1928; Bersumpah Menjadi Indonesia!

net

Oleh: Andy Indrayanto

 

Kalau Nusa itu bernama Indonesia dan Bangsa itu bernama Indonesia,

maka bahasanya harus disebut Bahasa Indonesia."

 

Mereka adalah anak-anak muda yang bergelora dan penuh semangat. Usia mereka rata-rata baru masuk 20-an, berasal dari berbagai daerah dengan adat-istiadat yang berbeda, termasuk budaya dan agama mereka. Di usia yang masih sangat muda itu, mereka sudah berkecimpung menjadi anggota berbagai perkumpulan yang bersifat kedaerahan.

Ada Jong Java, Jong Sumatra, Jong Bataks, Perkumpulan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Soenda, Jong Celebes, Jong Ambon, dan masih banyak lagi. Mereka mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan. Mengesampingkan keragaman suku, warna kulit dan agama, mereka intens menggelar rapat yang merisaukan penjajah Belanda. Kemerdekaan yang nyata adalah dambaan mereka.

Dari hasil pertemuan para pemuda itu, digagaslah kemudian Kongres Pemuda I yang digelar di Jakarta, dari tanggal 30 April sampai 2 Mei 1926. Kongres Pemuda I ini tujuannya adalah untuk menggugah semangat kerjasama  di antara bermacam-macam organisasi pemuda di tanah air, sehingga terwujud dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia.

Meski kala itu peserta kongres menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, namun di sini mulai dirintis penggunaan bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Sayangnya, penetapan bahasa persatuan itu tertunda karena Muhammad Yamin sebagai salah satu penggagas bersikukuh mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Alasan Yamin saat itu, jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan, yakni bahasa Jawa dan Melayu. Dari dua bahasa itu, maka bahasa Melayu lah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.

Namun usul Yamin ini ditolak oleh pimpinan Kongres I, Mohammad Tabrani, dengan kalimat seperti yang terpampang di pembuka tulisan ini. Mohammad Tabrani yang berasal dari Jong Java punya alasan yang cukup kuat, karena menurutnya harus ada satu bahasa persatuan yang sesuai dengan tujuan awal peserta kongres yakni satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.    

Dalam buku bertajuk '45 Tahun Sumpah Pemuda', terbitan tahun 1974 oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, Tabrani mengatakan bahwa pada saat itu, peserta kongres memang telah sepakat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan namun ia selaku Pimpinan Kongres menentangnya. Tapi sebenarnya, tulis Tabrani dalam buku tersebut, dirinya bukan tidak menyetujui usulan Yamin soal keinginan laki-laki keturunan Minangkabau itu  ingin menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

"Jalan pikiran saya ialah tujuan bersama yakni satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa," kata Tabrani, yang pada Kongres Pemuda II tak hadir karena sedang berada di luar negeri.

Kata Tabrani lagi, kalau Nusa itu bernama Indonesia dan bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu. Pendapat ini diterima Yamin, dan akhirnya Keputusan menetapkan bahasa persatuan akan dikemukakan lagi dalam Kongres Pemuda Kedua.

Meski Kongres Pemuda I tak menghasilkan keputusan yang dinilai sebagai tonggak kebangkitan para pemuda, namun sejak kongres yang digelar di Weltevreden - sekarang Gambir - para pemuda itu sudah tak sungkan lagi melakukan kegiatan lintas perkumpulan. Bahkan kerapkali mereka mengadakan rapat terbuka yang dihadiri oleh organisasi politik, seperti Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia.

Dua tahun kemudian, 1928, digelar Kongres Pemuda II yang kembali dilaksanakan di Jakarta. Sejumlah nama yang kelak menjadi tokoh nasional hadir dalam pertemuan tersebut. Kongres yang berlangsung di tiga tempat di Jakarta ini ditutup di Gedung Kramat Raya 106, tanggal 28 Oktober 1928. Hasil penting yang diperoleh kongres adalah Sumpah Pemuda. Diputuskan dalam kongres yang dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dari Jong Java ini bahwa asas tersebut wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia.

Di kongres yang menjadi tonggak kebangkitan nasional itu pula untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya diperdengarkan lewat alunan instrumentalia biola WR Soepratman. Dalam kongres itu, para peserta yang notabene kaum muda begitu bersemangat untuk berbahasa Indonesia meski sebagian besar dari mereka belum lancar menggunakannya. Maka, konon, saat Amir Sjarifuddin menanyakan apakah mereka siap berbahasa Indonesia, para peserta kongres menjawab dengan keras dan tegas, "Sikkaappp...."

Sejak para pemuda mengikrarkan sumpah mereka tanggal 28 Oktober 1928, masalah bahasa nasional dan bahasa persatuan kemudian dianggap selesai. Tak terlihat usaha memaksakan bahasa-bahasa besar, seperti Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda untuk dipergunakan di seluruh negeri meskipun menurut sastrawan dan peneliti sastra, Ajip Rosidi, bahasa Melayu yang kemudian dijadikan bahasa Indonesia "bukanlah bahasa yang paling banyak pemakainya - karena ia masih kalah dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda - dan bukan pula paling kaya kesusastraannya".

Bahkan tokoh sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana yang terkenal sebagai penganjur kebudayaan Barat, dalam masalah bahasa persatuan, ia tidak mengusulkan bahasa Belanda atau bahasa Inggris sebagai bahasa persatuan Indonesia, malah menjadi pendukung fanatik bahasa Indonesia dan mengabdikan tahun-tahun terbaik dalam hidupnya untuk mengembangkan dan membina bahasa ini. Sutan Takdir lah yang menentang tangguh strategi seorang ahli pendidikan Belanda yakni Dr G.J Nieuwenhuis, yang sejak pertengahan tahun 1920-an, merencanakan perluasan penggunaan bahasa Belanda sebanyak mungkin oleh penduduk pribumi agar suatu saat bahasa itu menjadi cukup kuat untuk menjadi bahasa persatuan di Hindia Belanda.

Kalau tak percaya, simaklah pemikiran politik etis Nieuwenhuis dalam mempromosikan bahasa Belanda agar dipakai sebanyak mungkin oleh para pribumi di Indonesia. Katanya, "Pekerjaan bahasa Belanda di Hindia ialah menolong membangun masa depan bagi bangsa Hindia dan menolong mempertahankan masa lampau bagi bangsa Belanda."

Namun harapan, impian dan cita-cita Nieuwenhuis menjadi buyar pasca diumumkannya Sumpah Pemuda yang menerima Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia. Harus diakui, ego para pemuda yang mampu mengesampingkan keragaman asal daerah, suku dan agama, benar-benar patut dijadikan contoh. Mereka yang berasal dari berbagai suku, tak ngotot bahasa daerah mereka harus dijadikan sebagai bahasa persatuan. Padahal saat itu, sebelum bahasa Indonesia diangkat dan disahkan menjadi bahasa persatuan, sebenarnya bahasa Melayu telah dipakai selama berabad-abad sebagai sarana komunikasi di antara penduduk di kepulauan di Nusantara ini.

Di tahun 1933, Sutan Takdir Alisjahbana, menulis dalam 'Poedjangga Baroe' bahwa bahasa Melayu bukanlah semata-mata kepunyaan orang Melayu. Dalam kenyataannya, "penduduk sekalian kepulauan ini menjalankan pengaruhnya masing-masing atasnya, membentuk dan memakainya menurut keperluan dan pekerti masing-masing".

Melalui proses itu, bahasa Melayu Riau kemudian berkembang menjadi sebuah 'lingua franca'. Kita tahu bahwa kekhasan lingua franca sendiri adalah ia hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi tapi tidak berperan sebagai representasi identitas. Inilah latar belakang penting mengapa tanpa banyak kesulitan, bahasa Melayu bisa diterima menjadi bahasa persatuan Indonesia karena memang tidak ada klaim identitas dan konflik antar-identitas dalam pemakaian bahasa itu.

Namun akan berbeda halnya jika bahasa Sunda, Jawa atau Bugis yang diterima menjadi bahasa persatuan. Dapat diperkirakan, akan muncul keberatan atau bahkan penolakan dari kelompok etnis lainnya. Pasalnya, hal ini dinilai penerimaan salah satu bahasa besar tersebut ditumpangi kepentingan politik identitas yang dapat merugikan atau mengancam identitas lainnya.

Mungkin memang tidak banyak contoh dalam sejarah dunia bahwa persoalan bahasa nasional yang biasanya pelik dan sensitif, ternyata bisa diselesaikan oleh satu ikrar para pemuda. Karena banyak sekali negara-negara di Asia atau Afrika, juga di Amerika Latin, yang menjadikan bahasa penjajahnya menjadi bahasa nasional atau bahasa penting di negaranya. Tapi kondisi ini ternyata tak berlaku bagi para pemuda di Indonesia. Para pemuda kita, dengan semangat kebangsaan seraya mengesampingkan kepentingan pribadi, mampu menyatukan tujuan kongres untuk mewujudkan proses menuju kemerdekaan.

Lihatlah di Brazil yang pernah dijajah oleh Portugal selama 5 abad. Di sana, masyarakat Brazil malah berbicara bahasa Portugal. Atau Malaysia yang menggunakan bahasa Inggris padahal negara tersebut masih satu rumpun Melayu dengan kita, juga  India dimana kalangan terdidiknya malah menggunakan bahasa Inggris.

Di Meksiko, Venezuela atau negara-negara Amerika latin lainnya, kita akan menemukan mereka berbicara dalam bahasa Spanyol setelah dijajah selama ratusan tahun. Negara Aljazair, Tunisia, Maroko dan Chad menjadikan bahasa Perancis, yang menjajah mereka sebagai bahasa nasional.

Kondisi ini jelas berbeda dengan bangsa kita. Meski dijajah ratusan tahun, bangsa Indonesia menolak bahasa penjajahnya yaitu bahasa Belanda menjadi bahasa persatuan atau bahasa nasional. Bahkan dalam Kongres Pemuda 1928 itu, kalangan terdidik yang hanya bisa berbahasa Belanda dan bahasa daerah, justru merasa malu bahkan meminta maaf pada peserta kongres dikarenakan menggunakan bahasa Belanda dan belum lancar berbahasa Indonesia.

Teks Sumpah Pemuda yang dikenang dengan penuh hormat tiap bulan Oktober, ternyata telah berperan sebagai remote preparation untuk Proklamasi 17 tahun kemudian. Karena sebelum dibacakan teks Proklamasi sebagai deklarasi kemerdekaan, jauh sebelumnya telah lahir Sumpah Pemuda sebagai deklarasi persatuan seluruh bangsa. Kemampuan mempersatukan dari bahasa Melayu dimungkinkan karena berbagai kelompok budaya di seluruh kepulauan Nusantara relatif mengenal bahasa ini dan tidak perlu mempelajarinya sebagai bahasa yang sama sekali baru.

Tiap kelompok budaya bahkan turut menciptakan bahasa ini sesuai dengan keperluan dan watak mereka. Kata "pergi" dalam bahasa Melayu mendapat variasi dalam dialek masing-masing daerah menjadi "pigi" atau "pi". Begitu juga kata "kita" yang berubah dalam dialek-dialek daerah menjadi "kite", "kitaorang", "ketorang", "ketong", atau "torang". Meskipun demikian, orang dapat dengan cepat memahami berbagai bentuk variasi itu dibandingkan dengan mempelajari suatu bahasa yang sama sekali baru, seperti bahasa Jawa, Sunda atau Bugis.

Delapan puluh sembilan tahun kini tlah berlalu sejak rumusan teks Sumpah Pemuda goresan tangan Yamin itu dikumandangkan. Goresan tangan Yamin yang dituliskan saat Kongres Pemuda II itu tlah menjadi tonggak kebangkitan nasionalisme para pemuda. Kalimat-kalimat yang diikrarkan oleh para pemuda dalam kongres itu adalah sebuah peristiwa dahsyat, sakral dan transendental.

Dalam baris-baris kalimat Sumpah Pemuda itu tertanam tekad sekaligus ancaman agar agar tidak ada manusia Indonesia yang berani melanggar persatuan yang diperlukan guna menapaki proses kemerdekaan. Segala perbedaan, baik agama, adat istiadat, panutan ideologi serta ego kedaerahan disingkirkan  demi cita-cita merdeka.

Bandingkan sekarang, sumpah pemuda kini hanya menjadi kegiatan seremoni tiap tahun. Teks-teks Sumpah Pemuda sekedar dibacakan saja sebagai 'lips service' para pejabat dalam memperingati upacara tersebut. Tak ada nilai heroik di sana, apalagi sakral. Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, menjadi sekadar peringatan karena di sisi lain jurang perbedaan vertikal maupun horizontal semakin melebar di antara sesama anak bangsa.

Situasi saat ini jelas berbeda nuansanya dengan peristiwa 89 tahun lalu. Dulu, para pelaku 1928 ini mengucapkan Sumpah Pemuda bagai berikrar dengan Allah SWT. Karena saat itu, bagi para pelaku, impian kemerdekaan lebih penting dari segala-galanya. Tapi kini konteks dan tujuannya jauh berbeda. Masing-masing justru lebih mementingkan ego dan kepentingannya, tanpa melihat lagi rambu-rambu etika antar sesama. Namun meski saat ini kita hidup terentang jauh dengan para pelaku Sumpah Pemuda, tetapi mungkin tak sedikit dari kita rindu ingin kembali ke semangat para pelaku 1928, saat mereka bersumpah menjadi Indonesia! *** (tulisan ini pernah menjuarai lomba menulis tingkat riau, juara 2 kategori Jurnalis) ***   

 

 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar