Ini Tiga Langkah KLHK Terapkan Penegakan Hukum Karhutla

JAKARTA, RIAUBERNAS. COM - Untuk memperkuat efek jera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan memperluas skala penindakan dalam penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Adapun tiga langkah penguatan tersebut meliputi pelibatan Pemda dalam pengawasan, menerapkan pidana tambahan, dan penegakan hukum multidoor.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK, Rasio Ridho Sani, saat Media Briefing di Ruang Center of Intelligence Ditjen Gakkum LHK, di Jakarta, Selasa (01/10). Menurutnya,  saat ini penerbitan izin menjadi wewenang Bupati/Walikota. Oleh karena itu, Pemerintah mendorong Bupati/Walikota menggunakan wewenangnya dalam penegakan hukum melalui penghentian kegiatan, pembekuan maupun pencabutan izin.

"Penegakan hukum pidana tambahan dapat berupa perampasan keuntungan, penyegelan dengan penerapan geospasial satellite image forensic, dan soil forensic," tandasnya. 

Dia mengatakan bahwa pihaknya juga bekerjasama dengan Polri dan Kejaksaan menerapkan sejumlah perundangan untuk menjerat pelaku karhutla yaitu Undang-Undang (UU) No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, dan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Dari 17 gugatan perdata penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 9 (sembilan) diantaranya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), dengan nilai gugatan mencapai Rp. 3,15 Triliun, dan tengah dalam proses eksekusi, dan yang sudah disetorkan kepada rekening negara yaitu sekitar Rp. 78 Miliar," ujarnya. 

Menurut Ridho, eksekusi tersebut merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri. Karena itu,  pihaknya terus berkoordinasi secara intensif dengan Kepala Pengadilan Negeri agar dipercepat upaya-upaya eksekusinya.

“Misalnya dengan Pengadilan Negeri Nagan Raya di Aceh, akan segera mengeksekusi sekitar 360 miliar terhadap karhutla yang terjadi di lokasi PT. KA. Saat ini tengah dalam tahap penilaian aset mereka yang akan dilelang, untuk membayar ganti rugi tersebut. Jadi prosesnya masih berlangsung,” terangnya. 

Selain itu,  lanjutnya,  upaya lain yang dilakukan yakni dengan mengirim surat-surat kepada beberapa Pengadilan Negeri untuk melakukan pemanggilan dan eksekusi terhadap tujuh perusahaan yang belum membayar ganti rugi. Jadi ada tiga instrumen yang digunakan dalam penegakan hukum karhutla. Pertama yaitu sanksi administratif, melalui paksaan pemerintah kepada perusahaan untuk memperbaiki kinerja mereka dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla, termasuk perbaikan lingkungannya. Bentuk sanksi yang lain yaitu pembekuan hingga pencabutan izin.

"Kalau seandainya perusahaan tidak mau mematuhi sanksi yang diberikan, kami tempuh upaya penegakan hukum perdata, bahkan pidana," tegasnya. 

Penegakan hukum perdata berupa gugatan kepada perusahaan yang lokasinya terbakar, berupa ganti rugi lingkungan dan tindakan tertentu yaitu pemulihan lingkungan. Dari keseluruhan 25 gugatan perdata yang ditangani Ditjen Penegakan Hukum LHK, 17 diantaranya merupakan penegakan hukum karhutla, dan 9 gugatan telah dinyatakan inkracht oleh Pengadilan Negeri.

"Jadi gugatan perdata terbanyak itu terhadap karhutla. Kami lakukan hal itu karena karhutla ini merupakan sebuah kejahatan yang berdampak masif atau luas, sehingga kami prioritaskan," katanya.

Dikatakannya,  pihaknya juga telah menyegel 64 lahan perusahaan yang terbakar, 20 diantaranya merupakan perusahaan modal asing dan/atau Direksinya merupakan Warga Negara Asing. Dari 64 perusahaan yang telah dilakukan pengumpulan bahan dan keterangan/ penyelidikan tersebut, 8 perusahaan ditingkatkan ke penyidikan, serta penyidikan terhadap perorangan telah dinyatakan P.21 (lengkap).

Upaya pencegahan karhutla juga dilakukan sejak hulu, dengan perbaikan tata kelola gambut. Kasubdit Pemulihan Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, Muhammad Askary, menjelaskan bahwa gambut memiliki karakteristik khusus, yaitu mengandung 90% air, dan memiliki kedalaman yang beragam bahkan hingga 20 meter. Jika kondisi gambut dikeringkan, kemudian dibakar, maka ruas atas bisa saja padam tetapi di dalamnya masih membara.

"Oleh karena itu, pencegahan karhutla dengan tetap menjaga gambut tetap basah harus dijadikan prioritas, selain terus dilakukannya penegakan hukum," ujar Askary.

Upaya lain yang harus dilakukan yaitu dengan revegetasi lahan gambut dengan vegetasi ekosistem gambut, seperti Ramin, Gelam, Pulai, Jelutung dll. Peningkatan kesejahteraan masyarakat juga perlu ditingkatkan, karena tidak sedikit perekonomian masyarakat yang berasal dari lahan gambut. (*)


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar