Oleh : Rahmat., S.T
Delapan puluh tahun merdeka, sebuah angka yang terdengar megah namun sekaligus mengandung pertanyaan yang getir; apakah kita benar-benar mengerti rti kemerdekaan hari ini? Kita saksikan sendiri, di lorong-lorong kampung, bendera putih mulai berkibar. Anak-anak mulai berlatih berbagai macam lomba yang akan dilaksanakan, dan lapangan-lapangan desa pun disapu rapi untuk upacara. Semuanya meriah, penuh warna. Namun dibalik gegap gempita itu, ada satu hal yang diam-diam menyelusup mencemaskan yakni kemana arah generasi muda di tengah arus zaman yang kian deras ini?
Bagi mereka yang pernah menghirup udara kemerdekaan di tahun-tahun awal, 17 Agustus adalah peringatan yang membakar dada. Peringatan yang mengharu biru setiap dada para pejuang. Peringatan yang berisi kisah darah dan air mata, bambu runcing yang terangkat di medan perang, pidato lantang Founding Father, Soekarno-Hatta, di tengah tekanan diplomasi penjajah; diplomasi panjang yang tak kalah getir dari peperangan. Mereka menyimpan cerita luka panjang di bawah bayang-bayang kolonialisme untuk kemudian diwariskan melalui buku-buku sejarah, film nasional hingga pelajaran di sekolah.
Sebuah wajah nasionalisme sebagai lonceng pengingat bagi generasi penerus untuk bisa menghargai dan meneruskan.
Namun jarak dan waktu ternyata punya kisah tersendiri. Ia memiliki pola untuk mengikis sebuah rasa. Semakin jauh dari tahun 1945, semakin kabur rasa kolektif itu terutama di mata sebagian generasi muda. Apalagi musuh kini tak lagi berseragam militer tetapi menjelma dalam bentuk korupsi yang berurat akar dan membusuk di dalamnya. Ketimpangan sosial semakin menganga, krisis lingkungan mengancan napas bumi, disrupsi tehnologi mengguncang pola hidup hingga toleransi yang siap meletup di sela-sela perbedaan.
Dan generasi hari ini adalah sebuah generasi yang lahir ke dunia tanpa pagar pembatas. Hidup mereka hanya dibanjiri informasi dari layar 6 inci. Merka fasih berbicara soal AI, Startup, NFT, dan krisis iklim global namun gagap ketika tentang Proklamasi. Kondisi ini terjadi bukan karena mereka kehilangan nasionalisme tapi yang terjadi adalah adanya benturan dua dunia
Generasi hari ini terbentur oleh dua sisi. Satu sisi ada warisan heroik yang harus dijaga dan disakralkan, di sisi lain adanya tuntutan hidup di ruang global yang semakin kejam. Banyak anak muda banting tulang bekerja sambil kuliah; memulai usaha dari kamar kos karena pekerjaan formal semakin sulit atau bergelut dengan kesehatan mental yang rapuh di tengah teknan kompetisi. Mereka hidup di persimpangan antara menghormati masa lalu dan menciptakan masa depan.
Dilansir dari bps.go.id, di tahun 2024 tercatat bahwa 53% penduduk Indonesia berusia 15-39 tahun. Artinya, masa depan negeri ini nyaris seluruhnya berada dipundak generasi muda. Namun bagaimana mereka bisa melangkah jauh jika masih terbebani ketimpangan pendidikan, pengangguran yang menjerat, dan lebarnya jurang antara kota dan desa?
Di titik inilah semestinya, negara tidak hanya sekedar hadir di podium-podium upacara belaka. Tugasnya tak hanya seremoni saja mengulang-ulang narasi kebangsaan tiap Agustus tapi membangun pondasi yang membuat anak muda mampu berdiri tegak di panggung dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan;
Pertama, pembangunan penidikan yang relevan. Saat ini kita masih terlalu sibuk menghafal namun terlalu sedikit mengasah kritis dan kreatif. Padahal pola dunia kerja menuntut problem solving, kolaborasi, komunikasi lintas budaya, juga literasi digital. Kurikulum harus berubah dari ruang kelas yang membatasi menjadi pintu gerbang mewnuju dunia nyata.
Kedua, pemerataan kesempatan. Saat ini ada banyak anak muda di pelosok negeri yang memiliki potensi besar namun harus terkubur karena minimnya infrastruktur. Hal ini tejadi karena akses internet tidak merata, pelatihan yang jarang terjadi dan pintu ekonomi kreatif di daerah yang belum dibuka lebar. Indikator-indikator seperti ini harus diberlakukan juga di daerah-daerah sehingga mereka tidak minim infrastruktur.
Ketiga, adanya dukungan pada kewirausahaan dan inovasi. Pasalnya, di tengah sulitnya mencari kerja justru banyak diantara mereka yang memilih menjadi pengusaha. Di sini, pemerintah dan sawsta perlu memudahkan izin, menyediakan inkubator bisnis, membimbing manajemen hingga akses modal yang berkeadilan.
Perlu diingat, arti kemerdekaan bagi generasi muda tidak hanya cukup diukur dari bendera yang berkibar. Ia harus dilihat dari anak desa yang berhasil membuat inovasi tehonologi ramah lingkungan, dari pemimpin daerah yang lahir di pelosok dan membawa perubahan, aktivis pejaga hutan hingga guru kreatif yang menyalakan cahaya di ruang-ruang sekolah terpencil yang nyaris ambruk.
Dua puluh tahu lagi saat Indonseia berusia satu abad, sejarah akan membuktikan apakah kita menjdi bangsa yang mampu mengubah potensi menjadi kekuatan atau hanya bangsa yang terus bercerita masa lalu sambil sekaligus tertinggal di masa depan.
Kelak, pada suatu ketika di tanggal 17 Agustus satu abad Indonesia; upacara masih tetap digelar, lagu kebangsaan pun tetap dinyanyikan dan bendera akan tetap berkibar namun makna yang tersirat tentu akan berbeda, dan itu tergantung dari apa yang kita lakukan untuk anak muda hari ini. Sebab jika kita gagal maka yang tersisa hanyalah perayaan tanpa jiwa; merdeka hanya dikata namun belum tentu di rasa. * (Penulis adalah Ketua Persatuan Alumni GMNI Kabupaten Pelalawan)