Refleksi Awal Tahun
Walhi Taja Dialog Interaktif Bertemakan Lingkungan Hidup dan Keadilan Ekologi
PEKANBARU (Riaubernas.com) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau menaja dialog interaktif yabg bertemakan “Menilik Keberpihakan Politik Dalam Refleksi 2018 dan Harapan 2019 Perjuangan Keadilan Ekologis di Provinsi Riau”. Adapun sebagai penanggap dalam dialog tersebut berasal dari berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun CSO dan mahasiswa. Di gedubg guru Pekanbaru, jumat (25/1/2019).
Dalam pemaparannya, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Riko Kurniawan atas catatan akhir tahun 2018 terkait potret penguasaan dan pengelolaan ruang-ruang hidup rakyat menjelaskan bahwa terkait kejahatan dan perebutan atas ruang hidup rakyat di Provinsi Riau tidak kunjung selesai disebabkan beberapa hal, penegakan hukum yang lemah salah satunya. “Ketimpangan Ruang dan akses bagi rakyat Riau tidak hanya menjadi penyebab darurat ekologis dan kerusakan ekosistem, khususnya ekosistem gambut yang berdampak kepada bencana serta kemiskinan. Walhi Riau menilai kelemahan dalam penanggulangan masalah tersebut bersumber dari lemahnya negara dihadapan industri raksasa, tidak terkecuali penegak hukum” ujar Riko dalam paparannya.
Jika menilik target perluasan Wilayah Kelola Rakyat melalui skema Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), capaian di Provinsi Riau masih jauh dari yang ditargetkan. Amanat pembangunan PS yang tertuang dalam Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial (PIAPS) seluas ±1,4 juta hektar yang tersebar di 10 kabupaten dan 2 kota, implementasinya masih di angka 6% atau kurang dari 100.000 hektar. Pemberian dan pengembalian akses kelola kepada rakyat berbanding terbalik dengan laju alih fungsi hutan dan lahan menjadi industri perkebunan dan kehutanan, baik secara legal ataupun ilegal.
"Tercatat sekitar 5 juta hektar luasan Provinsi Riau telah di kavling secara legal untuk kepentingan investasi." lanjutnya
Selanjutnya, masih dalam pemaparan Riko, penguasaan dan pengelolaan secara ilegal atas temuan Pansus Monitoring Perizinan yang dibentuk DPRD Riau menemukan sekitar 1,8 juta hektar perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak berizin yang dominan berada di kawasan hutan. Akibatnya, negara mengalami kerugian lebih dari 30 Triliun setiap tahunnya. Lebih lanjut, dari total keseluruhan industri legal dan ilegal tersebut sekitar 1,5 juta hektarnya berada dilahan gambut yang peruntukannya sebagai HGU ataupun HTI dengan sebaran di sekitar 100 perusahaan. "Inilah yang diduga menjadi faktor utama dalam bencana kabut asap yang merupakan dampak dari kebakaran hutan dan lahan," tegasnya
Sepanjang beberapa tahun belakangan, memang Riau tidak lagi mengalami kabut asap, namun bukan berarti tidak ada hot spot. Selama 2018, Walhi Riau mencatat lebih dari 1.000 hot spot terjadi dan sebagian besar berada di areal gambut dengan kedalaman yang bervariatif serta di konsesi korporasi.
Tidak hanya kabut asap, pada tahun 2018 Provinsi Riau juga dilanda banjir. Sebaran banjir terdapat di enam kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Kuantan Singingi, Kampar dan Kota Pekanbaru yang tersebar di 150 Desa/ Kecamatan. Bahkan akibat banjir ini, memakan korban jiwa sebanyak 4 orang yang meninggal dunia.
Sejalan dengan seluruh dampak buruk yang secara langsung atau tidak langsung dirasakan oleh rakyat Riau, kemiskinan yang awalnya dianggap dapat diatasi melalui perizinan dan investasi nyatanya berbanding terbalik. Berdasarkan olahan data dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Riau per Maret 2018 sebesar 500 ribu jiwa. Dari data yang disajikan oleh BPS, terdapat penurunan jumlah penduduk miskin. "Namun penurunan tersebut menyisakan pertanyaan besar, yakni penurunan yang terjadi malah memperlihatkan kesenjangan sekitar dua kali lipat antara sebaran penduduk miskin kota dan sebaran penduduk miskin desa. Hal ini dilihat dengan melakukan olahan data BPS pada Maret 2018 yang memperlihatkan jumlah penduduk miskin di desa sebesar 327 ribu jiwa sedangkan di kota sebesar 174 ribu jiwa, terdapat selisih sebaran penduduk miskin di desa lebih banyak yakni sekitar 153 ribu jiwa. Kemudian dilakukan penghitungan selisih sebaran penduduku miskin di kota dan di desa dalam kurun waktu enam bulan sebelumnya, yakni pada September 2017 dan terdapat selisih 162 ribu jiwa sebaran penduduk miskin di desa lebih banyak," imbuhnya
Kasubdit IV Reskrimsus Polda Riau. Dermawan Dalam tanggapannya atas pemaparan Walhi Riau, dijelaskannya bahwa Polda Riau telah bekerja semaksimal mungkin. Hal ini ditunjukkan adanya penetapan sekitar lebih dari 35 orang tersangka dari 29 kasus kebakaran hutan dan lahan yang ditangani.
"Kita (Polda Riau red) sudah bekerja maksimal, ini dibuktikan dengan sudah dilakukan penetapan 35 orang tersangka dari 29 kasus karhutla yabg kita tangani.," jelas Dermawan
Sedangkan Komisi Yudisial dan Ombudsman merespon pemaparan Walhi Riau dengan memberikan dukungan terkait dengan tata kelola pemerintahan dan pengadilan yang bersih kedepannya. Sejalan dengan respon KY dan Ombudsman, Ridha Saleh, mantan Wakil Ketua Komnas HAM menerangkan perlunya seluruh pihak bersinergi dalam pemenuhan hak hak atas lingkungan hidup, sebab lingkungan hidup merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak terpisahkan.
" kita semua perlu saling bersinergi dalam pemenuhan hak hak atas libgkubgab hidup, karena hak itu merupakan hak azasi yangvtidak terpisahkan," tandasnya
Dialog yang bertepatan di tahun politik tersebut juga menjadi wadah diskusi bagi peserta dari berbagai kalangan yang hadir, yang pada intinya menekankan bahwa perlu kerja sama dengan seluruhstakeholder jika ingin menuju keadilan ekologis.
Editor : Apon Hadiwijaya
Tulis Komentar