Kekayaan Berkesinambungan Indonesia adalah Hutan
Disadari atau tidak, selain hamparan laut yang mencapai jutaan kilometer persegi sebagai sumber kekayaan yang kekal maka hutan hujan adalah sisi lainnya sebagai sumber kekayaan bangsa Indonesia yang berkesinambungan dan tidak ada habisnya. Hutan bagi bangsa ini adalah anugrah yang hampir tidak dimiliki oleh sebagian besar penduduk dan bangsa dimuka bumi ini.
Jika hutan dapat terjaga dan dikelola secara lebih baik maka akan memberikan nilai tambah bagi meningkatkan kesejahteraan yang tak berkesudahan bagi masyarakat. Hutan dan alam sekitarnya adalah gudang berbagai kebutuhan kehidupan. Hutan bagi banyak kehidupan masyarakat adalah sumber logistik utama, sumber apotik luar biasa dan sumber kesegaran udara dan ketentraman.
Tetapi sayang nya bangsa ini meremehkan hutan, memandang sebelah mata terhadap keberadaannya. Bangsa ini seakan akan alergi dan memusuhi hutan, sehingga begitu ada hutan pikiran kita langsung pada upaya menghancurkannya dan mengganti dengan usaha yang lain.
Bangsa ini karena mental menerabas, (istilah Kuncoro Ningrat) lebih memilih menghancurkan hutan dari pada menjaga dan mengelolanya secara baik. Nyanyian investasi telah membuat pikiran kreatif kita untuk mencari pemanfaatan hutan menjadi sumber daya ekonomi yang unggul menjadi tumpul, dan pemerintah lebih memilih memberikan berjuta juta hektar hutan untuk dihancur dan dimusnahkan, demi memberi tumpukan kekayaan pada segelintir orang dengan dalih investasi.
Lalu dengan bangga menggiring jutaan generasi muda menjadi buruh dan kehilangan semangat produksi serta membiasakan diri tergantung kepada kehidupan sebagai pemakan gaji. Sebuah kehidupan yang bertolak belakang dari tradisi hidup masyarakat kita berabad abad lalu, dimana kondisi hutan masih terjaga dengan baik.
Pemerintah dari pusat hingga daerah bahu membahu dalam memperlakukan hutan sebagai objek jualan dengan berbagai dalih. Seabrek argumen mereka bangun agar hutan dijauhkan dari kehidupan masyarakat, tanpa ada upaya untuk meneliti mempelajari bagaimana hutan adalah sumber yang seharusnya dapat termanfaat lebih baik bagi kepentingan bangsa dan tentunya masyarakat sekitarnya dengan tetap memberi ruang atas keberadaanya.
Pemerintah tidak pernah mengukur betapa panjangnya rantai bisnis yang sehat dalam proses pemanfaatan hutan yang berkesinambungan. Berapa banyak bidang usaha yang bakalan dapat dikembangkan jika hutan dikelola secara seksama.
Kalau Presiden Prabowo pernah bercerita dan kagum bagaimana sebuah perusahaan minyak di Jepang bisa melahirkan 40 usaha baru dari satu rantai, lalu rantai berikutnya menyediakan lagi 200 perusahaan maka bagaimana dengan hutan? Bukan tidak mungkin sebuah kawasan hutan yang dikelola dengan baik akan bisa melahirkan jutaan bidang usaha. Dan sudah tentu akan menciptakan masyarakat yang berproduksi jauh lebih banyak.
Artinya jika sadar, Indonesia hanya dengan memberi regulasi yang baik, tanpa perlu mengeluarkan modal yang besar bisa jauh lebih hebat dari Jepang yang di Kagumi itu. Hutan kita yang kita dapat tanpa modal tanpa kerja keras mampu menghasilkan dan memberi peluang jauh lebih besar bukan saja bagi kesejahteraan, kekayaan pemerintah dan masyarakat dalam negeri tetapi juga masyarakat dunia sekiranya kondisinya terpelihara dengan baik.
Tetapi sikap malas mikir, malas bersusah payah yang dimiliki menyebabkan negara lebih memilih menyerahkan hutan dihancurkan oleh korporan untuk di ganti dengan tanaman monokultur dan tidak peduli dengan hilangnya ratusan jenis tanaman anugrah Tuhan yang luarbiasa itu.
Memang ada banyak kebijakan yang seakan memberi perlindungan kepada hutan. Seperti mencadangkan hutan lindung, hutan margasatwa, tahura dan lain sebagainya, tetapi pada kenyataannya cadangan hutan yang katanya dalam lindungan itu hanya ada dalam secarik kertas, sedangkan kenyataanya dilapangan sudah tidak ada jejaknya.
Untuk di Riau misalnya, ada Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Bukit Betabuh, Giam Siak Kecil kondisinya hampir tidak menyatakan hutan lagi, bahkan sebagian besar sudah berpindah tangan. Ada juga Teso Nilo, Marga Satwa Kerumutan dimana setiap hari terjadi penyusutan, baik keadaan hutannya maupun luasan lahannya. Kondisi ini benar-benar menggambarkan betapa ketidak pedulian terhadap hutan terlihat sangat jelas.
Padahal jika kita lihat rekam jejak sejarah, bangsa ini adalah bangsa dengan tingkat ketergantungan hidup terhadap hutan begitu tinggi. Beberapa kelompok masyarakat hampir menghandalkan lebih dari 99 persen hidupnya kepada hutan, kita sebut misalnya masyarakat kubu, sakai, dayak, asmat dan beberapa komunitas papua lainnya.
Kenyataan lain juga dapat kita pelajari dengan apa yang dilakukan kaum kolonial yang sempat menjadikan kawasan nusantara sebagai ladang ekonominya selama lebih dari 350 tahun.
Dalam rentang waktu yang begitu panjang mereka terutama Belanda melalui serikat dagang yang mereka bentuk yaitu VOC yang berpusat di Batavia mampu menjadi perusahaan dengan kekayaan mencapai 100 ribu triliun. Sebagian besar kekayaan ini bersumber dari kekayaan hutan alam yang kita miliki.
Yang patut kita catat dan pahami bahwa VOC dalam menghasilkan kekayaan itu tidak dengan menghancurkan hutan yang ada, tidak dengan mengambil alih dari raja raja yang ada. Dan raja raja tidak juga mengkavling hutan lalu diberikan kepada korporat tertentu untuk dihancurkan. tetapi hanya dengan memanfaatkan dari komunitas yang dihasilkan hutan.
Dalam pemanfaatan potensi alam Belanda hanya bekerjasama dengan raja raja yang ada sebagai pembeli dari produk yang dihasilkan hutan. Raja melalui struktur yang ada memberi kabar ke masyarakat bahwa terhadap produk tertentu dibutuhkan naka dari informasi itu masyarakat bekerja secara mandiri memanfaatkan potensi yang ada sambil tetap memperhatikan kelestatian yang ada.
Secara bertahap akhirnya baik itu beruba getah kayu, seperti getah jelutung, getah keruing, buah kayu seperti buah pala, bunga kayu seperti cengkeh, kulit kayu berupa kulit manis dan lainnya yang dikumpulkan masyarakat inilah yang menjadi komunitas perdagangan kaum kolonial.
Selain getah, buah bunga dan daun, ada begitu banyak komunitas hutan lainnya yang menjadi sumber mata pencaharian, seperti rotan, daun daunan, kulit binatang, dan termasuk obat obatan yang diambil dari bahagian tanaman tertentu.
Jadi, memang, jika kita pelajari rangkaian kegiatan dalam pemanfaatan hasil hutan maka kaum kolonial dan juga raja raja yang bekerja sama hampir tidak ada kos yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, sebab yang mencari dan mengambil hasil alam adalah masyarakat. Kondisi ini berlangsung ratusan tahun dan semua berjalan secara alami tanpa masyarakat kehilangan kemandirian, kehilangan sumber kehidupan, tanpa terjadi kerusakan lingkungan, tanpa ada pertikaian antara pemilik modal dengan masyarakat yang sesungguhnya berperan sebagai pekerja.
Agaknya, terlepas dari keberadaan kaum kolonial sebagai penjajah, tetapi terhadap sisi baik yang ada sepatutnya kita tidak boleh menutup diri. Jika kita mau belajar dari sejarah dan melihat sosial kultur yang masyarakat kita miliki terutama dari sistim mata pencaharian maka mungkin tidak akan mengalami kekeliruan dalam cara-cara kita memanfaatkan hutan.
Pada sisi lain jika kita kembali kepada kebijakan pertahanan nasional, maka hutan sesungguhnya menjadi sangat penting sebab hutan adalah benteng pertahanan terbaik dengan penyediaan logistik yang melimpah. Keberhasilan perang grilya mengusir penjajah tidak terlepas dari keberadaan hutan sebagai benteng dan gudang logistik. Tentara berperang hanya memanggul senjata tanpa perlu memikul logistik.
Belajar dari pengalaman dengan lintasan sejarah yang panjang, belajar dari pemahaman geografis dunia, maka sepatutnya perlu pertimbangan yang lebih matang untuk tidak semena-mena merusak dan menghancurkan hutan.
Menurut saya kita sudah terlalu banyak keluru dalam hal memberlakukan dan pengelolaan hutan, sudah terlalu banyak yang kita korbankan, patut dipikir dan dikaji ulang agar kesalahan tidak berlanjut, alalagi kemajuan teknologi yang terjadi sesunggugnya jika dimanfaatkan untuk pengelolaan hutan maka saya yakin dengan keberadaan hutan kita maka masyarakat akan sejahtera. Kita sebagai bangsa akan menjadi makmur dengan kemandirian yang begitu kuat.
Mari belajar dari sejarah, dari kearifan lokal dan berhentilah mengikut telunjuk orang-orang yang sepertinya benar, tetapi hakekatnya hanya menggiring kita pada kehancuran. ***
Penulis : Fahrullazi, Pusat Kajian Ketahanan Pangan dan Masyarakat Indonesia.
Tulis Komentar