Polemik Pembagian Fee PT SAU, Ini Penjelasan Kades dan Ketua KUD Ransang

Pemuda Desa Ransang, Jojon

PELALAWAN, RIAUBERNAS. COM - Pasca Koperasi Unit Desa (KUD) Desa Ransang menerima transfer dana  Bagi Hasil Hutan (BHH) atau fee alam dari PT Selaras Abadi Utama (SAU), polemik soal skema pembagian hasil pada warga Desa Rangsang, Kecamatan Pelalawan mulai timbul. Tidak transparannya Ketua KUD dalam mengelola keuangan serta dugaan pembagian yang tak merata menjadi pangkal persoalan ini.

"Kami hanya minta pihak KUD transparan dalam soal pembagian fee dari perusahaan ini, serta pengelolaan keuangannya," kata salah seorang pemuda Ransang, Jojon, pada media ini, Selasa (7/4/2020).

Pemuda Rangsang yang tinggal di Pangkalankerinci dan tergabung dalam Aliansi Ransang Komunitas ini menduga adanya pembagian fee dari PT SAU yang baru diterima itu diberikan secara tidak adil. Jika kriteria pembagian fee alam itu hanya berdasarkan Kartu Keluarga maka hal yang aneh jika ada sejumlah warga Ransang yang berdomisili di Pangkalankerinci dan memiliki KK di sini tapi menerima pembagian 100%, tapi ada juga warga yang tinggal di Kerinci tapi KK-nya tertinggal di kampung malah dikasih 50%.

"Sedangkan ada pejabat desa Ransang yang tinggal di Pangkalankerinci malah nerima pembagian 100%. Jadi kriteria pembagian fee itu seperti apa detilnya," tandasnya.

Dia juga menyinggung soal pinjaman uang sebesar Rp. 300 juta yang dilakukan oleh Ketua KUD Desa Ransang dengan alasan untuk pemasangan listrik tapi ternyata listrik tak terpasang uang itu malah dibagi-bagi ke warga. Kemudian Ketua KUD itu pinjam Rp. 300 juta lagi pada perusahaan dengan alasan yang sama. Kali ini memang listrik terpasang untuk KWH 900 tapi masyarakat harus tambah lagi Rp. 500 ribu.

"Jadi banyak sekali kejanggalan untuk pembagian fee dari perusahaan kali ini, Bang," ujarnya.

Ketua KUD Desa Ransang, Rasman, dikonfirmasi soal ini, Selasa (7/4/2020), menjelaskan bahwa sampai sejauh ini belum ada rapat soal pembagian fee dari perusahaan karena kondisi dan situasi yang tak memungkinkan akibat pandemi Covid-19 ini. Selain itu untuk masalah pembagian fee bukanlah wewenang KUD tapi kewenangan itu ada pada rapat desa.

"Kalau masalah pembagian, itu bukan wewenang kami selaku KUD, Bang, itu berdasarkan hasil keputusan rapat desa yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Desa Ransang, baik yang tinggal di sini maupun yang tinggal di Kota Pangkalankerinci," ujarnya.

Karena itu, dirinya merasa heran jika disebut tak transparan karena rapat desa untuk menentukan besaran fee sendiri belum pernah dilaksanakan. Dan jikalau nanti dilaksanakan pun, aparat desa pasti akan mengundang seluruh warga Desa Ransang ini, baik yang di sini maupun yang tinggal di Pangkalankerinci.

"Uang dari perusahaan inikan memang hak warga Desa Rangsang. Jadi penentuan untuk pembagiannya fee-nya pun ya berdasarkan rapat desa, bukan ditentukan oleh Kades atau pun KUD," katanya.

Diakuinya bahwa sebagian warga menginginkan rapat desa guna menentukan pembagian fee itu secepatnya bisa digelar. Karena di tengah kondisi ekonomi yang makin sulit akibat Covid-19 ini, uang dari perusahaan listrik yang memang merupakan hak warga Desa Rangsang ini jelas sangat dinanti oleh masyarakat.

"Tapi dengan kondisi dan situasi pandemi Covid-19 ini, kan kita dilarang berkumpul apalagi sampai mengumpulkan warga. Sementara kalau rapat desa soal fee ini, pasti akan dihadiri oleh semua masyarakat bahkan dari Diskop Pelalawan akan kami undang. Kami sendiri sudah koordinasi dengan Kades, Camat Pelalawan sampai ke Bhabinsa Polsek Pelalawan, tapi kesemuanya belum ada yang bisa memutuskan apakah rapat desa itu bisa secepatnya digelar atau tidak, karena kondisi wabah Covid-19 ini," ungkapnya.

Disinggung soal pinjaman Rp 300 juta dengan alasan untuk pemasangan listrik yang tak ada realisasinya bahkan uang tersebut dibagi-bagi, Rasman menceritakan kronologisnya. Menurutnya, pada peminjaman  awal sebesar Rp 300 juta itu, Desa Ransang sudah memiliki tiang listrik dan jaringan namun jaringan perantara dari Desa Merbau ke Desa Ransang baru separuh jalan hanya sekitar 2 kilo setengah belum ada tiang, sehingga hal tersebut tak memungkinkan untuk dibuat lampu. Karena itu, masyarakat kemudian meminta dibagi-bagi.

"Saat dibagi itu, saya hanya menyerah terima saja dengan pihak perwakilan desa. Jadi perwakilan desa lah yang membagikan ke masyarakat dalam hal ini kalau tak salah yang membagikan Ketua BPD karena Kades sedang tak ada," ujarnya.

Di pinjaman kedua pada PT SAU dengan nilai nominal yang sama, uang itu memang dipergunakan untuk pemasangan listrik. Pada saat itu, dianggarkan satu unit rumah untuk pemasangan instalansi listrik dengan meterannya sekitar Rp 3 juta tiap rumah. Dan rumah yang akan dipasang sebanyak 155-160 unit. Namun ternyata uang yang dipinjamkan sebesar Rp 300 juta itu tak mencukupi sepenuhnya untuk pemasangan instalansi listrik.

"Padahal kami sudah mendapatkan biro listrik yang mau banting harga yakni untuk pemasangan Kwh 1300 biayanya 2,7 juta, dan untuk pemasangan Kwh 900 dikenakan biaya 2,3 juta. Dari pinjaman kedua sebesar Rp 300 juta itu jika dibagi untuk 160 unit rumah, masing-masing rumah dibantu sekitar Rp 1.875.000. Pada saat itu, rumah warga yang dipasang oleh Biro hanya 92 unit, sisanya mereka pasang sendiri karena ingin cepat," ungkapnya.

Lanjutnya, dari selisih uang yang dibagi dengan pembayaran pemasangan instalansi listrik itu ada kekurangan sebesar Rp 40 juta. Guna menutupi kekurangan itu, pihaknya meminjam pada seseorang, dengan harapan setelah pembagian fee nanti 92 warga yang dipasang instansi listrik itu bisa membayarnya.

Terpisah,  Kepala Desa Ransang, Salahudin, yang ditelepon media ini, Selasa (7/4/2020), menyatakan hal yang kurang lebih sama. Menurutnya, bahwa pembagian fee dari perusahaan ditentukan dari hasil keputusan rapat desa yang dihadiri oleh semua lapisan warga.

"Rapatnya pun tidak tertutup, kok, transparan. Untuk kriteria pembagian bukan wewenang saya pribadi atau Ketua kud tapi benar-benar berdasarkan hasil rapat desa," ujarnya.

Ditanya soal skema pembagian fee sebelumnya, Salahuddin menjawab bahwa dia tak tahu karena pada pembagian sebelumnya dirinya belum menjabat sebagai Kades. Tapi sepanjang pengetahuannya ada sekitar 30 KK warga Desa Ransang yang tinggal di Pangkalankerinci.

"Ada sekitar 30 KK, kalau tak salah. 15 KK memiliki KK di di sana sementara sisanya lagi sudah tak memiliki KK," ujarnya.

Diakuinya bahwa dirinya saat ini tengah mencari waktu yang tepat untuk menggelar rapat desa membicarakan soal pembagiaan fee dari PT SAU, yang memang merupakan hak masyarakat Ransang. Namun akibat wabah Covid-19 yang membuat rapat desa menjadi terhambat karena tak diperkenankannya untuk berkumpul.

"Saya telah koordinasi dengan pihak-pihak terkait tapi kondisinya memang tak memungkinkan karena wabah Covid-19 ini. Saya juga bingung sebenarnya, karena sisi lain saya paham keinginan masyarakat agar fee ini segera dibagi sehingga ekonomi masyarakat agak terbantu namun sisi lain pandemi Covid-19 ini tak memungkinkan pihaknya untuk menggelar rapat desa," ujarnya.

Kabid Koperasi, Aswandi, dikonfirmasi soal ini mengatakan bahwa pihaknya sudah mengetahui persoalan ini dan sudah memanggil pengurus KUD Ransang. Namun karena pandemi Covid-19 ini, pihaknya belum bertemu dengan Ketua kud Ransang.

"Tapi saya sudah memberitahu lewat telpon agar pengurus KUD menyelesaikan persoalan ini. Dan harus diingat, KUD tak memiliki kewenangan untuk mengurus persoalan ini apalagi sampai menentukan pembagian fee bagi masyarakat desa," tukasnya. (ndy)


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar