Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila
Moh. Rofiq Risandi

Oleh : Moh. Rofiq Risandi

Bangsa Indonesia masih harus bekerja keras untuk membela dan menghidupi demokrasi. Dewasa ini setiap hari kita mendengar pendapat dan berita yang berkisar pada tema demokrasi. Para intelektual sibuk merumuskan bagaimana demokrasi mesti ditata. Dalam berita jam lima pagi dari kantor berita Radio di London, British Broadcasting Corporation (BBC), dikabarkan bahwa Amerika mengkritik sistem politik Indonesia yang tak menjanjikan transformasi kehendak rakyat. Sejumlah eksponen politik Indonesia menjawab bahwa Amerika tidak mengerti sistem politik demokrasi Pancasila yang dikembangkan di Indonesia.

Tak bisa disangkal sekarang ini muncul model-model pemikiran demokrasi. Sukar orang mengerti demokrasi secara gamblang. Dalam benak para oposan, demokrasi kerap dipikirkan sebagai segala sesuatu yang melawan pemerintah atau militeristik. Para penguasa memahami demokrasi sebagai wujud dalam pembentukan para wakil rakyat. Terbentuknya para wakil rakyat melalui Pemilu jelas sudah menampilkan apa yang disebut sebagai demokrasi. Demokrasi Pancasila jelas bukan demokrasi elitis. Ada dua cara pandang yang bisa digunakan untuk meneropong realitas elitisme ini. Di satu pihak, kelompok elit ini mempunyai komitmen bagi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia, hal ini sebagaimana terbukti dalam sepak terjang kaum cendekiawan dan kaum pergerakan. Mereka telah berjasa dalam memikirkan identitas Indonesia. Di pihak lain, kelompok ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu revolusi sosial yang akan mengubah secara total sistem yang ada, dengan segala corak kapitalis-kolonialismenya. Kaum elit pergerakan ini lebih memandang perlu untuk melengserkan pemerintahan kolonial asing dan menggantinya dengan elit lokal.

Dengan kata lain, mereka menghendaki adanya revolusi nasional, bukan revolusi sosial. Bagaimana prinsip anti-elitisme ini diterapkan dalam bidang ekonomi dewasa ini? Ekonomi nasional di zaman demokrasi ini harus lebih mengikuti kaidah-kaidah persaingan sehat, produktivitas yang senantiasa meningkat, dan mengurangi berbagai diskriminasi. Demokrasi di ekonomi juga menghendaki good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi, dan akuntabilitas. Lalu, bagaimana dengan sistem penguasaan? Penguasaan ditafsirkan sebagai kepemilikan. Ini lebih cocok dengan paham sosialisme asli. Sekarang partai sosialis dan partai buruh di negara-negara industri, seperti di Inggris dan Eropa, sudah melonggarkan visinya terhadap penguasaan lewat kepemilikan ini. “Penguasaan” bisa juga diikhtiarkan lewat “pengaturan” atau regulation sehingga pemerintah lebih berperan sebagai “regulator”. Kedudukan koperasi di pasal 33 UUD 1945 selalu menjadi objek kontroversi.
Apakah bentuk usaha koperasi “dimahkotakan” atau harus dipandang sebagai salah suatu bentuk usaha dan pelaku di perekonomian nasional? Pengalaman selama lima puluh tahun tahun menyatakan bahwa koperasi tidak mungkin dijadikan bentuk usaha yang dominan. Bentuk usaha koperasi lebih dipandang sebagai suatu bentuk usaha non-profit ketimbang sebagai bentuk usaha yang berdasarkan penumpukan modal dan yang bekerja untuk meraih keuntungan. Secara nominal, keputusan di koperasi diambil berdasarkan one-man-one-vote yang memang lebih demokratis. Sistem ini berbeda dengan apa yang terjadi dalam perusahaan yang kapitalistik di mana keputusan diambil berdasarkan sistem one-share-one-vote. Tampak bahwa dalam koperasilah sistem gotong-royong dapat diakomodasi, di mana manusia di dalamnya tidak dihitung berdasarkan besar/kecilnya modal yang ia tanam. Ekonomi Indonesia adalah ekonomi Pancasila yang cirri khasnya adalah semangat gotong-royong. Soekarno menggagas ekonomi Indonesia yang disemangati oleh kegotong-royongan yang secara konkret diejawantahkan dalam bentuk koperasi. Lalu bagaimana asas kegotong-royongan bisa diterapkan untuk mengikis kecenderungan elitisme negatif politik dewasa ini?

Situasi Indonesia dewasa ini memang diperparah oleh pertarungan para elit politik. Melihat semua ini sebagian besar rakyat sedikit demi sedikit mulai merasa muak. Mereka muak karena ternyata semua pertikaian itu bukannya untuk membela kepentingan rakyat banyak, bahkan nada pesimis dari rakyat sebagai berikut kerap terlontar setiap kali kegiatan politik berlangsung. Dikutip dari harian Kompas tanggal 8 Agustus 2000 dengan judul Mendambakan Masa Lalu yang Kejam, terlontar pernyataan keras dari masyarakat strata bawah, “Apa kalau bapak-bapak itu sidang lalu semuanya akan jadi baik, pupuk jadi murah dan gampang didapat, tebu saya harganya baik, dan anak saya bisa melanjutkan sekolahnya. Nyatanya, rakyat makin susah.”

Diakui atau tidak, reformasi total yang dicita-citakan bersama tidaklah berjalan dengan mulus. Ada banyak tantangan yang menghadang di sana-sini. Situasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang memahami kelemahankelemahan yang ada demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dosen Sosiologi dari Universitas Indonesia, Dr. Rochman Achwan, dalam salah satu tulisannya di Harian Kompas yang terbit di tahun 2000, pernah menyoroti secara lugas soal ini. Menurutnya, kemunculan kepemimpinan politik dengan legitimasi kuat di tanah air sesungguhnya merupakan momentum historis terselenggaranya tata ekonomi, politik, dan masyarakat yang baik. Persoalannya adalah mungkinkah para pemimpin politik di tanah air dapat menjalankan prinsip-prinsip yang terkandung dalam paradigma ini, mengingat kekacauan ekonomi dan politik pada tingkat institusi negara, pasar, dan masyarakat hingga kini tidak kunjung usai.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dahulu hanya terkenal sebagai tukang stempel, sekarang kelihatannya telah berubah menjadi pengawas yang sangat ketat dalam melakukan kontrol terhadap Presiden. DPR seakan-akan bisa berkehendak semaunya dengan mengatakan bahwa merekalah wakil rakyat. Sungguh suatu situasi politik yang suram. Mengenai hal ini, Budayawan Umar Kayam mengatakan bahwa para pendiri bangsa sebenarnya lebih menekankan semangat egaliter daripada menjunjung gengsi elitis: “Pada waktu kita berhasil menyusun suatu negara kesatuan yang antara lain berasas kerakyatan, pemerintah secara prinsip setuju untuk mengembangkan hak rakyat dengan seluas-luasnya, mendapat semua kesempatan untuk maju. Prinsip egalitarian yang tidak pernah ditonjolkan pada zaman penjajahan ....”

Konflik politik yang terjadi di sana-sini ternyata disertai oleh tindakan yang tidak semestinya. Kasak-kusuk banyak dilakukan oleh para politikus 30 dengan bersembunyi diberbagai terminologi “lobi politik.” Aneka skandal pun dicuatkan demi menghancurkan karier lawan politiknya. Skandal ini bisa berupa kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akan tetapi ia juga bisa berupa pemberitaan di media massa tentang perselingkuhan yang diperbuat oleh seorang aktor politik dengan seorang wanita yang bukan istrinya. Semua ini tentu bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik yang dikehendaki. Harus diakui bahwa memang situasi politik di negara ini sedang berada di titik yang terendah. Sama sekali tidak ada kesantunan dalam berpolitik. Kehidupan politik yang demikian tentu berdampak pada kehidupan di bidang yang lain. Bagaimana mungkin akan tercipta stabilitas dan keamanan yang baik jika pertentangan antar-elit politik terus terjadi? Bagaimana mungkin rakyat akan hidup dengan tenang jika setiap hari telinga mereka mendengar berbagai argumen yang saling menjatuhkan? Bagaimana mungkin kehidupan ekonomi akan membaik jika para pejabat terus saja bertengkar? Investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia tentu akan mengurungkan niat investasinya jika situasi politik terus saja bergolak.

Hal ini bisa dimengerti karena para investor itu tentu ingin mengembangkan usahanya dalam suasana yang tenang. Mereka tentu tak akan menanamkan modalnya jika seminggu kemudian kerusuhan melanda. Mereka merugi besar jika perusahaan yang dibangunnya luluh lantak diserang massa. Kalau begini, sebenarnya bangsa kita sendiri yang merugi. Pengangguran tentu akan terjadi di mana-mana karena tak ada satu pun investor yang mau membuka usaha di Indonesia. Jelas bahwa kehidupan politik itu ternyata berimbas kepada bidang kehidupan yang lain. Semua hal di atas tentu tidak akan terjadi bila para elit menyadari betapa pentingnya membangun semangat kegotong-royongan dalam berpolitik seperti yang digagas Soekarno. Seperti kata Soekarno, Indonesia bukan didirikan buat Nitisemitro, bukan buat Van Eck, dst. Indonesia didirikan buat semua. Artinya, semua pelaku dan elit politik sudah waktunya menimba semangat kegotong-royongan demi membangun bangsa daripada mengedepankan kepentingan sesaat. Perbedaan pendapat dan keanekaragaman pandangan politik tetap dihargai dan menjadi hal yang lumrah, akan tetapi semua itu tidak dapat ditoleransi lagi jika terus-menerus terjadi hingga kesejahteraan rakyat dan kelangsungan negara.

Sejak awal pembentukan negara ini, banyak terjadi kontroversi tentang bentuk negara mengenai apakah negara ini didirikan atas dasar agama atau berbentuk negara sekuler. Setidaknya ada dua golongan besar yang saling berhadapan, yaitu antara kekuatan agamis dan kekuatan nasionalis. Konflik dan masalah-masalah yang njlimet terjadi sampai akhirnya Soekarno berpidato tentang Pancasila sebagai weltanschauung bangsa. “Semua buat semua” serta “tiada egoisme agamis,” demikian Soekarno berbicara.

Eka Darmaputera menyimpulkan bahwa Indonesia merdeka ‘bukanlah Negara Islam dan bukan Negara sekuler,’ tetapi negara Pancasila. Dasar untuk Demokrasi Pancasila ala Soekarno adalah “semua buat semua.” Demokrasi seperti ini mengimplisitkan prinsip musyawarah dan bukannya suara terbanyak. Bagi Soekarno, suara terbanyak justru akan melahirkan kesewenang-wenangan dan penindasan atas minoritas. Soekarno tidak lagi menyetujui penggunaan terminologi minoritas-mayoritas dalam membangun tata demokrasi Indonesia. Mengapa? Karena terminologi itu lahir dari kultur liberal. Lebih dari itu, sebenarnya satu suara bahkan yang berasal dari kelompok minoritas sekalipun, mempunyai arti yang sama bagi kehidupan bernegara. Sistem gotong-royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia jelas tidak meninggalkan kaum minoritas, bahkan sebaliknya, merangkul semua ke dalam suasana kebersamaan. Menurut Soekarno, ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, yakni nasionalisme dan internasionalisme (perikemanusiaan). Itulah gotong royong. Mengapa demikian? Karena ada nasionalisme yang tumbuh di luar prinsip kemanusiaan. Nasionalisme yang demikian adalah nasionalisme chauvinistis yang terjadi di Jerman yang meyakini bahwa Deutschland über Alles. Nasionalisme Indonesia harus tumbuh di atas kekeluargaan yang mampu mempersatukan aneka suku, agama, budaya, bahkan batas negara sekalipun.

Paham gotong-royong sebenarnya bukan hanya dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh bangsa Indonesia saja, melainkan juga sangat ampuh dipakai oleh anggota masyarakat Internasional. Misalnya, dalam kegiatan membantu korban bencana gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Pancasila menurut Soekarno diambil berdasarkan budaya bangsa secara “turun-temurun,” dan “sebagai perasaan-perasaan rakyat yang selama ini terpendam diam-diam dalam hati rakyat.” Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama-nya sudah memunculkan istilah Pancasila. Kemudian Mpu Tantular dalam Sutasomanya memunculkan istilah Bhinneka Tunggal Ika.” Tampak bahwa Pancasila adalah gambaran pribadi rakyat sedari dulu kala. (Penulis adalah Ketua umum kajian interdisipliner karya ilmiah universitas Islam malang dan juga Kader PMII rayon Al-Fanani)