SPSI Riau Tanggapi Tudingan LSM
Suasana Konferensi Pers, bertajuk Korporasi Perusak Hutan vs Pemerintah, Siapa Bermain Politik, Jumat (8/12/2017) di Jakarta oleh Jikalahari, ICEL, TUK Indonesia dan Walhi.
JAKARTA, RIAUBERNAS.COM - Sejumlah kalangan merespon tudingan Jaringan Kerja Penyelamat Lingkungan Riau (Jikalahari) dan beberapa LSM lingkungan lainnya yang dianggap mengada-ada dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Dalam konferensi pers bertajuk Korporasi Perusak Hutan vs Pemerintah, Siapa Bermain Politik, Jumat (8/12/2017) di Jakarta, sejumlah organisasi lingkungan tersebut menyatakan pengelolaan hutan skala besar oleh perusahaan menyebabkan terjadinya darurat ekologis di daerah terutama di Riau.
"Data yang disampaikan Jikalahari itu terlampau mengada-ada, bahkan saya lihat lebih banyak bersifat pembunuhan karakter dan pembohongan publik," kata Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Riau, Nursal Tanjung kepada wartawan, Jumat (8/12), di Jakarta.
Nursal juga menghimbau pemerintah agar melihat dengan cermat persoalan ini, dengan lebih mengedepankan kepentingan orang banyak, pembangunan berkelanjutan, berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila bahwa negara melindungi dan memberikan kesempatan untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi setiap warga negara Indonesia.
"Dalam konteks negara, manusia sebagai subyek utama yang harus diutamakan, kalau menyangkut lingkungan itu manusianya yang menjaga dengan teknologi yang ada, jadi jangan kita bicara tentang kebakaran hutan, lalu pembangunan dihentikan, kemudian kita mencari kambing hitam bahwa itu dilakukan oleh perusahaan," ujarnya.
Ketua Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan (PUK FSP Kahut) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Adlin menyayangkan tudingan Jikalahari lainnya yang sangat menyudutkan dan tidak sesuai etika. Ia mencontohkan adanya kalimat perlawanan atau pembangkangan dari RAPP, dijelaskan Adlin, tudingan itu sangat tidak tepat.
"Kita saat ini berupaya mencari kepastian hukum di Indonesia, ini negara hukum dan ini normal dilakukan baik oleh badan usaha maupun individu, jadi ini sangat bias," papar Adlin.
Pria lulusan kehutanan ini juga meminta pemerintah agar memikirkan nasib pekerja. Sebab jika peraturan ini tak kunjung ada kejelasan, maka akan ada ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya, kemudian akan menambah jumlah pengangguran, dan berujung pada tingkat kriminalitas yang tinggi.
"Jadi kita harus analisa dan evaluasi lagi dampak dan apa solusinya, ini yang sangat kami sayangkan, silakan langsung ditanyakan kepada masyarakat, apa akibatnya jika penghentian operasional ini terjadi," ungkapnya.
Sementara itu, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup Sumber Daya Alam, (LPLHSDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rahmi mengaku pesimis dengan perhutanan sosial sebagai solusi dari persoalan lingkungan dan kehutanan.
"Sikap pesimistik saya tersebut sedikit terobati ketika Ketua MUI diajak Presiden berbincang tentang perhutanan sosial, pertanyaan saya sederhana, apakah kita siap, baik lembaganya, kualitas manusianya dan teknologinya, ketika kita diiming-imingi dengan solusi ini, karena ini akan simultan dengan masalah lainnya, bagaimana dampak ketenagakerjaan dan sebagainya nanti di Riau, ketika rencana itu digulirkan," ujarnya.
Pengurus Ikatan Duta Lingkungan Hidup (IDLH) Kabupaten Pelalawan Riau, Amiruddin Yusuf meminta pemerintah untuk lebih arif dalam permasalahan yang menyangkut sosial dan investasi ekonomi di Indonesia, khususnya di Riau.
"Elemen masyarakat yang cinta terhadap lingkungan seharusnya lebih komit tanpa mengorbankan pihak lain demi keuntungan dari kepentingan luar, jadi saya harap peraturan yang dibuat pemerintah atas tuntutan segelintir LSM luar itu perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek yang riil," ujar Amiruddin.
Sementara itu, salah seorang aktifis yang turut hadir dalam konferensi pers tersebut menghimbau kepada Jikalahari, Walhi dan beberapa LSM lingkungan lainnya untuk lebih bersikap netral, tidak berbau pesanan.
"Sejauh yang saya ketahui ada beberapa badan usaha di Riau, tapi kenapa cuma RAPP. Saya juga aktifis, jangan kita terlalu mendiskriditkan satu pihak saja, harus netral," ujarnya.
Menurutnya, apa yang tengah dibahas dalam konferensi pers tersebut, sedang diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Setiap warga negara yang merasa dirugikan oleh negara bisa mengajukan gugatan ke PTUN.
"Upaya hukum itu ada, dan sudah dibuat oleh negara, jadi kita juga harus ikuti upaya itu dan tidak boleh merongrong wibawa peradilan," pungkasnya. (rls)
Editor : Andy Indrayanto
Tulis Komentar