PELALAWAN, RIAUBERNAS.COM Balimau Kasai merupakan hari yang penting dalam kehidupan masyarakat Melayu Kampar dalam menyambut bulan suci Ramadan, karena pada hari itu masyarakat melakukan tradisi mengantarkan Limau dan Kasai ke rumah sanak keluarga sambil bersilaturrahim dan nantinya Limau dan Kasai ini digunakan untuk mandi sebagai bentuk penyucian fisik.
Balimau Kasai sendiri sebuah aktivitas membersihkan diri dengan jeruk dan wewangian yang diberi nama kasai. Kegiatan seperti ini di daerah Riau lainnya dikenal dengan istilah Petang Megang atau Potang Mogang yang semuanya merujuk pada hal yang sama dengan Balimau Kasai. Dalam bahasa Melayu Kampar, balimau berarti mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk atau limau. Sedangkan kasai berarti wangi-wangian yang biasanya dipakai masyarakat setempat untuk keramas.
Tradisi Balimau Kasai sarat dengan nilai-nilai religius baik eksoteris maupun esoteris. Dalam tradisi mandi balimau, setidaknya ada tiga esensi nilai yang terkandung dalam tradisi Balimau Kasai.
Pertama, menyucikan diri sebagai manifestasi taubat. Balimau Kasai adalah bentuk lahiriah dari membersihkan diri dari kotoran jasmani. Kata balimau sendiri penekanan maknanya menunjukkan bahwa mandi yang benar-benar bersih. Kotoran yang melekat di badan hanya bisa dibersihkan dengan limau (jeruk). Limau lah alat pembersih badan pada zamannya yang ampuh membersihkan semua jenis kotoran fisik.
Penggunaan kata balimau juga mengandung makna esoteris artinya membersihkan batiniah dan sejatinya makna inilah yang dikehendaki oleh Balimau Kasai. Oleh karena itu mandi balimau adalah sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat untuk membersihkan jasmani dan rohani. Tradisi ini kemudian dikaitkan dengan ajaran agama Islam, yakni sebagai simbol benar-benar membersihkan diri lahir dan batin menjelang melaksanakan ibadah puasa.
Tradisi ini sarat dengan nilai-nilai filosofis karena di daerah ini berlaku Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Kitabullah. Sebagai sebuah tradisi yang berkembang dalam masyarakat muslim jelas tradisi ini merujuk pada nilai-nilai Islam dalam menyambut bulan suci Ramadan. Rasulullah bersabda: "Merugilah seseorang yang bulan Ramadan datang kepadanya kemudian pergi sebelum ia mendapat ampunan". Artinya mandi Balimau Kasai merefleksikan upaya makhluk untuk membersihkan diri untuk mendapatkan ampunan dari Allah, dalam bahasa agama disebut tazkiyatun nafs.
Kedua, menjalin silaturrahim. Dalam tradisi masyarakat Melayu Kampar mandi Balimau Kasai didahului oleh serangkaian kegiatan. Di antaranya pada 30 Syakban masyarakat memasak makanan tertentu seperti lemang, rendang dan kue. Hal ini dilakukan bersama-sama di belakang rumah yang memiliki area yang luas. Makanan-makanan ini dimasukkan dalam tempat khusus yang di sebut rantang. Selanjutnya dibawa ke rumah sanak keluarga. Dalam kegiatan inilah ranah untuk merajut tali silaturrahim, tempat meminta maaf atau saling memaafkan.
Momentum Balimau Kasai dilihat sebagai tempat yang baik untuk mengungkai benang yang kusut atau menjernihkan yang keruh. Silaturrahim yang putus bisa dijalin kembali. Sehingga memasuki bulan puasa tak ada lagi selang sengketa antara mamak dan kemenakan, antara suami dan isteri, antara anak dengan orang tua serta sesama anggota masyarakat. Nilai-nilai ini mendapat pijakan dalam Islam. Islam memerintahkan untuk membangun silaturrahim dengan baik. Bahkan dalam hadis Rasulullah diungkapkan bahwa Allah tidak akan menerima ibadah puasa seseorang takkala hubungan silaturrahim tidak baik. Sejatinya makna Balimau Kasai sejalan dengan anjuran Islam dalam kaitan menjalin silaturrahim.
Ketiga, suka cita dalam menyambut Ramadan. Makna ini disimbolkan dengan memasak makanan khusus yang tidak dimasak pada hari lain. Selanjutnya makanan tersebut bersama limau kasai dibawa ketika berkunjung ke rumah sanak keluarga, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat lainnya. Aktivitas ini begitu terasa dalam masyarakat tempo dulu. Ramadan dirasa benar-benar tamu agung sehingga penyambutannnya dilakukan dengan perlakuan istimewa. Suasana batin masyarakat tergambar dari kegembiraannya dalam menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Perasaan suka cita dalam menyambut bulan suci Ramadan juga selaras dengan nilai-nilai Islam. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Barangsiapa yang senang dengan datangnya bulan Ramadan (karena iman dan Allah), maka diharamkan jasadnya masuk ke dalam api neraka”.
Sebagai adat dan tradisi, mandi Balimau kasai tersebut bukanlah termasuk sunnah rosulullah melainkan hanya sebagai tradisi semata yang memiliki nilai filosofis yang tinggi bagi masyarakat Pelalawan dan sekitarnya. Selain momen membersihkan diri secara zahir, mandi Balimau Kasai juga merupakan momentum untuk menjalin silaturrahmi dan acara saling maaf memaafkan dalam rangka menyambut tamu agung yaitu Syahru Ramadan Syahrus Siyam, jadi bukanlah sebuah keyakian yang memiliki dalil naqli secara qat’i. tapi ini lebih kepada sebuah adat yang bersendikan syara’ (Syariat Islam) syara’ bersandikan Kitabullah yang secara filosifisnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Hal ini juga dibenarkan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pelalawan, H Iswadi M Yazid Lc, beberapa waktu lalu. Menurutnya, bahwa tradisi mandi balimau yang selalu rutin digelar daerah ini jelang bulan ramadhan perlu disikapi secara arif. Pasalnya, sebagai sebuah tradisi, mandi balimau tak ada dalam ajaran Islam namun bukan berarti hal tersebut tak diperbolehkan.
"Yang penting sepanjang hal tersebut tak bertentangan dengan ajaran Islam dan sesuai dengan syara', tak jadi masalah," tandasnya.
Namun yang harus diperhatikan adalah jangan sampai mandi balimau malah berubah menjadi ajang hura-hura, sehingga esensi atau makna dari mandi balimau itu sendiri menjadi hilang. Dengan kata lain, tujuan dari mandi balimau yakni sebagai bentuk syukur atas kedatangan ramadhan alangkah lebih baik jika diisi dengan acara tausiah atau hal-hal yang berbai keagamaan.
"Kita jelas tak ingin adat dan tradisi yang berpuluh-puluh tahun dipelihara itu, rusak dengan tujuan yang berbeda dari semula. Misalnya, mandi balimau diisi diiringi dengan acara musik organ atau semacamnya, atau mandi balimau namun mandinya malah bercampur antara laki-laki dan perempuan. Kalau seperti inikan jadi mudharat nantinya dan makna mandi balimau sendiri jadi hilang," ujarnya.
Hal yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Ketua Majelis Dakwah Islam (MDI) Pelalawan, Dr H Edi Iskandar, belum lama ini. Menurutnya, tradisi balimau perlu dipertahankan karena hal ini dapat mempererat tali silaturahmi serta mempererat hubungan pemerintah dengan masyarakat karena kegiatan ini bisa dijadikan reuni akbar tahunan.
"Artinya, kegiatan ini kita nilai positif selama tidak melanggar aturan syara' di dalamnya. Jadi lebih baik jika kegiatan ini diselingi tausiah penyejuk rohani," katanya.
Lebih tegas mengenai hal ini disampaikan oleh Ketua Lembaga Adat Melayu Kabupaten Pelalawan HT Edi Sabli pada media ini, kemarin. Menurutnya, acara balimau sultan ini merupakan tradisi turun yang sampai saat ini terus berjalan. Dan tentunya, sebagai sebuah tradisi adat yang mesti dilestarikan, ini berguna mengingat sejarah panjang tentang kerajaan Pelalawan.
"Saya berharap tradisi ini bisa dijadikan sebuah wisata budaya Kabupaten Pelalawan. Apalagi saat ini Pemerintah Kabupaten Pelalawan telah membangun kembali istana sayap bekas peninggalan kerajaan Pelalawan. Dengan adanya ikon istana sayap kerajaan Pelalawan, ini bisa menjadi sebuah wisata budaya," ujarnya.
Sementara, Bupati Pelalawan selaku Datuk Setia Amanah Payung Panji Adat HM Harris mengatakan, banyak potensi yang bisa digali di Kabupaten Pelalawan. Karena itu, dirinya menginginkan agar masyarakat benar-benar untuk mau merubah mindset atau pola pikirnya.
"Sudah saatnya sekarang kita harus bersama-sama membangun daerah ini. Apalagi, di tahun 2025 bangsa Indonesia menargetkan untuk berada dalam 12 besar dunia. Karena itulah, ketujuh program prioritas Pemkab Pelalawan lebih pada menitikberatkan pada Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini agar kita tidak hanya sekedar menjadi penonton di daerah sendiri," katanya.
Acara Balimau Sultan ini, kata Harris, adalah bentuk perwujudan untuk melestarikan adat dan tradisi di daerah ini. Dengan begitu, saat berhadapan dengan budaya atau adat luar, maka adat di daerah tidak serta merta ditinggalkan. Sebagai sebuah ritual adat dan tradisi yang digelar jelang bulan ramadhan, mandi balimau merupakan sebuah pemandangan yang sempurna dalam menyambut Ramadan yang penuh berkah. Sebuah tradisi kultural yang sarat dengan nilai-nilai spiritual dan menjadikan masyarakat memandang Ramadan benar-benar membawa berkah.
Namun seiring bertambahnya zaman, perlu diwaspadai agar nilai-nilai positif yang terkandung dalam ritual mandi balimau jangan sampai tergerus zaman dan kemudian mulai tergantikan nilai-nilai kapitalistik dan materialistik. Sehingga berujung lahirnya budaya permisif yang membuat kabur dan tercampurnya laku baik dan buruk. Seperti muda-mudi yang tanpa segan silu berboncengan sambil berpelukan di khalayak ramai, kemudian mandi bersama-sama di hari Petang Megang. Alhasil Ramadan yang baik dan pernuh berkah disambut dengan laku yang menjauhkan kita dari esensi Ramadhan. (*)
Editor : Andy Indrayanto