KLHK Menangkan Gugatan Karhutla, Tiga Perusahaan Didenda Rp1,3 Triliun

KLHK Menangkan Gugatan Karhutla, Tiga Perusahaan Didenda Rp1,3 Triliun
itn

JAKARTA, RIAUBERNAS.COM - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, memenangkan gugatan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Mahkamah Agung terhadap tiga perusahaan perkebunan.Tiga perusahaan perkebunan yang terjerat kasus ini pun harus membayar ganti rugi dan melakukan pemulihan lingkungan, sebesar Rp1,3 triliun.

Mahkamah Agung memutuskan, PT. Jatim Jaya Perkasa (JJP), yang dinyatakan bersalah setelah melalui proses kasasi, 28 Juni 2018. Perusahaan tersebut diwajibkan membayar ganti rugi serta biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp491 miliar.

PT. Jatim Jaya Perkasa (JJP) merupakan perusahaan perkebunan sawit yang dituntut karena membakar dan merusak 1.000 hektare lahan di Kecamatan Kubu Babusalam, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Pada 10 Agustus 2018, MA juga menolak kasasi PT. Waringin Agro Jaya (WAJ) dan mengabulkan gugatan KLHK senilai Rp639,94 miliar.

Berikutnya PT. Waringin Agro Jaya (WAJ) dituntut KLHK karena menyebabkan kebakaran pada lahan seluas 1.802 ha di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Berselang lima hari kemudian, Majelis Hakim Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga memutuskan PT. Palmina Utama bersalah, serta wajib membayar ganti rugi dan biaya pemulihan sebesar Rp183,7 miliar.

Ketiga perusahaan tersebut dinyatakan terbukti lalai, dan dijerat hukum, dan harus mempertanggung jawabkan dampak Karhutla yang ditimbulkan, yang merugikan masyarakat.

Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam keterangan tertulisnya sangat mengapresiasi Majelis Hakim Mahkamah Agung dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin karena telah memberikan keadilan bagi masyarakat dan lingkungaqn hidup.

"Kami sangat mengapresiasi Majelis Hakim Mahkamah Agung dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Putusan ini memberikan keadilan lingkungan bagi masyarakat dan lingkungan hidup itu sendiri", kata Rasio, sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia, Sabtu (7/9/2018).

Rasio mengatakan, putusan tersebut mencerminkan bahwa hakim memegang prinsip in dubio pro natura, atau keberpihakan kepada lingkungan hidup. "Putusan ini patut diapresiasi, semoga dapat meningkatkan kepatuhan hukum kalangan korporasi, demi masa depan lingkungan hidup Indonesia yang lebih baik," kata Rasio.

KLHK juga telah menyegel lima lokasi lahan perusahaan perkebunan yang terbakar di Kalimantan Barat. Kelima lokasi yang terbakar tersebut berada di lahan PT. SUM, PT. PLD, PT. AAN, PT. APL dan PT. RJP.

"Tanggal 4 September lalu, KLHK baru saja memasukkan gugatan perdata terhadap PT. KU di PN Jakarta Selatan, terkait kebakaran di Jambi", kata Rasio lagi.

Rasio menjelaskan, sejak tahun 2015 hingga sekarang, menurutnya, sudah ada 510 kasus pidana LHK dibawa ke pengadilan oleh penyidik Gakkum KLHK. Selain itu hampir 500 perusahaan yang tidak patuh telah dikenakan sanksi administratif. Puluhan lainnya dinilai lalai menjaga lahan, digugat secara perdata.

Sementara, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan KLHK, Jasmin Ragil mengatakan, saat ini KLHK masih menunggu proses eksekusi untuk dua keputusan pengadilan yang sudah final (inkrach van gewisjde) terkait kasus kebakaran hutan oleh PT Merbau Pelalawan Lestari (Riau) dan PT Kalista Alam (Nanggroe Aceh Darussalam).

"Kami terus meminta PN Pekanbaru dan PN Meulaboh untuk segera mengeksekusi putusan yang ada, karena kewenangannya ada di mereka," kata Jasmin Ragil.

Jasmin menilai, eksekusi putusan tersebut penting untuk menimbulkan efek jera dan menghormati putusan pengadilan. "Agar ada pembelajaran bagi yang lain. Negara kita adalah negara hukum, jadi hormati putusan pengadilan", ujar Jasmin.

Sepanjang tahun 2015-2017, total putusan pengadilan yang dinyatakan inkracht untuk mengganti kerugian dan pemulihan (perdata), mencapai Rp17,82 Triliun.

Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP), mencapai Rp36,59 miliar. Angka tersebut menurutnya, menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.