FATWA LINTAS ORMAS DI INDONESIA Oleh Najamudin (Kepala KUA Kecamatan Tualang)

Fatwa dan Ijtihad

Menurut Wahbah Zuhaili, fatwa memiliki posisi yang lebih khusus dibandingkan dengan ijtihad, yaitu dimana ijtihad adalah penggalian hukum Islam (istinbâth ahkâm dengan realitas bahwa apakah hal tersebut merupakan pertanyaan dari hukum itu sendiri atau bukan, sedangkan fatwa tidak akan dikeluarkan oleh seorang mufti kecuali tertentu (khusus) pada (jawaban) pertanyaan dan mufti yang mengeluarkan fatwa tadi mengetahui hukum dari persoalan yang di ajukan.

 Imam as-Syaukani 15 (1173H-1251H) menyatakan, bahwa seorang mufti adalah seorang yang melakukan ijtihad (mujtahid) dan seorang ahli dalam hukum Islam (faqîh). Betapa penting dan mulia kedudukan mufti, hingga tidak setiap orang dapat memposisikan dirinya sebagai mufti, sebagaimana isyarat Al-Qur’an :

???? ???????? ??????? ??????? ???????????? ??? ?????? ??????? ????? ?????? ??????????? ??????????? ???????? ???????? ?????? ??????????? ????????? ??? ???? ????????? ???? ????????? ???????

??????????? ????? ??????? ??? ??? ????????????

33. Katakanlah: & quot; Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al- ‘Araf : 33)

Berangkat dari berbagai pendapat ataupun penegasan tentang definisi fatwa, minimal dapat ditemukan dua pengertian penting:

 (1) Fatwa bersifat responsif, yakni sebagai jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya pertanyaan atau permintaan fatwa;

(2) Fatwa sebagai jawaban hukum (legal opinion) tidak bersifat mengikat karena bukan putusan pengadilan (qadla).

Dimana Ibnu Al-Qayim al-Jauziyah (691H-751H) menarik sebuah batasan dalam pernyataannya tidak menutup kemungkinan kesimpulan fatwa pun bisa berbeda disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, niat, manfaat, keadaan dan konteksnya.

Kejelasan hukum akan menciptakan ketenangan dalam menjalankan agama. Sejauh ini di Indonesia fatwa dikeluarkan oleh Ijtihad personal (ijtihad fardi) atau yang bersifatkolektif (ijtihad jama'i), hal ini menunjukkan adanya progresifitas instinbath serta kedinamisan penggalian hukum Islam, dan dimana adanya keputusan hukum itu berbanding lurus dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan pengaruhnya di tengah masyarakat.

Perilaku manusia dalam konteks ibadah baik madhah maupun yang bersifat amal sosial membutuhkan jawaban hukum. Imam Nawawi dalam kitabnya: al-Majmu Syarh al-Mahadzab menyatakan bahwa adanya mufti dalam sebuah lingkup komunal adalah fardhu kifâyah yang memiliki arti apabila dalam ruang dan waktu tertentu dalam suatu wilayah geografis tidak terdapat satupun orang yang dapat berfatwa dalam hukum agama, maka masyarakat tersebut akan terkena (terbilang) dosa, karena sudah masuk kategori maksiat.

Hal tersebut menjadi cerminan tentang urgensi akan keberadaan mufti dalam sebuah wilayah. Bila terdapat keharusan kehadiran mufti dalam kurun waktu tertentu maka bila terjadi kekosongan slot mufti maka konsekuensi secara hukum masyarakat tersebut akan berdosa, mengapa? Karena persoalan hukum dalam ibadah, aqidah dan muamalah, memerlukan ketegasan yang menjembatani perasaan galau dan kebingungan (mutakhayyirât) umat dalam status hukum persoalan yang di temuinya, dalam arti apakah ini termasuk dalam kategori halal, haram, makruh, sunnah dan ataukah hukumnya mubah, yang termasuk dalam ranah bahasan dan cakupan hukum taklîfi.

Dalam beberapa kasus fiqh kontemporer, memproduksi putusan hukum (fatwa) terkait kasus tertentu, melakukan ijtihad jama’i adalah solusi dengan konten lebih sustainable, focus dan lebih teliti, karena melibatkan berbagai pihak dengan kepakaran masing-masing yang berhubungan dengan obyek ijtihad terlebih dalam era modernitas. Sebagai contoh dalam masalah medis mutakhir melibatkan ahli kedokteran, hubungan sosial melibatkan pakar social dan dalam ekonomi syariah seperti dalam meluncurkan reksadana syariah atau obligasi syariah, tentu ini akan melibatkan para pelaku syariah dan ekonom serta praktisi dalam bidang perbankan.

Maqashid Syari’ah

Maqâshid adalah jamak dari yang berasal dari fi’il ??? yang berarti mendatangkan sesuatu, tuntutan, kesengajaan dan tujuan. Syari'ah menurut bahasa berarti jalan menuju sumber air yang dapat pula diartikan sebagai jalan ke arah sumber pokok keadilan. Menurut definisi yang diberikan oleh para ahli, syariat adalah segala kitab Allah yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur sendiri. Dengan demikian, syariat itu adalah nama bagi hukum hukum yang bersifat amaliyah.

Dalam konteks terminologis, para ulama mendefinisikan maqâshid syariah adalah tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan, dan mubah yang diarahkan untuk individu, keluarga, jamaah masyarakat dan umat. Namun dalam merealisasikan maqashid tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengelompokkan tingkatan maqashid-nya, sebab tidak semua maqashid setingkat dan sederajat. Ada tiga tingkatan maqashid yaitu dharuriyyah/primer, hajiyyat/sekunder, dan tahsiniyat/tersier.

Pertama, kebutuhan yang bersifat dharuriyat (primer), yaitu segala hal yang menjadi sendi pokok (utama) eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Hal ini dapat disimpulkan kepada lima sendi utama kehidupan manusia yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Kedua, kebutuhan hâjiyyat (sekunder) yaitu segala sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala ke-madhârat-an hidup. Artinya, ketiadaan aspek hâjiyat tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.

Ketiga, kebutuhan tahsîniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukârim al-Akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah dan muamalah. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam  kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dlarûriyyat dan juga tidak membawakesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hâjiyyat. Namun, ketiadaan aspek ini akan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat dan adat kebiasaan, menyalahi kepatuhan, dan menurunkan martabat pribadi dan masyarakat.

Contoh fatwa yang berkaitan dengan Maqashid syariah

a. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Menyikapi kian masifnya pandemi virus corona MUI mengeluarkan surat edaran Komisi Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Fatwa tersebut mendapat sambutan yang beragam di masyarakat, ada yang menyambut baik dan ada pula kelompok yang menolak, bahkan terkesan menantang.

Ada dua poin utama yang mendapat sorotan dari masyarakat, yaitu pembatasan Salat Jumat dan salat berjamaah di masjid.

Fatwa MUI pada poin pertama sangat gamblang menyebutkan pertimbangan maqashid al-syariah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana operasionalnya ibadah dalam keadaan pandemi corona saat ini?

Sebelum keluarnya fatwa MUI, media sosial dihebohkan dengan foto dan video orang yang salat berjamaah di masjid yang cukup renggang. Respons di netizen pun meragam, ada yang membenarkan, ada pula yang mencaci maki, bahkan mengaitkan dengan aliran sesat. Namun, bila ini ditinjau dari sisi Maqashid al-Syariah maka sudah sangat jelas bahwa shaf seperti itu boleh dengan pertimbangan bahwa menjaga agama dengan salat berjamaah yang sunah masuk dalam tingkatan tahsiniyyat/tersier, sedangkan menjaga jiwa untuk terhindar dari penyebaran virus corona yang mematikan masuk dalam tingkatan dharuriyyah/primer. Jangankan format shaf, larangan salat berjamaah di masjid saja sudah bisa ditetapkan bila dalam keadaan seperti ini.

Begitu halnya dengan Salat Jumat; posisi Salat jumat memang wajib bagi muslim laki-laki, tetapi ada uzur yang dapat memperbolehkan untuk ditinggalkan --rukhsah atau keringanan-- tidak melaksanakannya. Sehingga Salat Jumat dalam hal ini masuk dalam ketegori hajiyyat/sekunder; kewajibannya tidak sekuat dengan salat fardhu yang masuk kategori dharuriyyat/primer, sedangkan potensi penularan Covid-19 sangat besar karena terjadi perkumpulan jamaah yang besar yang bila tertular dapat mengancam jiwa, sehingga bila dilihat dari skala prioritas sudah sangat jelas bahwa kategori dharuriyyah diprioritaskan dari kategori hajiyyat/sekunder.

b. Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU

1. Mashlahah yang hendak diwujudkan dalam ibadah, seperti wudhu’, tayamum, mandi wajib dan sunah, shalat wajib dan shalat sunah, zakat, puasa wajib dan sunah, haji, umrah, kurban, akikah, sedekah wakaf dan sebagainya. Dengan meyakini bahwa seluruh bentuk ibadah itu akan menghasilkan mashlahah untuk mukallaf, khususnya untuk kehidupan ukhrawi.

2. Mashlahah yang hendak dicapai dalam melangsungkan perkawinan, seperti perlunya memilih pasangan suami istri yang memiliki agama yang kuat, boleh memandang calon suami/istri sebelum dipinang, adanya wali dalam pernikahan, kewajiban mahar, naflkah, talak, ruju’ dan sebagainya. Kemudian larangan dalam perkawinan untuk mencapai mashlahah seperti larangan nikah syighar, nikah tahlil, nikah mut’ah. Semua itu sangat betrhubungan dengan kemashlahatan manusia dibidang an-Nasb.

3. Maslahah yang hendak diwujudkan dalam hubungan harta benda antar sesame manusia, seperti perintah untuk melakukan pencatatan terhadap transaksi hutang piutang, kebolehan jual beli dan larangan riba, bolehnya sewa menyewa, syirkah (kerja sama) dan sebagainya.

4. Mashlahah yang hendak diwujudkan dalam persoalan pembagian warisan, misalnya mashlahah menetapkan bagian-bagian tertentu bagi ahli warits, mashlaha bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, kemudian larangan memberikan waritsan bagi sepembunuh, kafir (non muslim) dan sebagainya.

5. Mashlahah yang hendak diwujudkan dalam menetapkan hukum pidan Islam seperti mashlahah pada hukuman Qishash, hukum potong tangan bagi sipencuri, hukuman dera atau rajam pada pezina, qhazaf, bughat (pemberontak), peminum khamar dan sebagainya.

6. Mashlahah yang hendak diwujudkan dalam aturan-aturan syari’at berkenaan dengan pengelolaan negara (siyasah) seperti, mashlahah pada ketentuan syura dalam memilih pemimpin, kewajiban memilih pemimpin,adanya ketentuan suku Quraisy yang boleh jadi kahlifah, larangan memberontak pada pemerintahan yang sah, larangan mengangkat pemimpin kafir dan sebagainya.

c. Majelis Tarjih Muhammadiyah

Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang haramnya mencari penghasilan dari game online didasarkan pada dua hal;

1. Penghasilan dari game online tersebut menyalahi sunnatullah dalam mencari rezeki, yaitu dengan melakukan kerja keras serta upaya sekuat tenaga. Game hanya bisa menjanjikan kebetulan dan angan-angan kosong belaka, bukan kesungguhan dan kerja keras.

2. Islam mensyaratkan bahwa seseorang bisa mendapatkan rizki dengan transaksi legal yang melibatkan dua belah pihak atau lebih. Prinsip ini tidak terdapat dalam game online.

Istinbath hukum fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang hukum mencari pengahasilan dari game online adalah berdasarkan QS. al Maidah ayat 90. Istinbath tersebut dikalangan Majelis tarjih Muhammadiyah dikenal dengan ijtihad qiyasi, yaitu mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung baik dalam al Qur’an maupun hadits. Dalam hal ini, tidak ada nash yang secara langsung menjelaskan tentang game online, akan tetapi unsur perjuadian yang terdapat dalam game online yang menjadi titik poin (‘illat) untuk menentukan hukumnya.

d. Dewan Hisbah Persis

Dalam menetapkan hukum, terdapat beberapa putusan Dewan Hisbah yang sebenarnya mirip dengan putusan pada majlis fatwa pada organisasi Islam lainnya, sehingga bisa di pastikan juga menyerap aspek maqâshid syariah . Konsep istidlâl yang digunakan pada manhaj PERSIS adalah cendrung murni mendasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah yang maqbûlah , yaitu dengan mengesampingkan penggunaan ijma ' dan qiyas serta penafsiran- penafsiran dengan metode dan atau manhaj istinbâth hukum sebagaimana yang dilakukan salâfus shâlih dan fuqaha mujtahidin.

Keputusan hukum Dewan Hisbah PERSIS berbanding lurus adanya dengan konteks tujuan syariah, yaitu:

(1) Hifdz ad Dîn melalui fatwa tentang akidah-ibadah;

(2) Hifdz an Nafs melalui fatwa tentang pengurusan jenazah, penderita AIDS agar tidak menular dan tentang aborsi;

(3) Hifdz an Nasl melalui fatwa tentang nikah mut’ah,

(4) Hifz al aql melalui fatwa tentang berobat, menjual dan meminum arak,

(5) Hifz al mal melalui fatwa tentang zakat orang yang memiliki hutang. Dalam hal ini, tentunya masih banyak fatwa Dewan Hisbah PERSIS yang menyerap maqashid syariah untuk menetapkan hukum terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat.

Fatwa-fatwa yang telah disebutkan diatas sudah sangat gamblang dan jelas mengenai keterkaitannya dengan maqashid syariah. Oleh kerena itu penulis sangat berharap artikel ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Baca Juga