Ketika Agama Tercerabut dari Hati
Oleh : Kang Endy
Sesuatu yang harus mengakar kuat dalam diri anak manusia dalam menjalani hidup ini adalah akar agama. Dan akar agama itu adalah iman. Jika iman sudah mengakar, seberat apapun masalah hidup, akan tetap bertahan. Insha Allah...
Sisa-sisa hujan masih tampak. Tetesan air masih berjatuhan dari ujung ranting, ujung dedaunan, juga ujung genteng rumah-rumah. Angin masih berhembus meski tidak terlalu kencang. Angin masih mengantarkan dingin yang mencecap ke dalam kulit. Langit pun belum terlalu terang karena masih terhalang awan.
"Hujannya deras sekali, Bah," kata Ahmad Jalu yang berdiri dari dalam mushola memandang ke arah luar dari jendela.
"Alhamdulillah. Allah masih mengucurkan rahmatnya buat kita semua," ujar Abah Leman selalu penuh makna.
Ahmad Jalu masih tetap memandang ke luar jendela mushola. Ia melihat sebuah pohon kayu yang baru saja tumbang saat hujan. "Hujan barusan, benar-benar deras disertai angin kencang. Sampai-sampai ada pohon kayu itu tumbang." Ahmad Jalu seolah ingin memberi tahu Abah Leman yang tetap duduk tenang tak jauh darinya.
"Iya, Nak. Tadi Abah juga dengar suara gedebuk. Sesaat setelah suara geluduk," kata Abah Leman, datar.
Tetes-tetes air dari genteng mulai berhenti. Awan mulai tersingkap. Langit mulai membiru cerah. Perlahan suara burung bermunculan. Merdu. Abah Leman berdiri menghampiri Ahmad Jalu yang masih berdiri di dekat jendela mushola.
"Menurut kamu, kenapa pohon itu bisa tumbang? Padahal, dari ukuran batangnya lumayan besar?" Abah Leman memancing dengan sebuah pertanyaan.
Sejenak Ahmad Jalu memperhatikan pohon yang dimaksud. "Mungkin umur pohon itu sudah tua, dan sepertinya batangnya juga keropos. Makanya ketika hujan deras disertai angin tadi, jadinya tumbang," jawabnya.
"Kalau Abah perhatikan dari ukuran batang dan warna kulit kayunya, pohon itu belum terlalu tua. Daun-daunnya masih sangat lebat, sama dengan beberapa pohon yang berada di sekitarnya. Tapi kenapa hanya pohon itu yang tumbang?" Abah Leman terus memancing anak remaja yang berada di hadapannya.
Ahmad Jalu kembali melemparkan pandangan ke objek yang sama. Kali ini, ia memperhatikan lebih perlahan dan teliti. Tiba-tiba senyumnya mengembang. "Sekarang Jalu tahu, Bah. Pohon itu tumbang karena akar pohonnya pendek-pendek, jadi tidak bisa menahan kuatnya terpaan angin."
Abah Leman mengangkat jempol tangannya, diarahkan ke Ahmad Jalu. "Seratus buat kamu, Jalu. Jawaban kamu benar. Pohon itu tumbang karena akarnya tidak kuat mengikat ke tanah."
Ahmad Jalu tersenyum senang karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan gurunya itu. Tapi senyuman itu kemudian hilang sesaat ia mengetahui wajah Abah Leman masih serius. Ia sangat hapal wajah lelaki tua itu kalau sedang memberikan untaian ilmu dan hikmah dari setiap keadaan yang terjadi.
"Kalau dalam pikiran Abah, pohon yang tumbang itu bisa diperlambang sebagai apa?" tanya Ahmad Jalu.
"Hmmm...rupanya kamu sudah mulai paham pikiran Abah," Abah Leman tersenyum. Lalu katanya, "Nak, sesuatu yang harus mengakar kuat dalam diri kita untuk menjalani hidup ini adalah akar agama. Kita mengenalnya dengan iman. Kalau iman sudah mengakar, kita akan bertahan dari setiap gangguan dan masalah hidup," ujarnya.
"Jadi kalau orang yang rapuh imannya, akan mudah rubuh seperti pohon itu?" Ahmad Jalu menegaskan.
"Seperti apa contohnya?"
"Menurut yang sering Jalu dengar, orang yang rapuh imannya akan mudah tergoda melakukan kemaksiatan dan dosa. Karena takut hidupnya miskin, ia melakukan penipuan atau korupsi di tempat kerjanya. Ada juga orang awalnya tidak mau maksiat, tapi ketika diajak teman-temannya, ikut-ikutan. Padahal teman-temannya mengajak untuk melakukan kejahatan," beber remaja itu.
"Waduh, kamu memberi contohnya seperti pengamat politik saja. Tapi memang benar. Banyak orang yang seperti itu. Jalu, ada yang lebih mendasar daripada itu, yakni banyak saudara kita yang muslim, yang hidupnya secara ekonimi miskin, mudah terjerumus kepada keputusasaan, sehingga ketika ada pihak lain memberikan bantuan ekonomi dengan syarat pindah agama. Nah, ini adalah perumpamaan yang pas dengan pohon tumbang tadi. Akar pohon yang mencengkram tanah seperti iman yang menancap di hati, dan batang pohon kayu yang tumbang seperti agama yang hilang. Nauzubillah...," jelas Abah Leman.
Ahmad Jalu terdiam. Ia meresapi setiap penjelasan Abah Leman .
"Ada lagi yang harus kamu tahu, Nak."
"Apa itu, Bah?"
"Sejak dulu sampai kini, ada pihak-pihak yang sengaja membuat akar keimanan umat muslim jadi rapuh. Mereka berupaya sekuat tenaga dengan berbagai upaya agar umat Islam ini hancur. Cara yang mereka lakukan ini sangat sistematis. Mulai dari hiburan, pakaian, termasuk makanan."
"Masa sih, Bah? Bukannya yang lemah iman itu karena tidak mau belajar agama?" sergah Ahmad Jalu.
"Salah satunya memang itu. Tapi para ulama, kyai, dan cendekiawan muslim menyebut upaya musuh-musuh Islam itu dengan istilah pendangkalan agama, pendangkalan aqidah. Kalau bahasa orang kuliahan atau akademisi menyebutnya dengan istilah sekulerisme," ungkap Abah Leman.
Jalu mengerenyitkan alisnya. "Jalu baru dengar istilah itu. Apa, Bah? Sekulerisme? Makhluk macam apa dia?"
Abah Leman tersenyum kecil. "Sekulerisme bukanlah makhluk hidup, ia lebih cenderung pada pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang. Penjelasannya memang panjang. Tapi Abah pendekkan khusus buat kamu. Sekulerisme adalah setiap upaya musuh Islam untuk memisahkan ajaran agama dari kehidupan pemeluknya. Mereka menggiring umat Muslim khususnya, dan manusia pada umumnya, bahwa agama itu hanya kegiatan ritual yang dilakukan di mesjid atau mushola. Agama itu hanya sholat, puasa, mengaji, zakat, dan ibadah haji. Kalau di pasar, di kantor, di kehidupan bermasyarakat atau di pemerintahan, bukan kegiatan agama. Dalam Da’irah Al-Ma’arif Al-Brithaniyyahatau Ensiklopedi Britania dinyatakan bahwa sekularisme adalah suatu gerakan sosial yang bertujuan mengubah kecenderungan umat manusia terhadap urusan akhirat beralih kepada urusan dunia semata." Abah Leman menarik nafas agak panjang.
Ahmad Jalu menyimak perkataan gurunya itu.
"Musuh Islam itu akan senang kalau ada seorang Muslim berkata, jangan bawa-bawa agama deh, dalam masalah ini. Atau nggak apa-apa nggak sholat, yang penting berbuat baik. Atau buat apa berjilbab, kalau sikap dan prilakunya masih jahil? Ada juga orang berkata, kebenaran itu relatif, tergantung sudut pandang masing-masing. Sekilas, ucapan-ucapan seperti itu seolah benar. Padahal, seperti itulah ucapan dan perkataan yang sudah terkena virus sekulerisme."
"Jadi tujuan sekulerisme adalah menggiring manusia cinta dunia dan melupakan akhirat?"
Abah Leman mengangguk, "Bisa dibilang begitu. Dalam berucap dan bertindak, manusia akan lebih senang menggunakan akal pikiran yang cenderung penuh nafsu daripada mendengarkan hati yang dibimbing keimanan agama.Dalam kehidupan berpolitik juga demikian. Umat Islam seharusnya tidak melepaskan agama. Anehnya, karena akar imannya lemah tadi, kini banyak orang Muslim yang mudah diadu domba, bahkan orang Muslim menjadi pendukung fanatik pemimpin non muslim. Sebagian mereka berkata, ini urusan pemilihan kepala daerah, bukan urusan pemilihan pemuka agama. Sebagian lagi berteriak, lebih baik pemimpin kafir tapi jujur daripada pemimpin muslim tapi korupsi," jelas Abah Leman.
"Tapi bukannya itu benar, Bah?"
"Jalu, kita harus menegakkan bahwa agama adalah payung dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam urusan memilih pemimpin. Jangan sampai kita memilah-milah agama sesuai keinginan kita. Kalau itu kita lakukan, maka tunggu saja kehancuran agama kita seperti pohon yang tumbang. Bagaimana mungkin orang kafir bisa berlaku adil, kalau menerima kebenaran dari Allah saja, tidak bisa."
"Berarti kaum sekuler sudah banyak dong?"
"Bukan banyak lagi, tapi sudah menggurita. Di banyak kalangan sudah ada antek penyebar virus sekulerisme, termasuk di kalangan cendekiawan keagamaan. Cirinya, mereka akan selalu bersimpati terhadap permasalahan yang sudah jelas-jelas dilarang agama Islam. Kamu juga bisa menjadi anteknya, duitnya gede, lho."
Ahmad Jalu hanya tersenyum kecil. "Mudah-mudahan Allah menguatkan keimanan dalam hati Jalu, Bah."
Abah Leman tersenyum. Katanya, "Nak, akar keimanan yang pertama dicabut adalah dari masalah jabatan atau kedudukan karena memang banyak menggoda manusia. Musuh Islam menghembuskan kalau agama jangan ikut campur urusan politik. Abah kutipkan sebuah hadits, dari Umamah al Bahiliy dari Rasulullah SAW bersabda, 'Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, maka akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat'." (HR. Imam Ahmad). (***). Penulis pernah bekerja sebagai jurnalis di beberapa media massa di Jakarta, dan saat ini bekerja sebagai pendidik di SPM Menteng, Jakarta.
Editor : Ai
Tulis Komentar