Untuk Kesiapan Penanganan Resiko Operasi, Subholding Upstream Pertamina Gunakan Rangkaian Teknologi
SURABAYA - Subholding Upstream Pertamina gunakan rangkaian teknologi untuk kesiapan penanganan resiko operasi tumpahan minyak baik di perairan maupun di darat. Rangkaian tersebut dibahas secara dalam pada Focus Group Discussion dengan mengundang narasumber eksternal terkait. Selain itu, uji kesiapan penanganan pun dilakukan dengan joint exercise.
Pertamina memiliki metode penanganan risiko operasi mulai dari pencegahan hingga penanggulangan. Dari sisi pencegahan, Subholding Upstream Pertamina melakukan sosialisasi dan peningkatan kesadaran perihal aspek safety, pengecekan kehandalan fasilitas, serta melakukan perawatan fasilitas secara berkala.
"Dari sisi penanggulangan ada rangkaian metode yang digunakan, terutama untuk mengatur strategi response/ penanggulangan dengan menggunakan teknologi dengan softwater modelling tumpahan minyak. Kemudian menggunakan Unmanned Aerial Vehicle/ UAC, chopper dan lainnya untuk observasi lapangan untuk memastikan arah pergerakannya," ujar VP HSSE PT Pertamina Hulu Energi, Subholding Upstream Pertamina Heragung Ujiantoro, Rabu (08/12/2021).
Selanjutnya, tambah Heragung, langkah ketiga adalah menurunkan tim penanggulangan yang sekaligus melakukan monitoring lingkungan. Dilanjutkan langkah selanjutnya dengan menggunakan interpretasi dari citra satelit untuk mengetahui potensi sebaran, serta melakukan survey langsung ke lokasi/on site surveillance.
"Semua dilakukan dengan terlebih dulu membentuk Tim Penanggulangan Keadaan Darurat, diteruskan dengan kolaborasi lintas instansi. Subholding Upstream juga melakukan finger print analysis untuk memastikan karakteristik temuan sekaligus sebagai pertimbangan penentuan strategi penanggulangan. Disamping itu, Subholding Upstream Pertamina juga aktif melakukan giat pembersihan hingga pelestarian lingkungan," ujar Heragung lagi.
Heragung menambahkan, bahwa sebetulnya akan lebih baik pembelajaran terkait hal ini tidak sampai terjadi insiden. "Namun demikian, di lapangan kita menghadapi potensi resiko yang membutuhkan usaha, waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang besar untuk menanggulangi kejadian tersebut," kata Heragung.
Terkait dengan pengelolaan lingkungan, Subholding Upstream Pertamina berkomitmen untuk menerapkan pengendalian pencemaran untuk keberlangsungan energi bersih dan menjaga agar tidak ada yang mencemari lingkungan.
"Dukungan stakeholders adalah hal yang sangat penting bagi kami, kolaborasi bersama stakeholders memungkinkan Pertamina untuk percepatan penanggulangan keadaan darurat. Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung FGD ini sehingga ke depan aktifitas operasi bisa berjalan beriringan dengan upaya menjaga kelestarian bumi,” pungkas Heragung.
Direktur Pemulihan Kontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3 - Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan RI, Haruki Agustina mengatakan, untuk mengatasi resiko fasilitas produksi yang sudah tua mungkin bisa dilakukan proses pembelajaran dan improvement, misalnya dengan dilakukan coating fasilitas atau pergantian peralatan.
Mengacu pada PP 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib memiliki sistem tanggap darurat, perusahaan harus menerapkan upaya pencegahan, kesiapsiagaan dan kedaruratan, dengan menyusun program kedaruratan pengelolaan B3 dan/atau Limbah B3 sebagai pencegahan dan antisipasi kedaruratan pengelolaan B3 dan/atau Limbah B3 yang mengacu ke Permen LHK No. 74/2019 tentang Program Kedaruratan Pengelolaan B3 dan/atau Limbah B3.
"Saya merasa bahagia melihat pemaparan yang disampaikan Pertamina, artinya bahwa sudah ada perencanaan antisipasi dan perbaikan ke depan, bahwa infrastruktur migas ini sudah mature atau menua, dan Pertamina telah melakukan upaya untuk penyelamatan lingkungan," ujar Haruki dalam Forum FGD Terkait Penanganan Resiko Operasi.
Lebih lanjut Haruki menjelaskan, bahwa untuk aspek pencegahan, setiap penghasil limbah B3 wajib menyusun program kedaruratan pengelolaan B3 dan/atau Limbah B3 serta untuk aspek kesiapsiagaan maka setiap penghasil limbah B3 wajib melakukan simulasi pelatihan penanggulangan keadaan darurat 1 kali per tahun, hal ini untuk melihat bagaimana kesiapan perusahaan dalam menangani kondisi darurat.
Sementara itu, Ety Parwati - Peneliti Ahli Madya LAPAN, menyampaikan bahwa LAPAN memiliki teknologi untuk menangkap citra permukaan laut menggunakan satelit.
"Kami siap berkordinasi dengan Pertamina. Teknologi ini bisa dimanfaatkan oleh Pertamina untuk bisa menentukan luasan area tumpahan minyak di laut. Dengan citra satelit yang lebih akurat, tentu upaya deteksi dini terhadap suatu kejadian bisa lebih optimal," ujar Ety Parwati. (**)
Tulis Komentar