main-main dengan keinginannnya yang hendak mengembalikan kejayaan lautan Indonesia seperti berabad-abad lalu. Saat memperingati Hari Nusantara di tahun 2014 lalu di Kotabaru, Kalimantan Selatan, mantan Walikota Solo itu secara tegas mengatakan bahwa masa depan Indonesia ada di laut dan pemerintah akan terus melakukan aksi untuk meneguhkan kedaulatan bahari Indonesia.

"Kita harus meyakini bahwa masa depan kita ada di laut," kata Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada peringatan Hari Nusantara di Kotabaru, Kalimantan Selatan, pertengahan Desember tahun lalu, seperti dilansir situs antaranews.com.

Bahkan tak tanggung-tanggung, sebulan sebelum memperingati Hari Nusantara itu, dalam forum internasional KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar, Jokowi menjelaskan konsep Poros Maritim kepada pimpinan-pimpinan negara sahabat. Seperti dimuat di Majalah GATRA, 20-26 November 2014, dalam pemaparan tersebut dikatakan bahwa konsep Poros Maritim adalah respons dan sikap Indonesia di  tengah-tengah pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik yang sangat pesat. Agenda poros Maritim dunia ini sendiri memiliki lima pilar utama, yaitu:

  1. Membangun kembali budaya maritim Indonesia. Sebagai negara yang terdiri dari 17.000 pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya sangat ditentukan oleh bagaimana mengelola samudera.
  2. Menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Kekayaan maritim akan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
  3. Memberikan prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep sea port, logistik, serta industri perkapalan dan parawisata maritim.
  4. Melalui diplomasi maritim, mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelauatan ini. Bersama-sama menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan (illegal fishing), pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan bukan memisahkan.
  5. Sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudra, Indonesia memiliki kewajiban untuk membangun kekuatan pertahanan maritim. Hal ini diperlukan bukan saja untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Atas dasar diterimanya Deklarasi Djuanda yang kemudian dikuatkan United Nations Convention on The Law of The Sea  (UNCLOS) tahun 1957, yang kemudian melahirkan sejumlah pengaturan laut dan pengaturan di bidang perikanan, serta didukung dengan konsep lima pilar  yang disampaikan Presiden Jokowi di depan KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar, maka Indonesia secara yuridis memiliki kekuatan untuk menjaga kedaulatannya dari gangguan-gangguan asing, termasuk  illegal fishing dalam wilayah perairan laut Indonesia.

Pada masa Orde Baru berkuasa, Indonesia memang membangun kerjasama dengan negara-negara lain dalam pengelolaan sumber daya laut, karena di saat itu negara belum memiliki modal dan tenaga profesional. Tujuannya saat itu adalah untuk menarik keuntungan ekonomi, dan transfer teknologi. Upaya percepatan terjadinya transfer teknologi ini akan berlangsung secara cepat karena sumber daya nelayan Indonesia masih dibawa standar internasional atau masih tradisional.

Namun nyatanya, jauh panggang daripada api. Ibarat pepatah, mau untung malah menjadi buntung! Pasalnya, realita kerjasama ini ternyata di ujungnya hanya merugikan Indonesia karena isi perjanjian tidak dipatuhi oleh para investor. Dalam Koran Jawa Pos yang terbit tanggal 31 Agustus 2006 terungkap bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyatakan bahwa kerjasama Indonesia dengan dua negara tetangga, Thailand dan Tiongkok di bidang kelautan telah dihentikan karena dinilai telah merugikan negara Indonesia sebesar tiga puluh triliun rupiah per tahun. Padahal kerjasama ini telah berjalan tiga puluh tahun, sehingga total  jumlah kerugian yang diderita oleh Indonesia selama kerjasama ini sekitar sembilan ratus triliun rupiah, jelas bukan suatu jumlah yang tidak sedikit, baik untuk saat ini apalagi kala itu.

Namun sebelum Indonesia melakukan pemutusan kerjasama di bidang perikanan dengan Thailand dan Tiongkok, telah melakukan pula penghentian kerjasama dengan Filipina. Latar belakang pemutusan kerjasama ini, karena hasil laut Indonesia yang terkenal melimpah itu lebih banyak dibawa ke Thailand dan Tiongkok dari pada dikelola di Indonesia. Pola kerjasama yang dipakai dasar kedua negara tersebut, adalah kerjasama lisensi dimana kapal-kapal perusahaan dari tiga negara tersebut diberi izin untuk menangkap ikan di seluruh perairan Indonesia. Sedangkan hasil laut yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut ternyata selama puluhan tahun tidak dikelola di Indonesia melainkan dibawa ke negara-negara mereka masing-masing dan dikelola di sana. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika industri kelautan negara kita jauh tertinggal dibandingkan dengan industri kelautan di negara-negara tersebut. Karena itu, untuk menaikkan dan mengoptimalkan industri kelautan Indonesia maka bentuk perjanjian kerjasama bilateral semacam ini harus dihentikan bahkan bilamana perlu wajib diperbarui.

Illegal fishing  yang dilakukan di laut  Indonesia sudah dijelaskan bahwa pelakunya bukanlah nelayan kecil melainkan perusahaan-perusahaan perikanan  besar yang beroperasi secara langsung, atau mendanai nelayan-nelayan kecil untuk melakukan  illegal fishing, kemudian menampungnya di laut lepas. Seperti dilansir Majalah GATRA, edisi 27 November - 3 Desember 2014, tanggal 26 Maret 2014 ditangkapnya KM. Atasena 139 dan KM. Atasena 838 berbendera Indonesia milik PT Pusaka Benjina Resources yang ditangkap oleh Patroli KP Hiu Macan 006 milik Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)  di Laut Aru.

Sistem penangkapan ikan kedua kapal tersebut, masih dalam majalah yang sama, dilakukan dengan cara illegal yaitu dengan menggunakan pukat. Hasil tangkapan kedua kapal tersebut sebanyak 210 ton ikan. Sementara merujuk data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dinyatakan bahwa sepanjang tahun 2001-2013 terdapat 6.215 kasus pencurian ikan oleh kapal asing yang berasal dari Malaysia, Cina, Filipina, Korea, Vietnam dan Myanmar. Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) bahkan menghitung praktik pencurian ikan alias  illegal fishing merugikan negara Rp 100 trilyun per tahun. Jumlah itu adalah hasil akumulasi dari nilai komoditas ikan yang dicuri, nilai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang hilang, serta potensi kehilangan nilai tambah bila ikan tersebut diolah di dalam negeri. Presiden Joko Widodo bahkan menyebut angka kerugian tiga kali lebih besar dari hitungan KNTI, Rp 300 trilyun.

  Hasil pemantauan Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, bahwa wilayah yang rawan illegal fishing diantaranya adalah perairan Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Maluku, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, perairan sebelah utara Papua Barat, dengan modus yang beragam. Penjarahan ikan yang dilakukan negara-negara asing dengan berbagai modus ini, karena harga ikan di pasar internasional sangat menjanjikan. Selain itu, wilayah laut Indonesia dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa laut Indonesia kaya akan ikan, terumbu karang dan  lainnya. Bahkan berdasarkan studi McKinsey Global Institut, diungkapkan bahwa potensi kelautan Indonesia, baik kelautan maupun perikanan Indonesia diperkirakan mencapai US$ 1,2 trilyun pertahun mulai dari perikanan hingga energi, wisata alam hingga biofarma.

Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian FAO yang dirilis bulan Mei 2014, seperti dikutip dari Majalah Gatra GATRA, 27 November- 3 Desember 2014,  menunjukkan bahwa konsumsi ikan per kapita kini berada pada tingkat tertinggi. Rata-rata warga dunia melahap 19,2 kilogram ikan pada tahun 2012, naik dari 9,9 kilogram pertahun pada era 1960-an. Konsumsi ikan dunia yang meningkat membuat penangkapan ikan juga akan marak. Bahkan menurut FAO pada tahun 2018 nanti, jumlah konsumsi ikan diperkirakan akan melebihi ikan yang tangkap.

Pengoperasian kapal-kapal illegal fishing  asing ini jelas melanggar hukum, terutama hukum internasional karena dengan masuk keluarnya kapal di negara berdaulat tanpa memperdulikan aturan hukumnya. Apalagi di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 33 ayat 3 sudah dinyatakan dengan tegas bahwa, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Implementasi dari amanah Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945  di atas dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, bahwa Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan nasional.

Pemanfaatan secara optimal diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidayaan ikan kecil, meningkatkan penerimaan dari devisa negara, menyediakan perluasan dari kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing hasil perikanan, serta menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, serta tata ruang.

Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus seimbang dengan daya dukungnya sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan.

Karena itu, kita patut memberikan apresiasi pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah menggolkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Satuan Tugas (satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) yang sebelumnya telah diajukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan kini telah disahkan oleh Presiden RI Joko Widodo. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Jokowi-JK benar-benar serius dalam menangani illegal fishing yang telah merugikan negara hingga Rp 300 triliun setiap tahunnya itu.

Di situs www.kkp.go.id, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam konferensi pers di kantor KKP Jakarta, pertengahan Oktober lalu, menjelaskan dengan ditetapkannya Perpres nomor 115 Tahun 2015 ini maka Satuan tugas pemberantasan illegal fishing kedudukannya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Menurut Susi, pelanggaran dan kejahatan di bidang perikanan khususnya tindakan penangkapan ikan secara ilegal sudah sangat memprihatinkan. Peraturan yang baru saja disahkan ini diharapkan dapat semakin memperkuat kelembagaan satgas dalam mendukung upaya peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang perikanan.

“Satgas berwenang menentukan target operasi, melakukan koordinasi dalam pengumpulan data dan informasi, membentuk dan memerintahkan unsur-unsur Satgas untuk melakukan penegakan hukum, melaksanakan komando dan pengendalian,” ungkapnya.

Selain itu Susi mengemukaakan, satgas juga perlu diperkuat karena pemberantasan illegal fishing di Indonesia memerlukan upaya penegakan hukum luar biasa yang mengintegrasikan kekuatan antar lembaga pemerintah. Dalam upaya memberantas memerlukan strategi yang tepat, memanfaatkan teknologi agar dapat berjalan efektif dan efisien, mampu menimbulkan efek jera, serta mampu mengembalikan kerugian negara.

“Satgas Pemberantasan Illegal Fishing punya kekuatan hukum untuk menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu,” jelasnya.

Pengembangan dan pelaksanaan operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut yurisdiksi Indonesia secara efektif dan efesien dapat dilakukan satgas dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil dan peralatan operasi, meliputi kapal, pesawat udara, dan teknologi lainnya. Personil serta perangkat itu terutama yang dimiliki oleh KKP, TNI Angkatan Laut, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Keamanan Laut, Satuan Kerja khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi, PT Pertamnina, dan institusi terkait lainnya.

“Selain itu tugas satgas juga meliputi kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing)“, tambahnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, Komandan Satgas mendapatkan arahan dari Menteri Koordinator Bidang politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman, Panglima Tentara nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia. Pelaksanaan tugas ini akan dievaluasi setiap enam bulan sekali. Untuk pelaporan, Satgas wajib melaporkan setiap perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden setiap tiga bulan atau sewaktu-waktu diperlukan.

Dan berdasarkan data Direktorat Jendral Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan bulan Oktober 2015, seperti dilansir situs www.kkp.go.id, Kementerian yang dipimpin Susi Pujiastuti itu telah menenggelamkan 107 kapal perikanan ilegal dari berbagai negara. Jumlah terbanyak berasal dari Vietnam 39 kapal, Filipina 34 kapal, Thailand 21 kapal, Malaysia 6, Indonesian 4 kapal, Papua Nugini 2 kapal dan RRT 1 kapal.

Kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memerangi illegal fishing dan destructive fishing, saat ini sudah berdampak positif bagi nelayan Indonesia. Setidaknya ini terlihat dari meningkatnya volume produksi perikanan trisemester pertama 2015 dibanding setahun sebelumnya, sebesar 14,43%. Tercatat pula pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan naik menjadi 8,64%.

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, Indonesia mau tak mau harus menjaga keutuhan wilayahnya, dalam bentuk agresi apapun.
Keberadaan pulau-pulau terluar yang biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah, secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian yang “lebih” dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat mengganggu keutuhan wilayah Indonesia – baik itu yang menyangkut pertahanan maupun perekonomian – khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Intinya, yang diperlukan sekarang adalah terwujudnya integrasi sosial, yang mungkin jauh lebih penting setelah globalisasi yakni membuat batas-batas teritorial yang tidak dapat ditembus setiap saat, apalagi saat nasionalisme harus berhadapan dengan illegal fishing dengan berbagai modus sampai pada radikalisme yang kian hari kian memikat sebagian masyarakat. Apalagi usai dilantik sebagai Presiden, Jokowi pernah mengatakan bahwa dirinya akan mengembalikan kejayaan maritim Indonesia seperti dulu lagi.

Dan saat ini, tujuh puluh tahun telah berjalan ketika “halaman luar” kedaulatan itu dibuat. Berbagai tempaan sejarah juga telah dilalui oleh bangsa ini. Mempertahankan negara adalah suatu kemestian, meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah keharusan yang tak bisa diabaikan, tetapi memberikan “kemakmuran sebesar-besarnya pada rakyat” seperti yang termaktub dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah kemutlakan total yang tak bisa ditawar. Semoga!***

 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar