Sengketa Pilkada VS MK (Mahkamah Kalkulator)

Harun Husein

Pasca pilkada serentak tanggal 9 Desember tahun lalu, bermunculan ketidakpuasan dari berbagai daerah atas hasil penetapan KPU, baik itu tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Sehingga akhirnya, sebanyak 147 permohonan sengketa hasil pilkada disampaikan oleh pasangan calon (paslon) yang kalah dalam pilkada. Namun, dari jumlah ini, hanya 23 per mohonan yang memenuhi syarat formil Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada, selebihnya terancam tidak diterima.

Pasal 158 tersebut berisi threshold ketat untuk mempersengketakan hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yaitu, selisih suara paslon yang kalah dengan paslon yang menang, harus 0,5 persen hingga dua persen, bergantung jumlah penduduk daerah bersangkutan (lihat tabel Threshold Ketat Itu).

Selisih setipis ini, biasa dikenal dengan istilah too close to call, yang terjemahan bebasnya adalah
selisih yang terlalu tipis untuk dapat dipastikan siapa pemenangnya. Ungkapan seperti ini juga
sempat disematkan untuk hasil Pemilihan Presiden lalu, karena begitu dekatnya suara pasangan
Prabowo-Hatta dengan Jokowi-Kalla.

Selisih tipis ini telah diprotes oleh kalangan masyarakat sipil, akademisi, praktisi hukum, serta
sejumlah pasangan calon maupun pengacaranya. Mereka mendesak MK mengabaikannya, demi mencapai keadilan substantif, dan agar MK tak semata menjadi Mahkamah Kalkulator.

Sejumlah kalangan memang dibuat khawatir MK bakal benar-benar menerap kan Pasal 158, dengan konsekuensi 'musim gu gur permohonan sengketa pilkada'. Sebab, ketentuan Pasal 158 tersebut telah dijabarkan dalam dua peraturan MK (PMK) tentang pedoman beracara dalam perkara perselisihan hasil pilkada yang diterbitkan pada November 2015 lalu, yaitu PMK No 4/2015 dan PMK No 5/2015.

Khawatir dengan kemungkinan itu, sejumlah kalangan, terutama yang kalah pilkada, sejak akhir tahun lalu sudah mewacanakan untuk menguji materi pasal tersebut ke MK. Bahkan, ada pula desakan agar presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengedrop Pasal 158. Sebab, selain melanggar konstitusi, pasal tersebut juga dinilai melanggar HAM.

Ketua MK, Arief Hidayat, belum memberi jawaban tegas apakah lembaganya akan menyidangkan sengketa yang tidak memenuhi syarat Pasal 158. Dia masih memberi jawaban diplomatis bahwa Pasal 158 tidak bertentangan dengan konstitusi.

"Ini bukan MK yang menentukan, tetapi UU yang menentukan. Jadi, ya terserah politik hukum (opened legal policy) pembentuk UU dalam hal ini DPR dan Presiden," kata Arief, Rabu (6/1) pekan lalu.

Soal adanya pihak yang hendak menguji materi pasal tersebut, Arief Hidayat mem persilakan. Katanya, kalau ada masyarakat pemerhati pilkada keberatan, kenapa tidak judicial review Pasal 158.

"MK mempunyai kewena ngan melakukan judicial review kalau ada permohonan masuk," tukasnya.

Tapi, hingga pekan lalu, belum ada pendaftaran permohonan uji materi Pasal 158 yang sampai ke MK. Dan, merupakan kebiasaan selama ini bahwa saat menangani sengketa pilkada maupun pemilu, MK menunda memproses permohonan-permohonan lainnya, termasuk uji materi.

Selain itu, Pasal 158 ini telah diuji materi pada pertengahan 2015 lalu, oleh bekas ketua Panwaslu
DKI Jakarta, Ramdansyah; Yanda Zaihifni Ishak, dosen Universitas Jambi; dan, Heriyanto, peneliti
pemilu. Ketiganya menilai Pasal 158 dan sejumlah pasal lainnya cacat secara materiil. Namun, MK menolaknya lewat Putusan Nomor 51/PUU-XIII/2015, pada 11 Juli lalu.

Perubahan paradigma

Soal sengketa hasil pilkada/pemilu di MK, memang bak bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Dulu, paslon yang kalah pilkada/pemilu, hampir pasti menggugat kekalahannnya hingga MK. Persoalan kecurangan apapun – apakah bersifat administratif, pidana, maupun etik — yang seharusnya diselesaikan di tingkat tahapan pemilu, justru kemudian dibawa ke MK, sehingga ada yang mengibaratkan MK tak ubahnya 'tong sampah'. Kini, yang terjadi sebaliknya, yaitu memperketat secara luar biasa sengketa pilkada ke MK.

Dari 147 permohonan sengketa pilkada tahun ini, berbagai soal di luar sengketa hasil memang juga diangkut ke MK. Seperti Penetapan calon yang dilakukan KPUD, paslon yang dicoret oleh KPUD, hingga penggunaan sistem noken.

Saat draft RUU Pilkada sedang disusun pada 2011 lalu, seorang pejabat di Kemendagri pernah
menuturkan kepada Republika untuk membatasi secara ketat pengajuan sengketa hasil pilkada. Sehingga, yang kalah pilkada tak terus penasaran dan memper soalkan sampai ke MK, padahal jarak suaranya sangat jauh. Dia menyebut too close to call-lah yang perlu jadi pembatasnya. Dan, itulah yang kemudian terwujud di Pasal 158.

Sesuai aturan perundangan, MK memang hanya menyelesaikan sengketa hasil. Itu pun tidak semua sengketa hasil, tetapi yang 'memengaruhi hasil pemilu/ pilkada secara signifikan', seperti tertulis di Pasal 74 ayat (2) UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi...

Belakangan, terjadi redefinisi sengketa di MK. Objek sengketa tidak lagi semata angka hasil penghitungan suara, tapi juga mencakup pelanggaran yang berpotensi memengaruhi hasil. Pelanggaran ini belakangan disebut dengan istilah Terstruktur, Sistematis, dan Massif (STM).

Putusan-putusan MK pun tidak lagi hanya mengabulkan, menolak, dan tidak dapat diterima, tapi muncul varian-varian putusan baru seperti dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, penghitungan suara ulang, hingga pemungutan suara ulang. Ijtihad perluasan kewenangan MK tersebut, dimulai sejak menyelesaikan sengketa pemilukada Jawa Timur pada 2008. Dari sinilah muncul istilah pelanggaran TSM.

Dalam pertimbangan hukum putusan pemilu kada Jawa Timur nomor 41/PHPU.D-VI/2008, MK menyatakan:

"Tidak dapat dinafikan bahwa seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dan tahapan pemilukada akan sangat berpengaruh secara mendasar pada hasil akhir, dan dengan absennya penyelesaian sengketa secara efektif dalam proses pemilukada, mengharuskan Mahkamah untuk tidak membiarkan hal demikian apabila bukti-bukti yang dihadapkan memenuhi syarat keabsahan undang-undang dan bobot peristiwa yang cukup signifikan. Hal demikian tidak dimaksudkan untuk mengambil alih kewenangan memutus pelanggaran dan penyimpangan dalam proses pemilukada, melainkan menilai dan mempertimbangkan implikasi yang timbul dalam perolehan suara yang dihitung dalam Rekapitulasi Penghitungan Suara yang dilakukan oleh KPU."

Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, berharap MK tak semata terpaku pada angka-angka yang dipatok di Pasal 158, tapi juga mewujudkan keadilan substantif, dengan melihat proses pelaksanaan pilkada secara keseluruhan.

"Syarat di Pasal 158 ini jika dilihat dari maksud dan tujuan kehadirannya, ingin menyampaikan pesan, agar MK tidak menjadi "tong sampah" sengketa pilkada," ujarnya

Namun di balik itu, Fadli mengatakan MK perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi lain dari setiap permohonan yang masuk. "Sangat terbuka kemungkinan, dan MK harus mempertimbangkan, jika ada pemohon yang selisih suaranya jauh, namun memiliki dalil dan bukti yang kuat bahwa hasil tersebut didapat dari proses pilkada yang penuh dengan praktik kecurangan," katanya.

Sejak Kamis pekan lalu, MK telah melakukan pemeriksaan pendahuluan atas perkara sengketa pilkada, untuk memeriksa pokok perkara. Setelah itu, pada 18 Januari mendatang, MK akan menentukan perkara mana yang berlanjut ke pemeriksaan persidangan. Semoga MK, benar-benar menjalankan keadilan substantif, dan tak semata menjadi Mahkamah Kalkulator.

Dalam pemeriksaan persidangan, selain memeriksa pokok permohonan, MK juga memeriksa alat bukti tertulis; mendengarkan keterangan pemohon, termohon, dan pihak terkait; mendengarkan keterangan saksi dan ahli; memeriksa rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti yang dapat dijadikan petunjuk; serta, memeriksa alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.***(penulis adalah jurnalis senior yang memulai karir di Republika sebagai koresponden di Ambon tahun 1999)

Catatan:

THRESHOLD KETAT ITU

Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada telah menetapkan syarat ketat untuk
mempersengketakan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi. Sebab, hanya jika selisihnya 0,5 persen hingga dua persen – bergantung jumlah penduduk daerah bersangkutan — yang dinyatakan memenuhi syarat untuk 'menggugat'. Alhasil, dari 147 permohonan yang disampaikan ke MK, hanya 23 yang memenuhi syarat. Berikut aturan main Pasal 158 dan 23 daerah yang memenuhi syarat.

Pasal 158

# Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:

• Provinsi berpenduduk dua juta ke bawah, gugatan jika selisih suaranya maksimal 2%.

• Provinsi berpenduduk 2-6 juta, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1,5%.

• Provinsi berpenduduk 6-12 juta, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1%.

• Provinsi berpenduduk 12 juta lebih, gugatan jika selisih suaranya maksimal 0,5%.

# Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan

permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:

• Kabupaten/kota berpenduduk 250 ribu ke bawah, gugatan jika selisih suaranya maksimal 2%.

• Kabupaten/kota berpenduduk 250 ribu-500 ribu, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1,5%.

• Kabupaten/kota berpenduduk 500 ribu-1 juta, gugatan jika selisih suaranya maksimal 1%.

• Kabupaten/kota berpenduduk 1 juta ke atas, gugatan jika selisih suaranya maksimal 0,5%.

23 Daerah yang Memenuhi Syarat Formil
1. Kabupaten Pelalawan 1.14 %
2. Kabupaten Kuantan Singingi 0.21 %
3. Kabupaten Pesisir Barat 1. 34 %
4. Kabupaten Mahakam Ulu 1.62 %
5. Kabupaten Banggai Laut 1.95 %
6. Kabupaten Wakatobi 1.38 %
7. Kabupaten Batanghari 1.33 %
8. Kabupaten Barru 0.81 %
9. Kabupaten Rokan Hulu 0.58 %
10. Kabupaten Kapuas Hulu 1.46 %
11. Kabupaten Gorontalo 0.8 %
12. Kabupaten Buton Utara 1.97%
13. Kabupaten Gorontalo 0.66 %
14. Kabupaten Kepulauan Sula 0.35 %
15. Kabupaten Bangka Barat 0.30 %
16. Kabupaten Pekalongan 0.60 %
17. Kabupaten Solok Selatan 0.66 %
18. Kabupaten Manggarai 1.28 %
19. Kabupaten Muna 0.03 %
20. Kabupaten Halmahera Barat 0.85 %
21. Kabupaten Teluk Bintuni 0.54 %
22. Kabupaten Maluku Barat Daya 1.38 %
23. Kabupaten Pasaman 0.98 %



Editor        : Ai
Sumber    : republika.co.id

 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar