Jambi Dalam Bayang Bayang Rasuah, Berkaca Pada Pengalaman Terdahulu dan Pesan Moral Dari Riau

Awal pekan menjemput, Senin (3/11/2025) Gubernur Riau Abdul Wahid membuka lembaran hari baru dengan jiwa yang bergelora, membakar semangat dalam setiap relung hati. Setiap langkahnya perwujudan dari tekadnya yang membara, membangun kembali peradaban Melayu yang pernah jaya.

Wahid masih berdiri di panggung yang sama, mengenakan jubah tanggung jawab yang berat. Ia masih tampak bugar dan bersemangat memimpin apel penyegaran aparatur sipil Satuan Polisi Pamong Praja di Lapangan Helipad rumah dinasnya, bahkan orang nomor satu di Riau ini memberikan petuah penting kepada para aparat penegak Perda ini untuk menjadi teladan dan garda depan dalam menegakkan aturan di lingkungan pemerintahan. Ia juga menekankan pentingkannya tindakan tegas, beretika, dan menjaga marwah daerah, namun dalam tetap dilakukan secara santun dengan nilai nilai kemanusiaan.

Sayangnya beberapa pekan yang lalu Orang nomor satu di Riau ini tersandung langkahnya dan terjatuh dalam cahaya terang yang meredupan hingga gelap gulita, sang Ulama panutan umat Ustadz Abdul somad juga salah satu orang yang berada di garda terdepan dalam memperjuangkan Abdul Wahid hingga ke puncak tertinggi di Riau, mungkin rasa kecewa juga terselip dalam lubuk hati terdalam UAS,

Tentang yang ramai ramai saat ini dengan kode "7 Batang"

Itu sedikit cerita kisah di bumi bertuah Riau.

Lalu mari kita mengingat Kembali kisah kisah para pemimpin pemimpin jambi pada masanya dulu, waktu itu ada kalanya sebuah palu tidak hanya sebagai ketokan aja namun memutuskan angka dalam anggaran, tetapi juga mengetuk nurani manusia yang telah lama beristirahat dan tertidur. Di sebuah Gedung yang dindingnya berdiri dengan megah, gedung yang seharusnya menjadi rumah bagi suara rakyat, rumah yang mewakili rakyat, rumah yang menjadi mihrab tempat para wakil beribadah dengan kejujuran dan amanah gema palu itu berubah menjadi simbol kesepakatan yang dibeli dengan harga rupiah, bukan dengan harga moral.

Kasus suap “ketok palu” di Jambi adalah cermin buram dari wajah politik kita. Di balik tumpukan berkas RAPBD dan rapat-rapat formal, ternyata ada tarian tarian sunyi antara kepentingan pribadi dan kekuasaan. Palu yang seharusnya menjadi lambang keadilan kala itu terdengar seperti dentingan koin yang nyaring, namun hampa makna.

Uang miliaran mengalir seolah menjadi pelumas bagi mesin birokrasi yang macet oleh kepentingan. Sejumlah anggota DPRD yang seharusnya menjadi penjaga aspirasi rakyat, justru larut dalam permainan angka dan amplop. Dari tangan ke tangan, dari meja ke meja, uang itu berjalan pelan tapi pasti menumbuhkan benih-benih kebusukan di tanah yang mestinya subur oleh kejujuran. Ironinya, sebagian yang terjerat bukan orang asing di lingkar kekuasaan. Ada nama-nama yang dulu dielu-elukan rakyat, ada sosok yang seharusnya menjadi teladan. Namun sejarah sudah mencatat, bahkan di ruang dingin ber AC diantara kursi empuk yang berputar dan senyum politik, selalu ada ruang bagi kegelapan.

KPK telah bekerja, hukum pun berjalan. Uang Rp 31,8 miliar disita tapi siapa yang bisa menghitung berapa besar nilai kepercayaan publik yang telah hilang Sebab uang bisa kembali, tapi nurani yang retak tak mudah disatukan lagi. Mungkin sudah saatnya kita bertanya berapa harga sebuah ketukan palu, Apakah hanya sebatas dua ratus juta Atau lebih mahal dari itu harga kehormatan, harga nama baik, harga negeri yang perlahan kehilangan arah, negeri yang terkenal subur bumi melayu sepucuk jambi Sembilan lurah yang membentang dari debur ombar tanjung jabung hingga ke gunung sakti yang menjulang tinggi, negeri ini sungguh subur orang orangnya penuh dengan keramahaan, masyarakat menitipkan Amanah dengan penuh kepercayaan dan rasa harap dari bilik bilik pemilihan. namun, kepercayaan kepercayaan itu seolah dikhianati. Amanah yang seharusnya dijaga dan diperjuangkan berubah menjadi permainan kepentingan. Di balik janji-janji yang dulu lantang diucapkan, rakyat hanya bisa menatap getir ketika suara mereka ditukar dengan kepentingan pribadi. Gedung yang seharusnya menjadi rumah aspirasi, terasa asing tempat di mana nurani sering kalah oleh nafsu kekuasaan.

Palu itu telah diketukkan. Bukan hanya di ruang sidang DPRD, tapi juga di ruang hati setiap kita. Apakah kita masih mampu mendengar gema nurani yang tertinggal di balik suara logam yang dingin itu***

Baca Juga