Hutan Dan Kehancuran Kehidupan Masyarakat

(bagian satu dari empat tulisan)
Oleh: Fahrullazi 

Saya memulai tulisan ini dengan mereviu ulang apa yang terjadi sekitar awal bulan Juli 2023  lalu tentang tuntutan masyarakat Dayak  di  Kalimantan terhadap hutan tanah mereka yang habis dibabat untuk keperluan perkebunan dan lain sebagainya. Dan hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kerumutan dan lainnya yang ada di Riau.  

Berbagai aksi diperlihatkan baik saat mereka membolak balikkan mobil perusahaan, melakukan orasi ke DPRD maupun sampai menyampaikan Aspirasi melalui Tik Tok ke Presiden Republik Indonesia, Bapak Jokowi, agar keluhan dan persoalan hutan sebagai sumber kehidupan bagi mereka dapat menjadi titik perhatian.

Saya tidak tahu orang lain menilai permasalahan ini seperti apa dan titik perhatian mereka terhadap persoalan ini bagaimana? Bisa jadi mungkin soal anarkisnya, atau mungkin ada  yang melihat soal dari sudut politik dan macam-macam lainnya lagi. Namun melalui tulisan singkat ini, saya ingin menyoroti tentang fungsi dan peran hutan dalam banyak masyarakat di Indonesia termasuk tentunya bagi masyarakat Riau yang tinggal di pedesaan dan sekitar daerah aliran sungai.

Menurut saya, hutan adalah sumber kehidupan utama bagi masyarakat. Hutan memberi pengaruh dan membentuk hampir 90 persen kultur yang lahir ditengah masyarakat. Hutan menjadi inspirasi utama dalam tindakan dan bentuk-bentuk penghargaan terhadap alam yang pada akhirnya melahirkan kebudayaan, tatanan kehidupan social dan lain sebagainya termasuk hasil karya dan adat istiada. 

Selain pembentuk karakter kehidupan material , hutan juga pembentuk dan penginfirasi kehidupan non material, seperti karakter kedamaian, ketenangan. Hutan dan alam sekitarnya memberi pengaruh begitu besar bagi karakter kehidupan social masyarakatnya. Karena itu sesungguhnya hutan adalah sesuatu yang amat vital keberadaanya bagi keseluruhan kehidupan masyarakat. Selain masyarakat tentu hutan menjadi hal penting lainnya bagi kekayaan hayati, berupa flora dan fauna sebagai bahagian penting dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, bagi ilmu pengetahuan, ekonomi dan lain sebagainya.

Jika kita amati, sikap kemandirian pangan masyarakat, ketangguhan, kemerdekaan sesungguhnya ditopang oleh begitu melimpahnya sumber-sumber ekonomi yang dihasilkan oleh hutan tanah dan sungai, danau, tasik yang ada di dalamnya. Jika kita bawa ke kehidupan kota maka hutan adalah Hipermarket yang luar biasa yang menyediakan hampir 95 persen kebutuhan masyarakat. Berbagai kebutuhan, sandang, pangan, papan dan kebutuhan bersipat kebudayaan lainnya, semuanya tersedia di Hutan. 

Menariknya hutan memberikan secara secara cuma-cuma atau free. Bayangkan jika kita harus mendapatkan itu semua dengan menggunakan uang maka sudah tentu tidak sedikit uang yang harus kita keluarkan untuk membayar keperluan yang harusnya tersedia secara gratis oleh hutan. Berapa duit yang harus dikeluarkan untuk ke taman binatang hanya untuk melihat dan mendengar suaranya, berapa duit pula untuk akuarium, guna memelihara ikan yang ujungnya juga membuat kita repot. Berapa lagi dana yang harus kita keluarkan hanya untuk mendapatkan udara yang segar, obat-obatan dan material lainnya untuk keperluan keseharian kita. 

Masyarakat tak perlu mengeluarkan rupiah sepersenpun untuk penanaman, pemeliharaan, dan perawatan pohon yang tumbuh. Masyarakat  tak perlu membeli bibit pohon, bibit ikan, memberi makan ikan, memberi makan babi, rusa, banteng, pelanduk, napuh dan berbagai jensi binatang pedaging lainnya. Masyarakat  tak perlu memelihara burung, membuat sangkarnya untuk mendengarkan suaranya yang merdu dan melihat coraknya yang indah. Masyarakat bebas-sebebasnya menyaksikan puluhan jenis dan suara burung, suara siamang, ungka, ayam hutan, dan banyak jenis burung dan binatang lainnya. 

Selain dapat menikmati secara gratis tanpa perlu memelihara, binatang-binatang ini juga membantu masyarakat desa setidaknya melalui suaranya, kehadirannya sebagai petanda sesuatu yang mungkin buruk yang akan datang ke masyarakat. Demikian pula sebaliknya hewan-hewan itu juga sering memberikan petanda terhadap sesuatu kebaikan yang akan datang ke masyarakat.  Masyarakat bebas melakukan penangkapan baik itu dilakukan secara bersama-sama atau secara perorangan silahkan, dan hutan menyediakan tanpa rasa marah dan meminta imbalan.

Belajar dari pengalaman selama berabad-abad masyarakat akhirnya mampu membangun peradaban dan bersahabat dengan hutan. Entah mereka sadari atau tidak, tetapi sikap-sikap dan tindakan masyarakat terhadap hutan, dan lingkungan sekitarnya begitu terjaga. Adat istiadat terbentuk untuk saling menjaga dan melindungi, sehingga kondisi hutan tetap terlestarikan. Pada sisi lain kebutuhan hidup masyarakat sekitarnya terus dapat terpenuhi kapanpun mereka mau. 

Berdasarkan pengalaman, akhirnya masyarakat bisa memilah-milah dan membuat regulasi bagaimana cara berladang, bagaimana cara menangkap ikan pantas dan tidak merusak, termasuk tentunya dalam mendapatkan binatang untuk dikonsumsi ataupun diperdagangkan.

Ada banyak, cara, pantang larang yang mereka terapkan dalam merambah hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ada kepantasan-kepantasan atas apa yang patut dan tidak patut yang boleh dan tidak boleh mereka ambil, sehingga kelestarian tetap terjaga.

Pada sisi lain,  seperti anak-anak sungai, danau, tasik, lopak memberi jaminan kehidupan yang sangat pasti bagi masyarakat, sehingga masyarakat hidup begitu nyaman, saling toleransi. Mereka tidak perlu melihat jam tangan menghitung masa kerja yang dilakukan, sebab mereka hanya perlu waktu satu atau dua jam untuk memenuhi kebutuhan lauk pauk mereka selama satu dua hari. Mereka tak perlu mencurigai warga yang lain yang bepergian sebab mereka pasti akan kebagian sebab alam menyediakan melimpah.

Mereka hanya perlu waktu satu dua bulan bekerja untuk menyediakan makanan pokok selama setahun bahkan lebih. Waktu mereka habisnya lebih banyak becanda dengan hutan, dan kerja iseng yang menyenangkan. Saat musih buah-buahan, mereka beramai-ramai kehutan untuk memetik buah, membawa secukupnya dan membiarkan sisanya utuk tumbuh kembali. Waktu musim burung tertentu merka ramai-ramai menggetah burung dengan bergembira ria. 

Tidak ada wilayah stress yang mereka alami sebab hutan benar-benar menyediakan seluruh keperluan mereka. Hutan benar-benar menjadi pasar, gudang bagi kebutuhan kehidupan masyarakat. Untuk membuat rumah misalnya masyarakat punya beragam pilihan material dari berbagai jenis kayu, rotan, bambo dan daun-daun tertentu. Untuk membuat tiang rumah misalnya,  ada jenis kayu tertentu yang digunakan , untuk rangka lain lagi, untuk dinding, lantai jenis kayunya lain lagi. Untuk membuat perahu ada jenis kayu tertentu yang digunakan, untuk membuat tangkai kapak, hulu parang, hulu pisau, johan pancing, dayung, jembatan itu material kayunya selalu berbeda-beda berdasarkan ukuran kekuatan dan fungsinya. Untuk membuat alat tangkap, mereka gunakan rotan, bamboo, menariknya jenis-jenis bambu dan rotan juga selalu berbeda sesuai kebutuhannya. 

Dengan kearifan itu masyarakat tidak pernah menggunakan satu jenis kayu, rotan dan bambu dalam memenuhi kebutuhannya,  sehingga semua jenis kayu, rotan, akar dan bambu terawat dan terjaga keberadaanya tidak ada yang sampai punah, tetapi sudah punya fungsi dan peruntukan masing-masing. Atas fungsi, peran hutan yang demikian besarnya bagi kehidupan masyarakat seperti Dayak, Kubu, Sakai,  dan masyarakat lainnya seperti yang ada di Papua maka ada pantasnya masyarakat menjadi tersulut kemarahannya mana kala hutan yang menjadi tumpuan hidup mereka dirusak, dibabat sedemikian rupa. 

Barangkali ini pula yang tidak duduk, sebab dalam  pengeluaran izin  pengalihan fungsi hutan, tidak memasukkan pertimbangan atau persepsi dan fungsi hutan bagi masyarakat sekitarnya. Ada banyak asumsi selama ini yang menyebabkan hutan seakan tak berguna. Diantaranya  hutan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, sehingga keberadaanya harus dialih fungsikan kepada peruntukan lain seperti perkebunan dan hutan tanaman industry. Lalu atas dalih itu hutan kita upayakan secepat mungkin untuk dihancurkan dan diganti dengan tanaman yang lain. 

Kita semua barangkali lupa bahwa bangsa ini menjadi bangsa mandiri dan kuat selama berabad-abat karena kita merasa tidak tergantung pada pihak lain dan alam kita sudah menyediakan seluruh kebutuhan kita. Alam yang terbaharukan dengan mudah itu adalah hutan. Kita juga lupa bahwa dalam buku putih pertahanan kita menganut sistim pertananan semesta dan grilya. Bagaimana mungkin bicara grilya kalau kondisi alam sudah tidak mampu sebagai pusat logistik terhadap sebuah pertempuran. Sayangnya keganasan kita dalam menghancurkan hutan, sama sekali tidak ada surutnya, dan semua kita terjebak oleh nyanyian semu yang intinya hanya untuk menyengsarakan kita sebagai sebuah bangsa. Jangan-jangan kita sedang tertipu disuruh menghancurkan hutan dengan berbagai alasan,  dengan harapan agar potensi kekayaan kita hancur. (Penulis adalah Sekretaris Pusat Kajian Ketahanan Pangan dan Masyarakat)  


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar