Dua Tokoh Masyarakat Kabupaten Pelalawan Tolak Revisi UU 22 Tahun 2009

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009.

PELALAWAN, RIAUBERNAS.COM - Dua orang tokoh masyarakat Pelalawan, Hendri Maidi Amin selaku Ketua Paguyuban PKDP (Persatuan Keluarga Daerah Pariaman) Kabupaten Pelalawan mengungkapkan, Kamis (12/4/2018), bahwa revisi atau perubahan UU 22 tahun 2009 tidak perlu lagi untuk di revisi & masih relevan dengan kondisi saat ini ungkapnya di Pangkalan Kerinci.

Menurutnya, hal ini sangat aneh dan terkesan mubazir. Selain itu, ia menilai rencana revisi tersebut juga sarat atas bisnis perorangan.

"Saya mewakili pemuda dan masyarakat PKDP Kabupaten Pelalawan sangat tidak setuju jika dengan revisi tersebut. Kami menilai hal ini pemborosan anggaran," tambahnya.

Hendri menambahkan, menurut dirinya, rasanya tidak perlu kalau ojek dering atau online diatur dalam Undang-undang, dengan harus merevisi UU No 22/2009, tapi kalau mau diatur juga, cukup melalui Perda saja atau peraturan kepala daerah setempat.

“Tak perlu lah ojek dering atau online itu diatur dalam UU dengan merevisi UU No 22/2009, tapi kalau mau diatur juga, cukup melalui Perda saja atau peraturan kepala daerah setempat, karena statistik tiap daerah kan berbeda-beda“, pungkas Hendri.

Hal senada disampaikan oleh Mulyadi, tokoh masyarakat Pagunyuban Jawa Riau, Rantau Baru Kecamatan Sei Kijang Kabupaten Pelalawan mengatakan, kepada awak media bahwa UU 22/2009 tidak relevan untuk direvisi, karna menurutnya UU tersebut sudah baik dan tidak perlu diubah lagi,ujarnya ditempat yang berbeda.

"Meskipun saat ini angkutan ojek online atau ojek dering (grab), belum ada di wilayah Pelalawan, namun kalau hal itu mau diatur lebih lanjut, saya rasa cukup melalui Peraturan Daerah (Perda) saja", ungkap Muliadi.

Pendapat dari dua tokoh masyarakat Kabupaten Pelalawan tersebut, sejalan dengan pemikiran dan pendapat dari Prof DR H Syafrinaldi SH, MCL ahli bidang hukum sekaligus REKTOR UIR dan Prof.DR.Ir.Sugeng Wiyono, MMT dalam diskusi yang dilaksaanakan pada Rabu (11/4/2018) di Pekanbaru.  
Dimana kedua Profesor tersebut menyampaikan, bahwa penerapan sepeda motor R2 sebagai kendaraan Umum sebaiknya diakomodir melalui Perda sesuai kebutuhan oleh daerah masing masing karena angkutan jenis ini hanyalah kendaraan umum sementara yang mengisi kekosongan atau transisional dari misi pengembangan tranportasi massal yang telah disepakati melalui RUNK , menjadikan R2 sebagai kendaraan umum dengan merevisi UU lalu lintas akan menimbulkan kontra produktif dari target pengembangan transportasi massal yang berkeselamatan apalagi R2 memiliki kerentanan pada kecelakaan.

Apabila diakomodir secara nasional melalui Revisi UU lalu lintas untuk R2 menjadi kendaraan umum, akan membawa dampak luar biasa pada kesepakatan bersama RUNK, karena pengaturan transportasi merupakan bagian terpenting dalam upaya nasional meningkatkan keselamatan berlalulintas.

Pemerintah pusat sebaiknya mendelegasikan kewenangan ini pada pemerintah daerah melalui Perda yang tentu saja pengelolaannya akan lebih sesuai kebutuhannya dengan persaingan usaha yg sehat termasuk penentuan tarif, karena tiap daerah memiliki kemampuan daya beli jasa yang berbeda, samahalnya tarif angkot didaerah masing masing.

Menyangkut kendaraan taxi online/daring, sudah cukup diakomodir pada Permen 108/2017, yang diperlukan adalah pelaksanaan yang optimal dari Permen 108/2017 secara konsisten, karena aturan teknis sudah sangat detail dan mengakomodir semua kepentingan taxi/angkutan daring.

Ketegasan dalam pelaksanaannya justru sangat dibutuhkan, karena merevisi UU 22/2009 justru akan menambah kisruhnya wajah transportasi. Karena akan tarik menarik kepentingan, sehingga melupakan amanat RUNK yang telah disepakati bersama seluruh stakeholder. Intinya UU 22 /2009 masih sangat relevan dan justru harus lebih konsisten dalam menjalankannya. (rls/sam)

 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar