Hutan dan Kehancuran Kehidupan Masyarakat Sekitarnya

Dalam Waktu 30 Tahun, Hutan Alam Kita Sudah Tamat Riwayatnya

(bagian ketiga
Oleh Fahrullazi
 

Secara faktual, sampai tahun 1970 hutan di Riau, mungkin juga Jambi dan Kalimantan masih cukup luas dan belum terjamah secara luas.  Kawasan perkampungan masih dilingkupi oleh hutan yang lebat. Sungai, tasik, danau yang ada di dalam hutan, masih alami dan terjaga dengan baik. Keberadaanya masih menjadi sumber-sumber mata pencarian dan kesenangan bagi masyarakat karena benar-benar menjadi supermarket yang gratis dan tentunya juga binatang liar.

Sekitar tahun 1973 untuk menutupi kekurangan devisa negara karena harga minyak bumi kala itu mengalami penurunan harga, maka pemerintah pusat mulai melihat peluang penambahan devisa baru guna menutupi kekurangan devisa yang ada. Salah satu yang dijadikan sumber devisa yang baru itu adalah hutan. Pada waktu itu muncullah kebijakan pemberikan izin penebangan hutan atau yang lebih dikenal sebagai Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang di dalam ketentuan itu perusahaan bisa mendapatkan sebuah kawasan, untuk penebangan, pemudaan dan pemeliharaan hutan.
           
Dengan mengantongi izin, perusahaan mulai merambah hutan belantara guna ditebang dan diambil kayunya. Satu perusahaan penguasaan hutan bisa mendapatkan puluhan bahkan ratusan ribu hektar kawasan. Dari titik ini, meskipun kayu terutama dalam ukuran besar, bahkan ada yang diameternya mencapai  dua meter ditebang, tetapi hutan masih tetap dapat menjadi penyanggah bagi kehidupan masyarakat sekitar hutan, sebab tidak semua kayu dihabisi, dan hutan juga masih dapat menjadi rumah bagi hewan-hewan liar yang ada.

Dalam dekade 1980. Potensi hutan di Riau mulai menipis, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan pengalihan hutan untuk dijadikan areal perkebunan besar-besaran. Salah satu komonditi perkebunan yang dipilih adalah perkebunan sawit. Peluang ini kembali dinikmati sejumlah perusahaan besar baik swasta maupun nasional. Jutaan hektar hutan akhirnya dibabat habis dan digantikan dengan tanaman sawit. Dari sinilah mulainya  puluhan ribun hektar hutan dihancurkan. 
             
Ada banyak protes saat itu, terutama menyangkut keberlangsungan masyarakat yang hidup sangat tergantung dengan hutan, seperti Sakai, Kubu, Dayak, Talang Mamak dan lain sebagainya, tetapi semuanya tidak membuahkan hasil yang memadai, dan hutan terus dibabat untuk dijadikan kebun bagi para pemodal besar.
Nyayian investasi, nyanyian hutan tidak ekonomis, nyanyian pembukaan lapangan kerja baru, membuat suara masyarakat yang ingin melindungi hutan dari kepunahan menjadi tidak bergema. Malahan mereka bisa dianggap kuno, penghambat kemajuan, tradisional dan jauh dari kata modern, sebuah kata yang jadi impian banyak orang walaupun apa sesungguhnya modern itu tidak mereka ketahui.

Untuk tetap tidak timbul gejolak atas perambahan hutan besar-besaran, masyarakat terus dijauhkan dari hutan,  dengan memainkan isu bahwa masyarakat sebagai perambah hutan melalui ladang berpindah sehingga bisa dipersoalkan secara hukum, masyarakat dituding melakukan pemebakar hutan, lalu bisa pula dihukum. Padahal, pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan waktu itu bisa menimbulkan asap berbulan-bulan, karena areal yang telah ditebang hutannya dan dibakar mencapai ratusan ribu hectare, tetapi mereka dianggap biasa saja. Pada sisi lain,  masyarakat dituding pula sebagai perusak hutan dengan tuduhan pelaku illegal logging dan lain sebagainya, sementara izin terus keluar terhadap penggarapan hutan besar-besaran yang mencapai jutaan hektar. 
             
Pase perkebunan sawit masih meninggalkan kawasan-kawasan rendah, gambut yang banyak terdapat dibibir kiri kanan batang sungai yang ada di Riau seperti dihilir Sungai Kampar, Sungai Indragiri, Sungai Siak dan Sungai Rokan. Kawasan ini dinilai tidak cocok untuk Sawit sehingga kurang diminati oleh perusahaan besar sector perkebunan sawit. Dikawasan ini masih dapat menyimpan hutan, seperti sekitar desa Pelalawan, Tolam, Sungai Ara, hingga ke Pulau Muda dan Serapung dimana hutannya masih dapat dimanfaatkan bagi masyarakat untuk sumber mata pencarian, dan kebutuhan hidup lainnya.
             
Namun memasuki pase tahun 2000 an, dimana kebutuhan akan kayu untuk pembuatan kertas meningkat tajam, sehingga dibutuhkan lahan begitu banyak untuk hutan tanaman industri, maka hampir sebagian besar hutan-hutan yang tersisa punah. Tidak peduli kawasan gambut, kawasan rendah, pulau, yang penting asalkan bisa ditumbuhi kayu, semuanya areal itu diambil dan digunakan untuk dijadikan kawasan Hutan Tanaman Industri. Kawasan Pulau Padang, Pulau Rangsang, Pulau Rupat yang kurang diminati oleh pemain sector perkebunan sawit, semuanya disapu oleh pengembang hutan tanaman Industri. 
             
Kali ini hutan alam benar-benar kehilangan napas, puluhan bahkan mungkin ratusan jenis tanaman kehilangan jejak, dan digantikan dengan tanaman akasia, atau jenis lainnya yang kayunya untuk kebutuhan industri kertas baik bagi kepentingan perusahaan kertas yang ada di Perawang maupun yang ada di Pangkalankerinci.
             
Hutan alam menemui titik nadirnya, hingga saat ini masyarakat yang hidup selama ini bermanja dengan hutan alam sebagai sumber kehidupan, sudah kehilangan habitatnya .Hutan yang beratus tahun sebagai tonggak perekonomian dunia, menjadi penunjang segala aspek kehidupan, kini benar-benar punah. Jika kita hitung, hanya dalam waktu tiga puluh tahun (1980- 2020), hutan alam kita sudah tamat riwayatnya, dan dia benar-benar tidak lagi mampu menjadi tumpuan kehidupan.

Ada ratusan jenis obat-obatan dan kepandaian masyarakat Sakai, Kubu, Dayak, Talang Mamak, Bonei yang belum sempat dipelajari yang bersumber dari hutan akhirnya terkubur bersama hilangnya hutan. Negara seakan tidak memperdulikan, tidak mau tau bahwa bagi mereka masyarakat yang tinggal berdampingan dengan hutan, maka hutan adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Demikian juga bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan aliran sungai yang lahan mereka tidak cocok untuk kawasan pertanian dan  perkebunan maka hutan adalah sesuatu yang sangat mereka perlukan, tetapi negara, pemerintah yang berwenang baik pusat maupun daerah seakan tidak ada urusan dengan keadaan itu dan mereka malah terkesan justru yang membuka peluang terhadap pemusnahan sumber-sumber kehidupan itu. **

Penulis adalah Sekretaris Pusat Kajian Ketahanan Pangan dan Masyarakat.


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar