Ini Kisah Pelacur yang Masuk Surga

Ilustrasi

Oleh : Kang Endy

Di ruang tengah di rumah Abah Leman, pandangan Ahmad Jalu tidak lepas dari layar TV yang berada di hadapannya. Ia tengah konsentrasi menyimak berita tentang upaya Gubernur DKI Jakarta, yang akan menutup tempat lokalisasi Kali Jodoh. Abah Leman, yang berada di samping remaja tanggung tersebut, hanya memperhatikan. Sesekali ia menyeruput teh tubruk di dalam cangkir besar.
    
"Slrrrppp, ah. Serius sekali melihatnya!" ledek Abah Leman.

"Iya. Beritanya menarik, Bah." Matanya tak lepas dari layar TV.

"Setiap berita, pasti menarik. Itu sudah ketentuannya."

"Tapi ini berbeda, Bah. Penggusuran lokalisasi pelacuran terbesar di Jakarta, Kali Jodoh!" Ahmad Jalu berargumen.
 
Abah Leman hanya manggut-manggut. Kembali ia mengangkat cangkir besar lalu mendekatkan ke mulutnya.
"Abah ingin tahu dong, tanggapan kamu tentang penutupan lokalisasi itu." Abah Leman mulai memancing.
 
"Ah, ada-ada saja. Abah pasti lebih tahu dari pada Jalu."
 
"Kali saja, pandangan kamu berbeda dengan Abah. Kan Abah sudah tua, kalau kamu masih muda," katanya seraya tersenyum.

Ahmad Jalu menggaruk-garuk kepala sambil sedikit tersenyum. Ia memperlihatkan sikap tidak percaya diri. Karena ia tahu kalau guru ngajinya tersebut hanya mengetes wawasannya saja. "Baiklah, Jalu akan jawab sebisanya. Menurut Jalu, sih, setuju banget kalau setiap lokalisasi pelacuran itu ditutup. Karena bagaimanapun itu tempat maksiat, tempat orang-orang berbuat dosa."
 
Abah Leman tersenyum sambil manggut-manggut, "Boleh juga jawabannya. Apalagi?"

"Abah sering bilang, keterangan hadist menyatakan kalau ada orang yang berzina, maka dosa dan adzabnya akan menimpa 40 rumah di sekitarnya. Bayangkan, Bah. Kalau perzinaan dilokalisir, berarti warga yang tinggal di daerah tersebut akan terkena dosanya terus," lanjut Ahmad Jalu.
 
"Terus?" Abah Leman penasaran.
 
"Terus, terus mau kemana? Sudah ah, Jalu takut salah. Pokoknya Jalu setuju kalau Gubernur Jakarta menutup lokalisasi pelacuran Kali Jodoh," tukasnya.
 
Abah Leman mengambil remote control yang berada di meja. Kemudian ia mengarahkan benda tersebut ke  arah TV. Ia menekan tombol on-off. Di saat bersamaan, layar TV di hadapan mereka mati. Pett! "Nak, Abah mau cerita, tentang pelacuran ini. Kamu simak baik-baik, dan kamu ambil hikmahnya," katanya.

Ahmad Jalu memperbaiki posisi duduknya. Ia menghadapkan badannya kepada Abah Leman. Kemudian, lelaki tengah baya tersebut bercerita, "Dikisahkan di sebuah daerah, berdiri sebuah pesantren yang memiliki banyak santri. Pesantren itu dipimpin oleh seorang kyai yang berilmu mumpuni. Setiap hari, ia memberi pengajian sejak subuh hingga selepas sholat Isya. Ia selalu bersemangat memberi ilmu. Santri yang mondok di pesantren tersebut lumayan banyak. Selesai pengajian Isya, sebelum tidur, dari jendela kamarnya, ia punya kebiasaan melihat rumah kecil yang berada persis di seberang pesantren.

"Rupanya, rumah yang berada di depan pesantren itu didiami oleh seorang pelacur yang membuka praktiknya setiap hari. Ups! Kyai tersebut tahu persis, bahwa setiap hari tamu-tamu yang datang ke rumah pelacur yang berada di depan pesantrennya itu berganti-ganti. Ia mengetahuinya dari jenis kendaraan yang datang, dan parkir di halaman rumah tersebut. Terkadang ada lelaki membawa mobil sedan mengkilap, ada juga yang membawa mobil mini bus, bahkan terkadang ada yang membawa mobil angkutan umum. Kasihan pelacur itu, tiap hari kerjanya hanya menumpuk dosa." Begitu ia berucap.

Esok malamnya juga demikian, ia tetap memperhatikan rumah pelacur yang berada di depan pesantrennya, "Sungguh, ia tidak takut adzab Allah, berapa dosa yang telah ia kumpulkan sampai saat ini?" gumamnya.
 
Suatu hari, kyai tersebut meninggal dunia. Tentu banyak orang yang bersedih dan kehilangan. Ternyata, di saat yang sama, pelacur yang beroperasi di depan pesantrennya itu juga meninggal dunia. Ini bukan kebetulan. Allah Maha Kuasa menentukan hidup manusia.

Di dalam perjalanan menuju akhirat, ruh kyai dan pelacur itu bertemu. Mereka saling memandang dan terjadilah dialog.

"Hai, perempuan hina, mau kemana kamu?" tanya kyai mendahului.
 
Pelacur itu menjawab dengan tenang sambil tersenyum, "Saya akan ke surganya Allah."

Karuan, wajah kyai terkejut mendengar jawaban tersebut, "Ah, tidak mungkin. Apa aku tidak salah dengar? Setiap hari selama hidupmu, kamu berzina. Jadi mana mungkin kamu ke surga," kata Kyai tak percaya, dengan intonasi nada melecehkan.
 
Pelacur tersebut tetap tersenyum dan menjawab, "Hidupku memang penuh dengan dosa, tapi hal itu kulakukan karena tidak ada pilihan lain. Aku terpaksa, dan tidak pernah berniat melakukannya.”

Kyai tersebut tetap tidak percaya. Kemudian ia bertanya kepada malaikat yang mendampingi mereka. "Benarkah perempuan ini akan ke surga?"

"Ya. Benar sekali. Perempuan ini akan ke surga, dan kamu akan ke neraka," jawab malaikat dengan tegas.
 
"Tidak bisa! Amal ibadahku banyak. Aku punya pesantren. Sementara dia hanya melacur setiap hari. Pasti ini ada kesalahan perhitungan," protes Kyai.
 
"Tidak ada kesalahan dalam keputusan ini. Kamu ke neraka, dan perempuan itu ke surga, ” jawab malaikat.
 
"Bagaimana bisa?"

Malaikat kemudian menjawab, "Benar hidupmu penuh dengan ibadah. Tiap hari kamu kumpulkan pahala. Hidup kamu lebih baik daripada pelacur itu. Tapi, setiap kali kamu melihat dia, kamu hanya menghitung-hitung saja kesalahannya. Sedikit pun kamu tidak pernah memberi nasihat atau ajakan bertobat kepadanya. Di saat kamu menghitung kesalahan dia, di saat itu pula pahala kamu diberikan kepadanya. Lama-kelamaan, pahala kamu habis berpindah buat dia yang kamu anggap hina. Bukankah kamu sebagai kyai tahu ilmu tentang ghibah atau menggunjing?"

Kyai itu tersadar dan kemudian menyesal. Tapi penyesalan di hari akhir tiada berguna.

Ahmad Jalu terdiam. Ia tak menyangka kalau cerita yang disampaikan Abah Leman benar-benar baru ia dengar.

"Sekarang, kira-kira apa pelajaran dari cerita Abah tadi?"

"Banyak, Bah. Pertama kita tidak boleh merasa lebih mulia daripada orang lain. Apalagi sampai berani-beraninya memposisikan nasib orang lain di akhirat," jawab Ahmad Jalu.
 
"Benar sekali, Nak. Tugas kita hanya taat, tugas kita hanya ibadah. Jangan sampai kita merasa punya banyak pahala lalu pede mau masuk surga. Karena setiap kita melaksanakan ibadah, belum tentu diterima Allah," ujar Abah leman. "Terus apa lagi, pelajaran yang bisa kamu petik?" lanjutnya.
 
Ahmad Jalu menggelengkan kepala, pertanda tidak bisa memberikan lagi jawaban.

"Yang perlu kamu pelajari adalah, kamu harus benci kepada pelacurannya, karena itu bentuk kemaksiatan. Tapi kamu tidak boleh benci kepada pelacurnya . Masalahnya, saat ini sebagian orang bersikap keliru. Mereka mengangggap bahwa pelacuran hanya terjadi di lokalisasi.  Padahal, inti dari pelacuran adalah zina."

Abah Leman menarik nafas sejenak. Ia teguk lagi teh tubruk yang tinggal sedikit. "Coba kamu buka mata, lihat sekeliling kamu. Sebenarnya pelacuran terjadi di banyak kalangan dan tempat. Anak-anak remaja, seusia kamu yang masih sekolah, sudah rela kehilangan kehormatannya, gara-gara dirayu cowoknya. Gadis remaja mau memberikannya karena alasan cinta, itu sudah pelacuran. Coba kamu lihat survey-survey yang ada. Angkanya? Mengkhawatirkan!"
 
Suasana hening. Ahmad Jalu hanya memandang Abah Leman yang dengan tenang memberikan penjelasan dari sudut pandang yang tidak diduga. "Belum lagi di kalangan orang dewasa. Di dunia kerja, sesama karyawan, sama-sama sudah punya pasangan resmi di rumah, bahkan sudah punya anak, banyak yang berselingkuh. Padahal ini juga bentuk lain pelacuran. Beritanya sudah banyak, pengusaha, pejabat, anggota dewan, artis, dan PNS, kepergok di hotel sedang berbuat mesum dengan lawan jenis. Naudzhubillah..."

"Abah benar," kata Ahmad Jalu, pelan.

"Semoga saja, tindakan Gubernur DKI Jakarta bukan pencitraan semata untuk Pilgub tahun depan.  Semoga pejabat-pejabat di daerah lain, juga mau melakukan tindakan yang sama, menutup lokalisasi yang ada di daerahnya masing-masing," harap Abah Leman, sambil matanya menatap ke langit, penuh harap. (***) Penulis pernah bekerja sebagai jurnalis di beberapa media massa di Jakarta. Saat ini bekerja sebagai pendidik di SPM Menteng, Jakarta.

                                                                                                                                  Jakarta, 17/2/2016
 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar