Putusan Eksekusi Dinilai Sudah Tepat, Ini Penjelasan Praktisi Hukum

Putusan Eksekusi Dinilai Sudah Tepat, Ini Penjelasan Praktisi Hukum
Praktisi Hukum, Apul Sihombing, SH. MH

PELALAWAN, RIAUBERNAS.COM - Polemik pasca eksekusi penertiban dan pemulihan lahan yang dilakukan di lahan PT. Peputra Supra Jaya (PSJ) pada Jum'at pekan lalu, (17/1/2020), terus bergulir. Ekekusi penertiban dan pemulihan yang dilakukan oleh Kejaksaan Pelalawan menimbulkan pro dan kontra, dikarenakan adanya masyarakat yang selama ini menjadi mitra PT. PSJ yang menjadi korbannya. Kini, tinggal warga yang menjadi mitra PT. PSJ yang harus menjadi korban dari semua permasalahan ini.

Menurut praktisi hukum dari Kabupaten Pelalawan, Apul Sihombing, SH.MH, bahwa apa yang dilakukan Dinas Kehutanan & Lingkungan Hidup (DLHK) Riau serta PT NWR dengan menebang habis kebun sawit milik masyarakat yang bermitra dengan PT PSJ selama ini, dinilai sudah tepat. Pasalnya, dalam persoalan ini tidak ada lagi sosiologi hukum dan tidak ada lagi pertimbangan disini, yang harus dipergunakan adalah kacamata kuda, karena itu keputusan pengadilan.

"Justru ketika jaksa tidak melakukan eksekusi terhadap putusan pidana, maka jaksa telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kita buat perumpamaan sederhana biar gampang dicerna oleh masyarakat, misalnya terhadap vonis mati oleh Mahkamah Agung, berkekuatan hukum tetap, menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang, itukan wajib di eksekusi. Kecuali ada grasi dari Presiden, hanya Presiden yang memberikan grasi. Grasi itupun berbentuk pengurangan, bukan pelepasan dan membatalkan dari segala dakwaan," terang Apul Sihombing pada media ini, Rabu (22/1/2020).

Artinya, lanjut Apul, bahwa bukan jaksa, bukan DLHK atau pun pihak perusahaan dalam hal ini PT. NWR yang melakukan eksekusi itu tetapi keputusan pengadilan Mahkamah Agung lah yang harus dilaksanakan. Mau tidak mau, suka tidak suka itu harus dilaksanakan. Eksekusi itu mau manusiawi atau tidak manusiawi itu harus dilakukan.

"Hukum adalah panglima dalam penentuan suatu kasus, bukan sisi-sisi lainnya," tandasnya.

Jadi dengan langkah yang dilakukan oleh Kejaksaan bersama DLHK Provinsi Riau untuk mengeksekusi lahan tersebut, itu suatu langkah tepat karena mereka berpatokan pada amar putusan MA. Yang kedua yang perlu digaris bawahi aadalah bahwa bukan DLHK dan bukan juga NWR yang mengeksekusi tetapi negara melalui kejaksaan.

"Secara teori, yang melakukan eksekusi itu kalau di dalam kode penanganan tindak pidana itu P48. P48 itu adalah tindakan melaksanakan putusan pengadilan, eksekusi terhadap putusan pengadilan. Misalnya seseorang divonis bersalah dengan pidana kurungan penjara sekian tahun, P48 adalah surat penetapan eksekusi untuk dititipkan di LP. Karena ini berbentuk denda maka barang itu dirampas oleh negara, maka negara lah yang merampas itu melalui kejaksaan," jelasnya.

Disinggung soal nasib masyarakat yang notabene menjadi korban dari persoalan ini, Apul justru menyarankan agar para petani mempersoalkan hal ini pada PT. PSJ yang selama ini menjadi mitra perusahaan tersebut. Pasalnya, dari amar putusan MA dinyatakan bahwa PT. PSJ menguasai lahan tanpa izin yang sah atau kurang lebih menyatakan bersalah menguasai lahan tersebut tanpa legalitas yang sah.

"Ini berarti bahwa PT. PSJ terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, karena secara sah dan secara nyata perusahaan tersebut menjual yang bukan haknya kepada orang lain, berarti unsur penipuannya ditemukan disitu. Dan itu terjadi dari awal, kalau memang betul dia (PSJ, red) tidak memiliki izin. Tapi itu pasti, karena memang terbukti," tandasnya.

Dan karena ini telah berlangsung lama maka pada akhirnya menimbulkan kerugian pada orang lain dalam hal ini pada para petani, dengan melakukan jual beli lahan dengan masyarakat walaupun sistem jual belinya itu dengan cara mencicil. Namun pada akhirnya masyarakat juga yang dirugikan saat lahan milik warga yang bermitra dengan perusahaan disita negara.

"Inikan sekarang timbul kerugian bagi masyarakat petani disana, siapa yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat ya PSJ. Jadi dia harus bertanggung jawab mengembalikan semua kerugian para petani. Dari mulai kerugian materil, materil maksudnya yang bisa dihitung dengan uang, seperti harga lahan, berapa yang sudah di keluarkan masyarakat dari awal sampai sekarang, maupun kerugian yang lain yaitu waktunya habis, tenaganya habis, itu kerugian yang dialami oleh petani yang harus ditanggung oleh PT. PSJ. Itu ditegaskan di dalam Pasal 1365 itu seperti itu," jelasnya.

Kalau PSJ misalnya mengatakan bagaimana masyarakat bisa yakin dan percaya ikut memiliki itu lahan, tentu karena diberikan jaminan bahwa itu sudah sah miliknya mereka. Tapi ternyata terbukti itu bukan lahan mereka, karena terbukti berdasarkan putusan Mahkamah Agung itu.

"Berdasarkan putusan Mahkamah Agung itu menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin yang sah, oleh karenanya lahan itu dirampas oleh negara dan diserahkan kepada PT. NWR, kurang lebih putusannya seperti itu," kata Apul.

Ditanya soal upaya Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh PT. PSJ dan apakah peninjauan kembali itu bisa menunda atau membatalkan eksekusi, jawabannya tidak. Pasalnya, upaya hukum di Indonesia itu yang normal sampai Kasasi. Jika Peninjauan Kembali (PK) maka itu sudah upaya hukum luar biasa, dan tidak berpengaruh terhadap eksekusi.

"Kalau upaya hukum yang resmi itu, mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi. Kasasi itulah terakhir, jadi PK itu bila ada Novum, bila ada bukti-bukti baru yang menyatakan dia mempunyai izin, tapi kalau dia punya izin pasti dari awal ditunjukkan kepada persidangan, 'ini izin kami pak, yang mengeluarkan ini, ini proses kami untuk mendapatkan izin' tapi tidak mungkin, karena mereka juga diberikan kesempatan untuk esepsi, mereka diberi kesempatan untuk membela diri saat persidangan," ungkapnya.

Dikatakannya, karena itu ada dua langkah hukum yang bisa dilakukan oleh masyarakat guna mengajukan tuntutan kepada PSJ, yaitu bisa mengajukan gugatan pidana melalui pelaporan kepolisian atas dugaan penipuan. Dan bisa juga melakukan gugatan ganti rugi, karena melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain.

"Apa perbuatan melawan hukumnya, yaitu penipuan, mengalihkan kepada orang lain yang bukan haknya. Haknya dalam arti di sini, sesuatu yang tidak sah secara hukum kan bukan milik kita, artinya menurut putusan itu bahwa, mereka menguasai lahan itu, menanam itu dan diberikan kepada masyarakat itu adalah tindakan melawan hukum," jelas Apul.

Ditanya bahwa berdasarkan keterangan dari beberapa pihak yang menyebutkan masyarakat yang menyerahkan lahan pada PT. PSJ untuk dijadikan pola KKPA dengan sistem bapak angkat, menanggapi hal ini, Apul Sihombing mengatakan bahwa bukan seperti itu tapi setiap pemilik konsesi atau HGU, dia diwajibkan untuk sebagian intinya dijadikan pola KKPA.

"Artinya, yang bertanggung jawab untuk mengurusi itu adalah perusahaan. Justru sekarang secara global itu masih atas nama perusahaan suratnya. Nanti ketika sudah konversi, setelah terjadi pelunasan baru diserahkan kepada masyarakat suratnya, itu yang benar," tegas Apul lagi.

Dikatakannya, kasus yang menjadi polemik di lahan 3323 Ha tersebut merupakan kasus pidana tetapi terdakwa dengan putusan denda bukan kurungan badan. Kasus pidana itu ada sanksi penjara dan ada sanksi denda.

"Makanya, primernya itu menghukum terdakwa dalam hal ini PT. PSJ membayar denda sebesar 5 Milyar dan dipoint dua barangkali menetapkan lahan sejumlah sekian-sekian dirampas untuk negara yang selanjutnya diserahkan kepada NWR sebagai pemegang izin konsesi, kira-kira seperti itulah. Jadi ini putusan pidana bukan perkara perdata," kata Apul.

Ditambahkannya, namun intinya pelaksanaan eksekusi yang dilakukan itu sudah tepat karena ini putusan pengadilan yang harus dilaksanakan. "Sederhana saja, kalau saya sebagai jaksa, secara hati nurani pasti tak tega memenjarakan orang, tetapi karena tanggung jawabnya berdasarkan keputusan pengadilan, mau bilang apa. Negara kita kan negara hukum. Atau kita contohkan vonis mati, manusiawi tidak hukuman itu? Dilihat dari aspek HAM, itukan melanggar HAM namun jika di sistem hukum Indonesia yang sekarang masih berlaku, bahwa selain tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia maka ada hakim yang berhak mencabut nyawa manusia, jadi yang mencabut nyawa manusia itu bukan eksekutor tetapi keputusan hakim. Begitulah analogi sederhanya," tukasnya. (Rbc)