Mengenal Lebih Jauh Perintis Pers Nasional, Adinegoro

"Sejak tahun 1974, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberikan penghargaan Hadiah Adinegoro untuk karya jurnalistik terbaik yang diselenggarakan setiap tahunnya, saat ini penghargaan tersebut sudah berubah nama menjadi Anugerah Adinegoro."

Adinegoro merupakan sosok perintis pers nasional yang kemudian namanya diabadikan dalam pemberian penghargaan kepada karya jurnalistik terbaik. Terlahir dengan nama Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan, Adinegoro merupakan adik dari sastrawan dan pejuang, Muhammad Yamin.

Memiliki darah Minang yang kental, Adinegoro yang lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 mempelajari ilmu jurnalistik ketika Indonesia masih di bawah cengkraman kolonial Belanda. Latar belakang pendidikannya tergolong tinggi pada masa itu. Anak dari pasangan aristokrat  Usman gelar Baginda Chatib dan Sadarijah ini belajar di STOVIA pada tahun 1918 hingga 1925.

Adinegoro bahkan sempat memperkaya ilmunya di bidang jurnalistik, geografi, kartografi dan geopolitik di Jerman dan Belanda pada kurun waktu 1926 hingga 1930.

Latar belakang nama Adinegoro

Djamaluddin muda terpaksa memakai nama samaran ketika bersekolah di STOVIA karena di sekolah Belanda itu ia siswa tidak diperbolehan untuk menulis. Maka Adinegoro adalah nama pena seorang Djamaluddin yang memiliki hasrat tinggi untuk menulis kala itu sekaligus menjadi identitas barunya.

Memiliki identitas baru, Adinegoro semakin gencar dan produktif menghasilkan tulisan dan mempublikasikan tulisan-tulisannya. Pengalaman pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman membuat Adinegoro sangat menguasai bidang jurnalistik yang ditekuninya.Selain jurnalistik,  Adinegoro mempelajari kartologi, geografi, politik dan geopolitik. Ilmu pengetahuannya yang luas kemudian disalurkannya melalui tulisan jurnalistik.

Sebagai wartawan, ia memulai karirnya di majalah Caya Hindia. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah itu. Namun selama menuntut ilmu di Eropa, dia sempat menjadi penulis lepas di surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka.

Kembali ke tanah air, Adinegoro mengambil alih kepemimpinan Panji Pustaka pada tahun 1931, hanya bertahan enam bulan kemudian ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1931-1942). Karir wartawannya berlanjut, ia pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun pada masa pendudukan Jepang. Ia lalu ditugaskan sebagai Kepala Departemen Umum Chuo Sangi Sumatera Kai di Bukittinggi.

Kemudian bersama Prof. Supomo memimpin majalah Mimbar Indonesia kurun waktu 1948-1950. Sempat memimpin Yayasan Pers Biro Indonesia di tahun 1951, hingga akhirnya ia bekerja di Kantor Berita Nasional yang sekarang bernama ANTARA.

Tulisan Adinegoro dikenal tajam dan elegan. Padanan kata yang dipilihnya membuat Adinegoro berkali-kali berhasil dari perangkat hukum pemerintah Kolonial Belanda di Perbreidel-Ordonantie. Sebagai wartawan pada masa pra kemerdekaan, tentu Adinegoro selalu diawasi aktivitas jurnalistiknya karena ia mendukung gerakan nasionalis.

Suami dari Alidar binti Djamal dan ayah dari lima anak ini punya peran dalam mendorong orang-orang Sumatera untuk melaksanakan perintah Presiden Soekarno, mengambil alih pemerintahan dari Jepang dan menyatakan proklamasi kemerdekaan bersama pemimpin lokal.

Tahun 1949, Adinegoro meliput perundingan Konferensi Meja Bundar di Deen Haag pada masa Agresi Militer Belanda II. Ia mendirikan penerbitan Djambatan sebagai penghubung dua pihak yang berseteru, Indonesia dan Belanda untuk membuka pemahaman dan saling pengertian melalui buku. Pada masa-masa tahun 1950 an, Adinegoro ikut melawat ke Moskow bersama rombongan Presiden Soekarno dan meliput sidang PBB soal perebutan Irian Barat di Amerika.

Pada tahun 1956 Adinegoro menasionalisasikan Aneta yang dipimpinnya sejak 1951 dan mengubah namanya menjadi Persbiro Indonesia. Ia kemudian menjabat sebagai dewan pengawas dan anggota pimpinan dewan pemimpin.

Pembuat ATLAS pertama Berbahasa Indonesia

Adinegoro bersama koleganya asal Belanda Mattheus van Randwijk di tahun 1950 membuat ATLAS pertama yang berbahasa Indonesia. ATLAS itu dibuat mereka di Amsterdam, Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Hasilnya, terbitlah buku ATLAS Semesta Dunia pada tahun 1952. Inilah ATLAS pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk Sekolah Lanjutan. Tahun 1954 ia menerbitkan ensiklopedia pertama berbahasa Indonesia, Ensiklopedi Umum Dalam Bahasa Indonesia.

Wartawan sekaligus Sastrawan

Selain dikenal sebagai wartawan, Adinegoro dikenal juga sebagai sosok sastrawan yang cukup produktif menghasilkan karya sastra. Ia merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih maju menentang adat kuno dalam perkawinan yang dituangkannya ke dalam dua romannya, Darah Muda dan Asmara Djaja. Karyanya yang lain, Melawat ke Barat, berisi kisah perjalannya ke Eropa, kerap dianggap memiliki kualitas sastra yang mumpuni.

Ia menghasilkan esai berjudul Kritik atas Kritik yang menguraikan polemik kebudayaan pada tahun 1935. Ia beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas yang tak dapat ditiru orang lain. Ia mengumpamakan, pohon rambutan tidak akan pernah menghasilkan buah mangga, demikian juga sebaliknya.

Perintis Jurnalis Nasional

Bersama tokoh-tokoh masyarakat lainnya, Adinegoro mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta yang berkembang menjadi IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Publisistik). Ia juga yang mengambil prakarsa, bersama PWI Cabang Bandung mendirikan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjajaran Bandung.

Sebagai jurnalis idealis, pada 1958 Adinegoro bertutur seputar perjuangan jurnalsme nasional:

“Pers yang sehat hanya akan dapat subur tumbuhnya dan terjamin perkembangannya menurut sewajarnya dalam suasana bebas dan tidak terbatas. Kalau fakta tidak boleh lagi diberitakan secara sebenarnya, obyektif, aktual, tak dicampur-adukkan dengan opini, kalau sudah dilarang pula kritik yang zakelijk, kritik yang konstruktif, yang bukan berupa fitnahan atau penghinaan dan pengacauan, suara bebas tak dapat dilancarkan lagi oleh pers, maka kehidupan pers itu tak ada jaminan lagi akan menjadi sehat dan zelf-critiek akan layu dan mati dalam dada manusia Indonesia.”

Pada akhir hayatnya, Adinegoro bekerja di kantor berita Antara. Presiden Soekarno pernah menawari jabatan duta besar, namun Adinegoro lebih memilih melanjutkan karir sebagai wartawan. Dalam karirnya, ia sempat menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Adinegoro meninggal dunia pada hari Minggu, 8 Januari 2968 dalam usia 64 tahun, dimakamkan di Pekuburan Karet. Djamaluddin Adinegoro Gelar Datuk Maradjo Sutan kemudian dianugerahi penghargaan "Perintis Pers" tahun 1972. (***)



Editor        : Ai
Sumber    : haripersnasional.com


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar