Sidang Kasus Karhutla PT Adei Plantations and Industry

JPU Sebut, PT Adei Lalai Dan Tidak Melengkapi Sarana Pengendalian Kebakaran Yang Sesuai Standard

Sidang kasus karhutla dengan terdakwa PT. Adei Plantations and Industry.

PELALAWAN, RIAUBERNAS.COM - Sidang ke dua kasus karhutla dengan terdakwa korporasi PT. Adei Plantations and Industry dengan agenda mendengarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kelas II Pelalawan, pada Rabu (15/7/2020). Sementara pada sidang perdana pada minggu kemarin (Rabu tanggal 8 Juli 2020, red) tidak jadi digelar karena yang mewakili terdakwa tidak hadir.

Sidang dipimpin oleh Majelis Hakim yang di ketuai oleh Ketua PN Pelalawan Bambang Setiawan, SH, MH, didampingi oleh Rahmat Hidayat, SH, MH dan Joko Ciptanto, SH, MH sebagai hakim anggota.

Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang di ketuai oleh Kepala Kejaksaan Negeri Pelalawan Nophy Tennophero Suoth, SH, MH, dengan anggota Rahmat Hidayat, SH dan Ray Leonardo, SH. Sedangkan terdakwa PT. Adei, diwakili oleh Goh Keng Ee selaku Direktur, didampingi penasehat hukumnya Sempakata Sitepu, SH, MH.

Dalam dakwaannya, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebutkan bahwa kebakaran lahan yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 7 September 2019, berada di areal HGU kebun PT. Adei, tepatnya berada di Blok 34 Divisi II Kebun Nilo Barat Desa Batang Nilo Kecil Kecamatan Pelalawan.

"Terdakwa PT. Adei Plantations and Industry diduga sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup," terang Kajari.

Selain itu, pada saat terjadinya kebakaran di kebun PT. Adei, perusahaan hanya melakukan pemadaman seadanya saja dengan mengunakan ember yang airnya diambil dari parit. Setelah saksi yang melihat terjadinya kebakaran tersebut melakukan koordinasi secara berjenjang sampai ke level Manager, baru perusahaan menurunkan tim pemadam kebakaran disertai mesin dan peralatan pemadaman, yang dibantu oleh karyawan PT. Adei, PT. Safari dan PT. SWP.

"Kemudian perusahaan baru menurunkan 10 alat berat untuk mendalamkan parit, membuat embung, merendam  batang sawit kedalam tanah, serta membolak-balikan tanah yang terbakar. Perusahaan mengakui, areal yang terbakar merupakan lahan yang rawan terbakar," ungkap JPU.

Selain itu, lanjut JPU, perusahaan PT. Adei tidak melengkapi atau mempuyai sarana dan prasarana sistem pengendalian kebakaran lahan yang sesuai standart, sebagaimana yang diharuskan oleh undang-undang, sehingga kebakaran meluas sampai 4,16 Hektar.

Masih menurut JPU, dengan luas lahan yang ada di Blok 34 Divisi II tersebut, PT. Adei hanya memiliki 1 menara pemantau karhutla, seharusnya dengan luas lahan yang ada di Divisi II PT. Adei memiliki 3 menara pantau, dengan hitungan setiapa 500 Hektar lahan harus ada 1 menara pantau. Selain itu, PT. Adei juga minim petugas patroli kebakaran, hanya memiliki 8 orang petugas, itupun yang memiliki sertifikat cuma 2 orang saja.

"Kita dakwa PT. Adei melanggar Pasal 98 Ayat (1) dan Pasal 99 Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup," tutup Kajari.

Sementara itu, Kuasa Hukum terdakwa PT. Adei Plantations and Industry, M. Sempakata Sitepu, SH, MH menyatakan keberatan dengan dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut. "Kami menolak atas apa yang didakwakan oleh JPU, kami akan mengajukan esepsi atau keberatan atas dakwaan tadi. Apa yang dituduhkan kepada klien kami akan kita buktikan dalam sidang selanjutnya," ungkapnya. (Sam)


 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar