Dalam Duplik, Terdakwa Sebut Replik JPU Abaikan Nota Pembelaan

Terdakwa PT PSJ, Sudiono, saat membacakan Duplik terhadap Replik Jaksa Penuntut Umum
PELALAWAN, RIAUBERNAS.COM - Penyampaian Duplik terdakwa PT.Peputra Supra Jaya (PSJ) terhadap Replik Jaksa Penuntut Umum (JPU) tertanggal 15 januari lalu, tidak mempengaruhi nota pembelaan terdakwa meskipun JPU tetap berpendirian bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana perkebunan.
 
Demikian disampaikan oleh Direktur PT.PSJ, Sudiono, dalam sidang pembacaan duplik terdakwa PT PSJ terhadap replik JPU tanggal 15 Januari 2018 dalam perkara tindak pidana perkebunan di Pengadilan Negeri Pelalawan, Senin (29/1).
 
Menurutnya, apa yang disampaikan dalam duplik ini merupakan upaya guna menjelaskan kebenaran fakta dan alat bukti yang terungkap dalam persidangan yang tidak dapat diingkari kebenarannya.
 
"Saya berharap dengan pembacaan duplik ini maka tidak ada pihak yang tersesat dalam mengikuti maupun mengamati proses persidangan perkara ini," tegasnya.
 
Ia yakin jika pengadilan tidak akan terpengaruh dalam bentuk apapun termasuk tekanan maupun intervensi dari pihak lain yang hendak mengambil keuntungan dengan mengorbankan pihak lainnya. Apalagi dengan alat bukti dan fakta yang selama ini terungkap dalam persidangan serta juga mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat khususnya di Kecamatan Langgam.
 
"Apalagi JPU dalam repliknya beberapa waktu lalu ternyata tidak menanggapi secara langsung pembelaan yang disampaikan oleh terdakwa, maka secara hukum JPU telah membenarkan dan mengakui secara sempurna terhadap semua hal-hal yang diuraikan dalam pembelaan tersebut," tegasnya.
 
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim I Dewa Gede Budhy Dharma Asmara SH MH, terdakwa PT PSJ, Sudiono, menyampaikan sejumlah point guna menanggapi Replik JPU. Menurutnya, terdakwa sebagai perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP-B maupun IUP-P dan untuk luasan skala tertentu masih dalam proses penyesuaian izin, sesuai UU No.39 tahun 2014 Pasal 114 ayat (2) masih diberikan waktu paling lama 5 tahun atau sampai dengan tahun 2019.
 
"Kemudian berdasarkan penyerahan lahan sejak tahun 1996 oleh masyarakat petani KKPA untuk dikerjasamakan dengan perusahaan untuk membangun perkebunan kelapa sawit pola kemitraan. Ini berarti sebelum adanya kerjasama dengan terdakwa, lahan-lahan tersebut sudah dimiliki dan dikuasai masyarakat setempat sebagai peladangan, pertanian dan tanaman musiman lainnya sebagai sumber kehidupan atau mata pencaharian masyarakat," katanya.
 
Jadi, lanjutnya, dengan telah dikuasai dan dimiliki berturut-turut hingga saat ini telah melebihi 20 tahun, maka sesuai penegasan dalam Peraturan Presiden RI Nomor 88 pasal 13 ayat (1) huruf b tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan : "dalam hal bidang tanah tersebut untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut dilakuakn dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui batas kawasan hutan".
 
"Tidak konsistennya Pemerintah atas kebijakan terhadap peraturan yang diterbitkan seperti SK Menhut RI No: 673/Menhut-II/2014 tertanggal 8 Agustus 2014 tentang RTRW Riau dengan SK Menhut RI No: 878/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 dalam kurun waktu kurang-lebih 1 bulan oleh Menteri yang sama mengakibatkan kerugian khususnya petani KKPA dan investor seperti Terdakwa dalam menindaklanjuti proses penyesuaian perizinan kepada pemerintah," ungkapnya.
 
Dikatakannya, atas berbagai hal tersebut maka terdakwa tetap berpendapat bahwa unsur-unsur pasal yang didakwakan dalam surat dakwaan JPU tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Dengan demikian terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan dan dilepaskan dari segala tuntutan. (sam/ndy)
 
 
 
Editor : Andy  Indrayanto
 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar