Tanaman Kehidupan di Tengah Ketidak Taatan

Oleh : Fahrullazi
Sekitar sepekan yang lalu, tepatnya sekitar tiga hari setelah anggota DPRD Kabupaten Pelalawan dari Partai Demokrat Asnol Mubarack, M.Si bersuara lantang dalam sidang paripurna DPRD meminta Bupati Pelalawan H. Zukri untuk peduli dalam penyelesaian persoalan tanaman kehidupan yang dituntut warga Pelalawan, saya dihubungi beberapa tokoh masyarakat Pelalawan. Mereka meminta saya untuk membuat penjelasan melalui tulisan terhadap perihal tanaman kehidupan tersebut. Harapan yang sama juga muncul dari rekan rekan media.
Pada awalnya saya agak ragu karena tidak terlalu banyak mengetahui persoalan ini, namun atas pertimbangan perlunya memberikan pandangan bagi berbagai kelompok yang terkait, termasuk pemerintah tentunya, maka saya memberanikan diri untuk menyampaikan sejauh yang saya ketahui. Apalagi akibat ketidakpahaman di sebagian kecil masyarakat telah menimbulkan diskusi pro dan kontra.
Sesungguhnya konsep tanaman kehidupan ini adalah kebijakan pemerintah sejak zaman Orde Baru, ketika kebijakan transmigrasi di jalankan. Tujuannya adalah memberikan perlindungan sekaligus kesejahteraan bagi masyarakat disekitar kawasan izin perusahaan.
Oleh pemerintah, kepada perusahaan yang mendapat izin untuk penguasaan lahan baik itu di sektor kehutanan berupa izin hutan tanaman industri (HTI) maupun izin hak guna usaha (HGU) bagi perkebunan, semuanya diwajibkan untuk membangun bagian masyarakat sekitarnya. Hanya saja nama peruntukan itu berbeda-beda.
Jika di perkebunan alokasi bagi masyarakat itu terkenal dengan pola KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota). Perusahaan perkebunan membangunkan kebun untuk masyarakat bersamaan dengan membangun kebun mereka sendiri. Lalu melalui koperasi, masyarakat akan kebun yang sudah di tanami dan di rawat oleh perusahaan. Untuk pembayaran dicicil sekitar 30 persen dari hasil panen dan dinyatakan lunas dalam batas waktu yang disepakati antara masyarakat dengan perusahaan.
Alokasi luasan KKPA ini ditetapkan minimal 20 persen, tetapi ada juga yang di atas 20 persen, keputusan pemerintah terakhir menetapkan 30 persen.
Untuk disektor kehutanan berupa tanaman industri, alokasi untuk masyarakat disebut dengan istilah tanaman kehidupan, dan ada juga istilah tanaman unggul. Total alokasinya juga berbeda-beda, ada 15 persen ada juga 20 persen dari luas total lahan yang diberikan izin.
Untuk Kelurahan Pelalawan misalnya, pada tahun 1995 pemerintah melalui menteri kehutanan memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Hasil Kayu dan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) seluas lebih kurang 23 ribu hektare kawasan yang disebut Blok Pelalawan, yaitu di Kelurahan Pelalawan, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, (kawasan ini sebelum pemekaran kabupaten, secara administrasi berada di Desa Pelalawan, Kecamatan Bunut, Kabupaten Kampar).
Bersamaan dengan itu, Menteri Kehutanan juga mengeluarkan peraturan. Untuk Blok Pelalawan dasarnya mengacu pada Peraturaan Menteri Kehutanan No 70/kpts-I/95/tahun 1995 tentang pengaturan tata ruang tanaman industri. Dalam peraturan itu dijelaskan bahwa lahan yang diberikan izin, hanya boleh untuk ditanami dengan tanaman industri (tanaman pokok) hanya 70 persen. Sisanya sekitar 30 persen dari total luasan izin diperuntukan antara lain tanaman unggul 10 persen, tanaman kehidupan 5 persen, kawasan lindung 10 persen dan sarana prasarana 5 persen. Beberapa tahun kemudian menteri kehutanan mengeluarkan peraturan lagi tentang hal yang sama, tetapi alokasi bagi masyarakat bukan lagi 15 persen, tetapi menjadi 20 persen untuk tanaman kehidupan, dan tidak ada lagi disebutkan untuk tanaman unggul.
Inilah yang menjadi dasar bagi tim yang dibentuk oleh Kelurahan Pelalawan untuk membicarakan kepada perusahaan tentang keberadaan hak mereka yang sudah diatur oleh pemerintah. Kenapa terkesan lambat pengurusannya, sebab tim baru terbentuk pada tahun 2019? Kenapa tidak dari awal?.
Saya tidak tau alasan yang pasti, tetapi perkiraan saya karena ketidakpahaman akan permasalahan oleh masyarakat, menyebabkan tuntutan tidak terlakoni dari awal. Kemungkinan lain, perusahaan bisa jadi tidak mensosialisasikan kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak tau. Yang ketiga mungkin pada masa awal pemberian izin tersebut keadaan ekonomi dan mata pencarian masyarakat masih belum terpengaruh. Mata pencarian dan sumber-sumber kehidupan lainnya bagi masyarakat masih banyak sehingga ekonomi masih berjalan lancar. Keadaan alam belum rusak dan tercemar, sehingga mereka tidak terlalu hirau terhadap ketentuan itu.
Tetapi begitu penggarapan izin mulai dilakukan perusahaan, sekitar tahun 2000, maka tanpa masyarakat sadar bahwa keadaan sumber kehidupan mereka mulai terganggu. Hutan yang jadi tumpuan hidup habis, sungai-sungai sebagai jantung perekonomian mengalami kerusakan, tersumbat tercemar. Ikan berkurang derastis, bahkan ada spesies tertentu yang tidak terlihat lagi, akibatnya mata pencarian semakin sempit, hidup makin sulit.
Kondisi ini, ditambah kesadaran akan akibat rusaknya lingkungan mendorong masyarakat untuk memperjuangkan hak hak mereka terhadap perusahaan. Untuk Kelurahan Pelalawan misalnya upaya untuk memperoleh apa yang sepatutnya menjadi hak mereka cukup intens. Mereka membangun komunikasi dan audensi dengan berbagai pihak. Hingga hari ini merdeka terus berjuang dengan cara cara persuasive.
Mereka menyadari bahwa alokasi 20 persen itu atau sekitar 4600 hektare itu mampu untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Sekiranya dijadikan saja lahan 4600 itu kawasan komunal dan mereka hanya membiarkan aneka ragam kayu kayan tumbuh lalu pemanfaatannya dengan diatur sedemikian rupa maka hampir dapat dipastikan kehidupan masyarakat akan lebih baik. Sebab ada begitu banyak komonitas hutan tanah dan lingkungan sekitarnya yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Tidak Taat Aturan
Mengapa lahan kehidupan hingga hari ini tidak direalisasikan sementara aturan mainnya sudah ditetapkan oleh pemerintah?
Untuk menjawab ini ada baiknya kita melihat hasil verifikasi yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau yang dilakukan pada tahun 2019.
Ada banyak catatan yang dibuat oleh DLHK setelah memverifikasi dari hasil yang dilaporkan oleh tim negosiasi yang dibentuk oleh Kelurahan Pelalawan. Tetapi saya hanya mengutip kesimpulan saja dari hasil verifikasi yang lumayan tebal itu.
Dari laporan hasil verifikasi yang dibuat berdasarkan tinjauan lapangan atas pengaduan masyarakat terkait Tanaman Kehidupan dan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan dan/atau Perusakan Hutan oleh pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHK- IPK) PT. Riau Andalan Pulp and Paper Blok Pelalawan, Kelurahan Pelalawan, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau, DLHK Provinsi Riau menyimpulkan bahwa perusahaan TIDAK TAAT terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena tidak mencadangkan lahan tanaman kehidupan dan merusak lingkungan.
Setidaknya ada belasan pasal yang dilanggar atau tidak dipatuhi oleh perusahaan baik itu menyangkut produk hukum berupa undang-undang, berupa peraturan pemerintah, maupun Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan lainnya.
Dalam aitem kesimpulan dan saran laporan verifikasi itu, DLHK juga mewajibkan perusahaan untuk merealisasikan tanaman kehidupan kepada masyarakat Kelurahan Pelalawan. Perusahaan juga diwajibkan memullihkan sungai-sungai yang rusak seperti sungai kukus, sungai selempaya dan sungai-sungai lainnya akibat aktifitas perusahaan.
Ironisnya, meskipun verifikasi dan rekomendasi yang begitu jelas dari DLHK Provinsi Riau telah dikeluarkan, tetapi terkesan perusahaan tidak terlalu hirau dan anehnya DLHK pun tidak melakukan tindakan apa apa.
Saya sengaja mengutip hasil kesimpulan dan saran ini, karena menurut saya sangan tepat untuk jadi pedoman karena dia dibuat oleh instansi yang berwenang dan yang mengurus masalah izin terhadap perusahaan.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya karena tidak ada kejelasan dan tindak lanjut dari temuan dalam verifikasi atas laporan masyarakat dalam waktu yang cukup lama maka tim terpaksa mengambil langkah baru. Langkah itu adalah dengan melaporkan persoalan yang sama ke presiden dengan melampirkan hasil verifikasi untuk memperkuat laporan.
Surat pengaduan No 99/Pengurus -TP/I/2022 di tujukan langsung ke Presiden Ir. Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara alhamdulillah mendapat respon dari sekneg. Melalui surat No B-46/D-2/ Dumas/DM.05/ 06/2022 yang ditanda tangani Y. Ricky Sailanra Asmuni, Asisten Deputi Pengaduan Masyarakat, Kementerian Sekretaris Negara memerintahkan kepada Inspektorat Provinsi Riau untuk meneliti pengaduan tersebut dalam rangka penanganan lebih lanjut sesuai ketentuan perundang undangan, sepanjang substansi pengaduan mengandung kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan. Ada harapan, tetapi perjalanan waktu belum memberi kabar kelanjutan respon tersebut.
Terakhir tim juga menyampaikan prihal yang sama kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Terhadap pengaduan itu, kejagung juga telah merespon dengan turunnya tim dari kejagung ke Pelalawan dan meminta keterangan termasuk dari masyarakat di kantor Kejaksaan Negeri Pelalawan. Berdasarkan informasi dari media kejagung ternyata juga sudah meminta keterangan dari berbagai pihak, termasuk dari DLHK Riau dan Inspektorat Provinsi Riau.
Harapan kita adalah bagaimana persoalan ini dapat terselesaikan dengan cepat, dengan adil. Sebab pada intinya bahwa yang dipersoalkan oleh masyarakat bukanlah bermaksut menghalangi perusahaan dalam menjalankan usahanya, bukan juga menggugat atau mencampuri kebijakan yang diambil oleh negara, tetapi yang jadi persoalan adalah hak yang mestinya di berikan berdasarkan kebijakan pemerintah harus dilaksanakan oleh perusahaan.
Pada sisi lain, kehidupan masyarakat benar-benar mengalami kesulitan sebab sumber-sumber kehidupan mereka telah hilang, hutan, sungai, suak lopak yang selama ini menjadi lumbung kesejahteraan telah mengalami degradasi fungsi yang membahayakan, selain kerusakan juga terjadi pencemaran.
Ironis memang, perusahaan mendapatkan kekayaan berlimpah di daerah kawasan kehidupan turun temurun masyarakat, tetapi mereka bergelimang penderitaan. Cerobong asap yang hanya berjarak sekitar 20 km dari kampung yang pernah jadi pusat kerajaan selama ratusan tahun itu terus mengepul 24 jam. Kayu kayu ratusan ribu ton perbulannya yang bernilai jutaan dolar hilir mudik di wilayah administrasi kelurahan hanya meninggalkan hiruk pikuk dan debu bagi penambah derita masyarakat bekas kerajaan itu. ***
Fahrullazi adalah Tokoh Masyarakat Pelalawan dan Sekretaris Pusat Kajiaan Ketahanan Pangan dan Masyarakat.
Tulis Komentar