Atas nama kemanusian dan pengabdian

Perempuan Tangguh yang Rela Bertaruh Nyawa

Tiga Bidan PTT dari Puskesmas Kuala Kampar di dalam boat kayu di tengah laut saat mengantarkan pasien yang di rujuk ke RSUD M Sani di Tanjung Balai Karimun

KUALA KAMPAR (Riaubernas) - Sebuah kapal kayu kecil berjuang keras membelah ombak di tengah badai Selat Malaka. Kendaraan laut itu datang dari arah Tanjung Batu Pulau Kundur menuju Selat Panjang Kabupaten Karimun Kepulauan Riau.

Kapal kayu itu membawa seorang ibu, Marlinda, yang hendak melahirkan di Rumah Sakit M Sani Tanjung Balai Karimun. Warga Desa Tanjung Sum Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Riau ini di rujuk dari Puskesmas setempat setelah dokter yang menanganinya mendiagnosa bahwa proses persalinannya bakal berjalanan tidak normal. Sang janin didiagnosa menderita hidrosepanus dengan kondisi fisik kepala membesar, dan menjadi penyebab akan sulitnya persalinan nanti.

Ketiadaan fasilitas untuk menangani pasien seperti ibu Marlinda ini membuat dokter Yosi Novita, salah satu dokter jaga di Puskesmas Kuala Kampar memutuskan segera merujuk pasien ke RS miliknya kabupaten tetangga dari propinsi tetangga di Kepulauan Riau (Kepri).

"Setelah kita periksa, ada kelainan pada bayi nya, mengidap hidrosepanus, persalinan tidak bisa dilakukan dengan cara normal, sedangkan untuk melakukan operasi, di Puskesmas Kuala Kampar belum ada fasilitas untuk itu, dan juga keterbatasan dokter spesialis, karena itu kita rujuk ibu Marlinda ke RS M Sani Tanjung Balai Karimun Propinsi Kepri,di sana dia akan mendapatkan penanganan yang lebih baik," jelas dokter Yosi. Kamis (26/2/2019).

Untuk mendampingi pasien menyeberangi Selat Malaka guna mendapatkan layanan kesehatan yang diperlukan itu, didampingi tiga petugas kesehatan (bidan)dari Puskesmas Kuala Kampar. Keberadaan tiga bidan ini dalam mendampingi pasien seperti ibu Marlinda merupakan standar Operasion Procedure dari Puskesmas setempat dalam memberikan rasa aman kepada pasien yang dirujuk ke propinsi tetangga. Apa lagi kondisi geografis medan yang akan dilewati merupakan laut dengan kondisi cuaca yang tidak dapat di prediksi.

Dari penuturan Yosi, pendampingan yang dilakukan terhadap pasien yang di rujuk ke RS milik propinsi tetangga menjadi SOP bagi setiap petugas kesehatan yang mengabdi di Kuala Kampar. Jumlahnya tiga orang, bisa saja dari dokter, perawat dan bidan. Tergantung juga dari kondisi pasien yang di rujuk. Kondisi seperti ibu Marlinda memang lebih aman jika di damping oleh tiga bidan, karena alasan di rujuk untuk operasi persalinan.

"Ada tiga bidan PTT yang mendampinginya, memang biasanya setiap kita merujuk pasien ke Tanjung Balai selalu kita dampingi, bukan hanya bidan saja, kadang saya pun juga sering ikut mendampingi pasien di kapal dalam lautan,"katanya.

Sebenarnya, saat bertolak dari Penyalai (Ibukota Kecamatan Kuala Kampar), Marlinda di bawa dengan mempergunakan speed boat milik kantor camat Kuala Kampar. Sayang, air surut membuat speed boat kandas di dalam parit Desa Sokoi, tak mau menunggu lama, dan menjaga kondisi kesehatan pasien tidak menurun karena terlalu lama di boat, bidan bidan tangguh ini bersama suami dari ibu Marlinda harus keluar parit mencari pemukiman untuk meminta pertolongan warga.

Karena tak asing lagi wajah mereka bagi penduduk tempatan, pengabdian mereka yang tak berpamrih yang mereka dedikasi kepada masyarakat di Kuala Kampar selama ini, warga Desa Sokoi dengan ikhlas hati memberikan kapal penangkap ikan untuk di pergunakan membawa pasien Marlinda ke Tanjung Balai Karimun.

Sebenarnya, kapal milik warga yang dipinjam itu tidak cocok untuk kondisi darurat mengantar pasien seperti ibu Marlinda, kapal yang besar menjadi kendala pula di perjalanan, selain membutuhkan bahan bakar yang cukup besar, laju pun sangat lambat. Namun hanya itu pilihan yang tersisa. Pasien pun di berangkat dari Sokoi menuju Tanjung Balai melalui Tanjung Batu Kecamatan Kundur.

Dari Sokoi sudah jam setengah enam sore, kapal milik warga yang bergerak melambat menambah kecemasan seisi kapal, stamina pasien yang mulai drop, ditambah matahari mulai bergeser ke ufuk barat, segera tenggelam di telan malam, saat itulah, keputusan diambil untuk singgah di Tanjung Batu Pulau Kundur Kabupaten Tanjung Balai Kepulauan Riau.

“Tidak mungkin kami akan sampai di RS M Sani malam itu, jika menaiki kapal yang besar, makanya kami putuskan untuk singgah di Tanjung Batu," terang bidan Juliana mengisahkan pengalamannya yang diterjang badai saat mengantarkan pasien yang dirujuk ke RSUD M Sani di Tanjung Balai Karimun.

Bidan yang ikut mendampingi ibu Marlinda itu melanjutkan, sesampai di Tanjung Batu, di carterlah kapal kayu (pancung) dengan harapan kapal itu dapat melaju lebih cepat agar pasien yang di rujuk mendapatkan pertolongan sesegera mungkin.

"Sampai Tanjung Batu kita carter kapal kayu atau pancung. Sudah malam itu," lanjutnya.

Kapal sudah berganti dengan kecepatan yang lebih dari yang dipakai sebelumnya, itu tidak berarti “badai telah berlalu”, rute Tanjung Batu - Tanjung Balai itu lah menjadi jalur terberat yang kudu dilewati. Angin yang semula sepoi berdesir lembut menyentuh tubuh yang mulai lelah itu berubah menjadi lebih kencang, badan kapal dibuat oleng ke kiri dan ke kanan tak beraturan yang membuat se isi kapal terguncang, pekikan “Allahu Akbar”terdengar nyaring dari ketakutan semua penumpang. Ombak terus menghempas, angin semakin tampak garang.

Di tengah kondisi pertaruhan nyawa itu, ketiga bidan pendamping berhati suci ini tak pernah lepas memegangi pasien, menenangkannya, kadang genggaman tangan acap terlepas karena gelombang berlaku amat kencang. Namun seketika itu juga pegangan penuh kasih menyambut kembali si pasien yang semakin lemas, Mereka tetap memberikan pengabdian terbaiknya. Di tengah badai yang menerpa, dalam pertaruhan hidup dan mati mereka,

Kapal kayu tanpa penerangan ini terus berjuang membelah gelombang, para penumpang, pasien dan keluarganya serta ketiga bidan tak henti memanjatkan doa, berserah diri kepada sang khaliq, menyerahkan hidup mereka di tangan sang pencipta. Yang akan berlaku hari ini, esok dan lusa tidak terlepas dari kehendaknya. Semoga apa yang di lakukan bernilai ibadah. Hanya itu pinta mereka dalam doa kala itu.

"Badai nya sangat kencang, pasien dan kami yang bertugas dari puskesmas hanya bisa berdoa, tidak ada yang bisa diperbuat selain berserah diri kepada sang pencipta," kenang Juliana

Bukan mimpi buruk membuat trauma

Walau terpaan ombak dan cuaca buruk terus mendera, bagi Juliana dan dua rekan se profesinya yang ikut mendampingi pasien Marlinda di kapal kayu ke Tanjung Balai bukan lah cerita baru yang menjadi mimpi buruk dan lantas membuatnya trauma atau pobia laut di masa mendatang.

Sejak menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Kuala Kampar sembilan tahun yang lalu, cerita seperti itu sudah kerap kali di rasakannya, semangat pengabdian diatas segala galanya, menyelamatkan nyawa pasien menjadi motivasi utama walau kadang harus bertaruh nyawa.

Bertaruh nyawa di laut lepas di batas negeri bukan hanya Juliana sendiri yang merasakannya, semua petugas medis yang telah mendedikasikan dirinya untuk menyukseskan salah satu program Bupati Pelalawan, HM Harris yakni Pelalawan Sehat pasti merasakan ketegangan yang sama. Nyawa pasien diatas nyawa nya sendiri.

"Semua perawat, bidan bahkan dokter pasti sudah merasakan bagaimana rasanya diterjang ombak ditengah laut, sudah biasa kami alami. Tidak ada trauma, setiap ada pasien yang mau di rujuk kita harus siap," imbuhnya

Bahkan, kata Juliana dirinya pernah mengalami kejadian di laut yang sangat menakutkan, pernah dialaminya saat membawa pasien, di tengah laut, mesin kapal mati dan jangkar tidak ada. Terombang ambing di laut yang gelap sudah pernah dialaminya.

"Sudah banyak kejadian di laut kami alami, dalam tugas kami di Kuala Kampar itu sudah biasa, tidak bisa di elak, mungkin suatu saat ada solusi lain yang lebih baik dari Pemerintah untuk kami," harapnya

Ketetapan Illahi setelah segala daya diikhtiarkan

Kembali ke perjuangan Marlinda untuk sampai di RS Sani di Tanjung Balai Karimun. Perjalanan berat dan sakitnya kontraksi dirasakan sejak dari rumah di Tanjung Sum, di bawa ke Puskesmas di Teluk Dalam, rute Sokoi, Tanjung Batu sampai ke Tanjung Balai dalam keadaan kontraksi tak terbayangkan perjuangan yang di lalui oleh hampir sebagian ibu di Kuala Kampar.

Sampaj di RS kebanggaan masyarakat Karimun itu sekitar pukul 23.00 WIB, menjelang tengah malam. Kedatangan Marlinda langsung disambut oleh paramedis RS M Sani. Tak menunggu lama, ia pun segera naik ke meja operasi. Tim dokter pun melaksanakan presedur tindakan penyelematan ibu dan bayi.

Perjalanan panjang dan melelahkan ibu Marlinda, segala upaya nya dilakukan dan perjuangan keras yang dilalui rupanya tidak pula berbuah manis. Si Bayi Marlinda tak diperkenankan sang pencipta untuk merasakan andrenalin yang sama dengan ibu nya kala kembali ke Kuala Kampar melintasi jalur yang sama seperti malam sebelumnya. Ia tak diberi kesempatan melihat indahnya hamparan kelapa dunia di Kuala Kampar. Bayi Marlinda, yang didionosa mengidap Hydrosepalus di panggil yang maha kuasa. Itu lah ketetapan Illahi setelah segala daya telah di ikhtiarkan.

"Berita baiknya, si ibu selamat," tandas Juliana

Benny : Mereka memang tangguh

Sementara itu, Kepala Puskesmas Kuala Kampar, Yan Benny Ayusla menyebutkan bahwa para tenaga tenaga kesehatan di bawah Puskesmas yang dipimpinnya itu adalah para pejuang tangguh, para bidan dan juga di ditempatkan di seluruh desa di Kecamatan Kuala Kampar, adalah bidan bidan terlatih dan berpengalaman, siap memberikan pelayanan sepenuh hati kepada masyarakat yang membutuhkan.

“Tenaga kesehatan kita sudah berpengalaman, ada yang mengabdi hampir puluhan tahun, banyak diantara mereka yang berstatus Pegawai Tidak Tetap (PTT) ada pula yang masih berstatus Tenaga Kerja Sukarela (TKS), di segi pengabdian mereka sama, pengabdian terbaik mereka tidak di ragukan lagi,” lanjut Beni

Geografis Kuala Kampar yang sangat luas dengan akses jalan yang belum memadai menjadi tantangan tersendiri bagi petugas kesehatan dalam menjumpai pasien yang bermukim di pelosok kampung, kadang harus melewati jalan setapak, parit parit dan sungai untuk menemui pasien.

“Petugas kesehatan kita sudah terbiasa dengan medan di Kuala Kampar, masuk keluar kebun kelapa, parit dan jalan setapak itu sudah lazim bagi kami di sana, dan tak jarang badai di Selat Malaka kerap di taklukkan oleh ibu ibu para tenaga kesehatan, baik bidan, perawat maupun dokter untuk mengantar pasien yang dirujuk ke RSUD di Tanjung Balai Karimun, bagi kami ini lah pengabdian sesungguhnya, dan mereka memang perempuan perempuan tangguh” Jelas Kepala Puskesmas Kuala Kampar Yan Benny Ayusla mengakhiri .

Penulis : Apon Hadiwijaya


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar