Pasal 158 UU Pilkada Bahayakan Demokrasi Masa Mendatang

JAKARTA, RIAUBERNAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini tidak ada satu pun yang menerima permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) dari 26 perkara yang disidangkan. Semuanya tumbang di tangan MK dengan menggunakan pertimbangan ‎Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) dan Pasal 6 Peraturan MK Nomor 1-5 tahun 2015.

Namun, tentu keberadaan Pasal 158 UU Pilkada itu bukan hanya membahayakan demokrasi hari ini. Tetapi juga di masa mendatang. Sebab, putusan hari ini menjadi yurisprudensi MK pada perkara serupa pascapilkada serentak 2017 dan tahun-tahun berikutnya.

"Ini dampaknya akan panjang. Bisa jadi yurisprudensi ke depannya. Sangat ironis sekali kita dengar hakim membacakan alasannya karena ini pertimbangan budaya hukum," ujar Ilham Presetio Gultom, kuasa hukum Pasangan Calon Bupati Labuhan Baru, Tigor Panusunan Siregar dan Eri Atrada Eritonga usai sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/1/2016), seperti dilansir BeritaSatu.com.

Menurut Ilham, bahaya yang dimaksud adalah persoalan hari ini dengan putusan MK seperti itu, bisa menjadi persoalan di masa mendatang. Karena pada pilkada serentak 2017 akan terjadi kecenderungan ‎semua pihak kontestan akan melakukan upaya kecurangan semaksimal mungkin. Yang penting mereka bisa memperlebar jarak selisih di atas dua persen dengan pasangan calon lain.

"Artinya, potensi kecurangan-kecurangan akan semakin terbuka. Kita khawatirkan pada pilkada 2017 itu bakal terjadi seperti ini lagi," ucap dia.
‎‎
Katanya, prediksi kecurangan itu bakal terjadi di pilkada serentak selanjutnya. Padahal, harusnya MK bisa melakukan terobosan hukum, demi melihat persoalan hari ini, di mana banyak permohonan mendalilkan telah terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif menjadi diabaikan.

"Sementara itu sudah menjadi yurisprudensi pada tahun 2008 betapa manisnya MK bilang bukan lembaga kalkulator, MK saat itu menyatakan akan mencari keadilan. Namun, ini kita melihat sendiri itu bagaimana hari ini (keberadaan Pasal 158) sudah masuk persoalan putusan," ujarnya.

Di satu sisi, kata dia, sudah ada empat uji materi terhadap Pasal 158 UU Pilkada itu ke MK jauh sebelum perkara PHPKada didaftarkan ke MK. Tapi 2 perkara sudah ditolak oleh MK. Sementara dua lagi ditangguhkan persidangannya karena persidangan perkara PHPKada ini.

"Dua uji materi (Pasal 158 UU Pilkada) ditangguhkan. Kita lihat saja nanti bagaimana nasibnya. Dan akhirnya kita tidak bisa melakukan kajian sudah sejauh mana kualitas dan perbaikan yang dilakukan KPU. Terbukti hari ini KPU tidak pernah bisa dikaji karena dibatasi segmen Pasal 158 itu," ucap Ilham.

Adapun sebanyak 26 perkara PHPKada yang permohonannya gugur karena MK menjadikan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK Nomor 1-5 Tahun 2015 sebagai pertimbangan. Ke-26 perkara itu, yaitu Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Malang, Kabupaten Barru, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Kabupaten Nias Selatan, dan Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak dua perkara.

Lalu ada Kabupaten Nias, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Nias Utara, dan Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Samosir, Provinsi Bengkulu, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lebong, Kota Tangerang Selatan sebanyak dua perkara, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten Cianjur. (***)


Editor    : Ai


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar