Menentukan Penyebab Kebakaran Harus Cocok Antara Fakta dan Pendapat Ahli

Prof Dr Yanto: Kalau Seperti Itu, Ahli Nujum Namanya!

Saksi ahli saat memberikan keterangan dalam sidang dugaan pembakaran lahan di Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan, Riau.

PELALAWAN, RIAUBERNAS.COM - Salah satu sebagai penentu penyebab kebakaran, seorang ahli harus melakukan pemeriksaan fakta-fakta seperti keterangan saksi sebelum mengeluarkan pendapatnya. Karena itu, aneh jika ada ahli yang menyebut bahwa penyebab kebakaran di lahan milik PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) di Gondai, Pelalawan karena dibakar, sementara dia hanya melihat bekas kebakaran tanpa mengkonfirmasi keterangan dari saksi-saksi yang melihat langsung kejadian itu.

Hal ini terungkap saat guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr Yanto Santoso, menjadi saksi ahli dalam sidang dugaan pembakaran lahan dengan tersangka Frans Katihokang di Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan, Riau, Senin (11/4). Menurutnya, tak ada ahli yang bisa mengetahui sebuah kebakaran terjadi akibat dibakar hanya dengan melihat lokasi bekas kebakaran saja.

"Kalau seperti itu, ahli nujum namanya," tandasnya.

Pernyataan Prof Yanto tersebut sekaligus mematahkan opini dari Bambang Hero, ahli lain dari IPB yang dalam sidang sebelumnya menyebut bahwa kebakaran di lahan LIH terjadi karena dibakar. Bambang, saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), diketahui tidak mempedulikan  keterangan saksi-saksi yang melihat langsung kebakaran dalam mengeluarkan pendapatnya bahwa LIH membiarkan terjadinya kebakaran.

Dalam keterangannya tersebut, Prof Yanto mengatakan bahwa untuk menghitung kerugian akibat sebuah kebakaran harus menggunakan patokan dan tolak ukur yang jelas. Misalnya, harus dipastikan bahwa asap hasil kebakaran murni dari hasil lahan yang terbakar dan pengukuran dilakukan pada saat terjadi kebakaran.

"Perhitungan kerugian menjadi tidak valid dan tidak relevan untuk digunakan jika alat ukur tidak ada saat kejadian. Apalagi jika hal itu dilakukan setelah kebakaran selesai, ngawur sekali," katanya.

Saksi ahli lainnya, ahli ilmu tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Gunawan Djajakirana,  memperkuat pernyataan Prof Yanto. Katanya, mengenai asap dari kebakaran lahan, perusahaan tidak dapat langsung disalahkan karena tidak dapat dideteksi sumber asal berasal darimana.

"Asap tidak ada tanda pengenalnya, jadi tidak bisa dituntut. Apalagi di udara tidak ada identitas yang dapat menyebut ini asap PT X dan itu asap PT Y," ujarnya.

Tidak Logis

Dalam kesaksiannya, Gunawan juga mengatakan bahwa tidak masuk akal sebuah perusahaan membakar atau membiarkan terjadi kebakaran terhadap tanaman sawit yang sudah dirawat dan dipelihara dengan baik. Apalagi tanaman tersebut berasal dari bibit unggul yang harganya mahal.

Terkait dugaan motif pembakaran untuk menaikan PH di lahan gambut, Gunawan yang tergabung dalam Asosiasi Ahli Gambut Indonesia menjelaskan, tudingan itu tidak berdasar. Untuk menaikkan PH di lahan gambut penggunaan kapur pertanian (kaptan) lebih efisien, karena biayanya lebih murah. Harga kaptan sekitar Rp 500 per kg.

Sementara dengan membakar sesungguhnya perusahaan harus mengeluarkan uang lebih banyak. Soalnya, lanjut Gunawan, akibat kebakaran lahan, kadar nitrogen yang dibutuhkan tanah akan berkurang. Sehingga butuh biaya untuk menaikkan kadar nitrogen tanah butuh biaya besar. Harga nitrogen sekitar Rp 8000 per kg.

"Jadi tidak logis jika ada perusahaan lebih memilih membayar Rp 8000 untuk nitrogen daripada Rp 500 untuk kaptan. Padahal kenaikan PH di lahan gambut yang terbakar hanya bersifat sementara. Perusahaan juga masih butuh banyak biaya lain untuk pupuk dan perawatan," ungkapnya.

Sebelumnya, ahli sawit dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan Ahmad Pinayungan Dongoran mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian lapangan di lokasi kebakaran PT LIH di lahan Gondai, kondisi tanaman sawit yang tidak terbakar sangat terawat dan merupakan tanaman dari bibit unggul.

Bibit sawit tersebut berasal dari PT Socfindo, salah satu perusahaan bibit sawit terbesar di Indonesia. Dengan usia tanaman mencapai sekitar 2 tahun, Ahmad menilai biaya yang telah dikeluarkan LIH untuk menanam dan merawat lahan Gondai sudah sangat besar.

"Logikanya konyol jika ada yang mengatakan LIH membiarkan lahannya terbakar. Kerugian perusahaan ini akibat kebakaran lalu sangat besar," ujar saksi ahli yang didatangkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), pada sidang LIH kemarin (11/4). (tim)



Editor    : Ai
 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar