Media Cetak di Indonesia Berguguran, Pembaca Kini Beralih ke Online

JAKARTA, RIAUBERNAS.COM - Tepat awal tahun 2016, koran legendaris yang pertama kali lahir di tahun 1961, Sinar Harapan, resmi tak terbit lagi. Koran yang memposisikan diri sebagai media terbitan sore hari itu seolah-olah menegaskan adanya persoalan serius yang tengah membetot bisnis media cetak di Indonesia. Apalagi sebelum koran sore itu gulung tikar, beberapa perusahaan lain sudah menutup sebagian lini cetaknya dalam dua bulan terakhir, seperti the Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu dan Harian Bola.

Kepada merdeka.com, Direktur Eksekutif Serikat Perusahaan Pers (SPS) Indonesia, Asmono Wikan, menyatakan perkembangan teknologi cuma salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi media cetak. Masyarakat perlahan lebih rutin mengakes informasi lewat Internet, termasuk berita.

Namun yang lebih memukul perusahaan media, seperti dialami Sinar Harapan, adalah buruknya ekonomi sepanjang tahun ini. Perusahaan penerbitan media cetak harus berpikir keras menambal biaya produksinya. Pertumbuhan ekonomi nasional pada semester I tak sampai 5 persen. Imbasnya sampai akhir tahun ini perusahaan swasta - sumber pendapatan iklan media massa - mengetatkan ikat pinggang.

"Media cetak tumbang karena mereka tak sanggup lagi menghadapi situasi ekonomi makro. Kemudian karena ekonomi melemah menyebabkan bahan percetakan menjadi mahal, contohnya kertas dan tintanya. Lalu, parahnya tidak diimbangi dengan iklan," kata Asmono saat dihubungi Kamis (12/11).

Media cetak yang mengambil ceruk pasar spesifik menurutnya juga lebih rawan. Di sinilah masalah lain Sinar Harapan, menurut Asmono. Target pasarnya pembaca isu nasional, tapi surat kabar ini terbit saban sore. "Jadi peluang untuk dibaca jarang sekali. Paling kalo iklan yang dibaca cuma jadwal bioskop, yang baca juga waktu-waktu senggang saja," ungkapnya.

Pengamat media dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Ignatius Haryanto, menambahkan catatan lain soal krisis yang kini melanda sebagian perusahaan media di Tanah Air. Pekerjaan rumah media cetak menyongsong era digital adalah selalu melakukan regenerasi pembaca. Isu ini sampai menurutnya belum berhasil diatasi, termasuk oleh pemain besar sekalipun.

"Remaja yang sekarang lebih ingin membaca media online dibanding membaca koran," tuturnya.

Masalah makin ruwet, karena prediksi ekonomi tahun depan masih lesu. Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi paling sedikit 5,2 persen, lebih rendah dari patokan pemerintah 5,3 persen.

Di Indonesia hingga tahun lalu tercatat ada 567 media cetak, merujuk data Dewan Pers. Lebih detail lagi, bisnis cetak ini terdiri atas 312 media cetak harian, 173 media cetak mingguan dan 82 media cetak bulanan. Data itu belum dimutakhirkan dengan media-media yang tak lagi eksis dua bulan terakhir.

Persoalan lesunya bisnis cetak tak cuma menjangkit media nasional. Banyak surat kabar regional mengurangi oplah 20-30 persen, menurut data SPS. Padahal pertumbuhan oplah media nasional cuma 0,25 persen pada tahun lalu.

Ignatius khawatir masalah bisa memburuk jika anggaran iklan masih dihemat oleh perusahaan sampai tahun depan. Media yang sirkulasi dan cakupan pembacanya rendah, ditambah tak punya skenario konvergensi media, besar kemungkinan mengikuti jejak Sinar Harapan. "Jarang yang beriklan, mempercepat (kebangkrutan)."***

Editor        : Ai
Sumber    : merdeka.com


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar