Sempena HPN 2016 - Menjunjung Tinggi Profesi Jurnalis

Kalau Tak Salah, Kenapa Harus Takut Pada Wartawan?

Ilustrasi

Ahmad Jalu tengah duduk di teras mushola. Ia melipat satu kaki dan menidurkannya ke lantai mushola. Satu kaki lainnya menekuk di depan dadanya. Di hadapannya terdapat beberapa tumpukan berbagai jenis koran dan majalah, serta sebuah gunting. Tangannya sibuk membuka-buka lembaran. Sesekali ia menggunting lembaran koran yang ia pilih.

"Sedang mencari apa, Nak?" tanya Abah Leman yang datang dari dalam mushola.

"Ini, Bah. Lagi buat tugas bikin kliping," kata Ahmad Jalu, sedikit acuh sambil tetap menggunting lembaran koran.

"Tugas pelajaran apa?"

"Ini tugas sosiologi. Kita diminta mencari berita dan informasi serta gambar tentang pemerataan pembangunan di Indonesia."

"Lumayan susah, tuh."

"Betul, Bah."

Ahmad Jalu tampak memisahkan lembaran koran yang sudah ia gunting. Sesekali ia meneliti kembali dengan cara mendekatkan lembaran tersebut ke wajahnya.

Sementara, Abah Leman mendekat kemudian duduk tak jauh di samping anak muda itu. "Berita-berita yang ada di koran tersebut tidak semuanya bisa dipercaya. Kamu harus meneliti berulang-ulang, dan membandingkanya dengan berita sejenis di koran yang berbeda. Namanya tabayyun," katanya kemudian.

"Kok bisa? Bukannya sumber berita itu sama?"

Abah Leman tersenyum kecil. "Begitulah dunia media. Satu fakta yang sama, maka ratusan tafsiran yang akan muncul dan ditulis. Dan ini bergantung banyak hal. Pengetahuan wartawan, sudut pandang wartawan, serta yang terpenting adalah siapa pemilik modal media tersebut."

Ahmad Jalu menghentikan kerjaannya. Kemudian ia merapikan beberapa lipatan koran dan majalah yang ada. "Wah, sepertinya berat nih."
 
Abah Leman menyunggingkan senyumnya. Sesekali ibu jemari tangannya bergerak-gerak kecil menyentuh jemari lainnya secara runtun. Bertasbih.
 
"Bukankah profesi yang bekerja di media massa, seperti di tv, koran dan majalah itu namanya wartawan? Maksudnya yang mencari-cari berita ke sana kemari lalu melaporkannya," tanya Ahmad Jalu.
 
"Betul, itu namanya wartawan. Zaman dulu, sebelum ada komputer disebut kuli tinta lalu kuli disket, dan sekarang entah apa lagi sebutannya seiring tehnologi yang makin canggih."

"Hmmm...sepertinya enak ya, Bah, kerja jadi wartawan itu?"

"Enak bagaimana?" selidik Abah.

"Ya, mereka selalu pergi ke berbagai tempat, banyak kenal orang-orang penting, terus kayaknya juga ditakuti sama polisi dan pejabat, deh."

Abah Leman tertawa pelan. "Itu kalau kita melihat dari sisi luarnya saja, sekilas seperti enak. Tapi sebenarnya, tugas mereka penuh resiko dan penuh tanggung jawab. Orang-orang yang takut sama wartawan biasanya mereka yang punya salah. Kalau tidak salah, ngapain juga harus takut," ujarnya.

"Beresiko bagaimana, Bah?"

"Ya banyak. Pertama waktu, sistem kerja wartawan berbeda dengan sistem kerja karyawan kantoran atau pabrik. Umumnya mereka tidak terikat waktu kerja. Pergi siang, pulang malam bahkan bisa sampai dinihari. Di sini wartawan sudah meninggalkan keluarganya. Meninggalkan istri, anak, atau orang tua. Ini baru resiko pertama..."

"Apalagi, Bah?"

"Resiko berikutnya adalah wartawan suka mendapat ancaman, intimidasi, pemukulan, bahkan pembunuhan. Resiko ini datang dari pihak yang tidak suka dengan pemberitaan yang sedang diliput. Kejadiannya sudah banyak. Biasanya, resiko tersebut muncul saat wartawan tengah menggali informasi penting dari masalah-masalah yang melibatkan orang penting atau kepentingan banyak. Pahamkan?"

"Kasihan juga, ya?" kata Ahmad Jalu pelan sambil menganggukkan kepala.

"Resiko yang terberat adalah wartawan harus bisa mempertanggungjawabkan kebenaran berita yang ia buat kepada masyarakat dan kepada Allah di akherat nanti. Berita yang ia tulis kan harus objektif, harus berpijak pada fakta dan data bukan opini. Tidak ditambah atau tidak dikurangi. Apalagi dimanipulasi.

"Karena kalau sampai ini terjadi, lama-kelamaan masyarakat tahu akan kredibilitas wartawan tersebut dan pada akhirnya media massa dimana tempatnya bekerja. Biasanya, wartawan yang mengangkat berita kacangan dan asal-asalan apalagi hanya sebatas fitnah, media tempat wartawan bekerja tersebut akan cepat tutup karena ditinggalkan oleh masyarakat yang semakin cerdas."

Ahmad Jalu hanya terdiam. Ia mencoba meresapi penjelasan yang disampaikan oleh Abah Leman. "Berarti, memang tidak gampang jadi wartawan, ya?"

"Iya, profesi wartawan tidak sekedar menuliskan berita setelah itu selesai. Saat menuliskan berita, wartawan harus juga mempertimbangkan perlu atau tidaknya berita tersebut ditulis, masuk akal atau tidak, bermanfaat atau tidak bagi masyarakat, dan masih banyak lagi."

"Tapi, Bah. Bukannya ada juga oknum wartawan nakal?"

"Di profesi apapun, orang nakal atau jahat selalu ada. Di dunia pers pun demikian. Ada segelintir wartawan nakal yang bekerja hanya untuk mengenyangkan perut sendiri. Prilaku mereka cukup meresahkan. Biasanya mereka akan mencari sumber berita yang bisa diduitkan. Mereka akan mendatangi tersangka koruptor, pejabat yang suka selingkuh, kepala proyek. Mereka datang lalu seolah-olah mencari informasi, padahal ujung-ujungnya minta uang."
 
"Kasihan dong, wartawan yang bekerja dengan baik?"

"Begitu memang, kadang karena ulah segelintir oknum, efeknya bisa menyeluruh. Dianggapnya semua orang yang bekerja di profesi tersebut, sama nakalnya," Abah Leman mengusap-usap rambut di kepalanya yang mulai beruban.

"Tapi untungnya," sambungnya, "Sebagai pekerja profesi, kalangan wartawan punya organisasi resmi. Selain untuk menunjukan kekuatan wartawan, juga untuk menekan berkeliarannya oknum wartawan nakal. Lagi pula, dengan masyarakat yang semakin banyak tahu, mereka juga akan mengenal perilaku wartawan nakal. Dan yang terpenting, kalau kita tidak punya salah, buat apa takut pada wartawan?"

"Kalau nanti ada wartawan nakal mendatangi Abah bagaimana?"

"Biarin saja. Apa yang Abah takutkan? Toh Abah bukan selebritis ini. Hehehe.." jawab Abah Leman. Selamat Hari Pers Nasional! (***) Penulis pernah bekerja di sejumlah media nasional di Jakarta, dan kini bekerja sebagai tenaga pendidik di International Islamic High School, Jakarta.



                                                                                                                                         
Editor    : Ai


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar