Jika kita mengacu pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia, serta berdasar geografis, kultur dan tradisi yang terbangun sejak berabad-abad yang lalu sebelum kita bernama Indonesia, maka akan dapat tergambarkan dengan jelas bahwa kekayaan bangsa ini sesungguhnya bukanlah sektor pertambangan tetapi adalah keberadaan hutan alam yang bagai hamparan permadani di gugusan pulau kepulauan Indonesia. Sumber kekayaan abadi lainnya adalah hamparan laut dan sungai yang meliuk-liuk di celah-celah belantara.
Klaim ini bukan tidak berdasar dan bukan pula bearti kita tidak memiliki sumber sumber kekayaan lainnya seperti sektor pertambangan. Tetapi sejarah membuktikan bahwa sektor tambang sebelum kemerdekaan belum pernah jadi pilihan utama dalam menunjang keberlangsungan kehidupan masyarakat kita. Pada sisi lain, material tambang seberapa besarpun cadangannya, dia berpotensi untuk habis. Sedangkan kawasan hutan dia memiliki kemampuan untuk memulihkan diri sendiri.
Sebagai contoh, dulu kita termasuk dalam jajaran negara penghasil minyak tetapi sekarang kita sudah menjadi importer. Dulu Pulau Dabuk Singkep salah satu wilayah kepulauan di Kepulauan Riau sebagai daerah pertrodolar karna hasil tambang timahnya yang menyaingi Bangka Belitung, sekarang daerah ini tergolong kawasan miskin dengan menyisakan lobang-lobang bekas tambang yang menganga.
Hutan sesungguhnya adalah cadangan logistik terhebat yang tidak akan pernah habis jika pengelolaanya dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Hutan adalah lumbung dan sumber dasar bagi berbagai kebutuhan di negeri ini, yang mampu menjadi tonggak kesejahteraan, tanpa perlu melakukan penanaman, perawatan.
Hutan kalau boleh di ungkap sudah ditanamkan Tuhan, sudah dirawat, sudah dipupuk melalui siklus alam dan kawasan tropis yang kita miliki. Masyarakat Indonesia tidak perlu memilih bibit, nenentukan musim tanam sebab alam sudah mengatur itu semua. Alam begitu lihai dan profesional sehingga bukan saja mampu menghidupkan ratusan jenis tanaman, tetapi juga menentukan kawasan, sehingga pegetasi tertentu hanya di tanam di areal tertentu pula. Alam misalnya, tidak membiarkan pohon kulim tumbuh di gambut, tetapi ditempatkan dikawasan yang bermineral. Hutan juga menjadi rumah bagi berribu jenis hewan sebagai sumber pangan dan protein lainnya bagi masyarakat.
Pada kenyataannya lain, karena hutan alam dengan segala potensinyalah sebagai salah satu penyebab terdepan kawasan ini menjadi ladang perburuan bangsa-bangsa eropa sejak abad ke 15 lalu. Hutan dengan segala potensinya bagai lambaian sang penyihir sehingga menyebabkan bangsa eropa berlayar beribu mil untuk mendatanginya. Hutan alam telah menggoda hingga para pelaut dan pedagang eropa bertaruh nyawa untuk mendapatkannya.
Pada kenyataanya mereka benar, VOC sebuah serikat dagang yang dibentuk awal abad 16 oleh Belanda menjadi kaya raya dengan kekayaan mencapai 100 ribu trilyun pada puncak kejayaanya adalah bersumber dari hampir 80 persen dari potensi hutan alam negeri ini yang mereka perdagangkan. Ada ratusan jenis komoditas bahkan mungkin ribuan komoditas dari hasil hutan alam yang dapat dijadikan komoditas bisnis dan usaha, mulai dari bahan terbuat dari kayu, rempah-rempah, obat-obatan, pangan, pakaian, perhiasan, peralatan kelengkapan kebutuhan hidup lainnya.
Yang menariknya, karena dimuka bumi ini, kawasan yang menghasilkan hutan hujan sangat terbatas, yaitu hanya 10 persen, maka sudah tentu komoditas hasil hutan alam selalu terbuka lebar pasarnya. Barangkali tidak heran jika banyak bangsa dimuka bumi ini merasa iri terhadap potensi yang kita punya.
Tindakan Membakar Lumbung
Meskipun mungkin seluruh bangsa dimuka bumi ini mengetahui bahwa hutan alam Indonesia adalah lumbung terhebat dan gudang pasokan dengan kekayaan yang tidak ternilai, warisan yang tidak bakalan habis meskipun seratus turunan, tetapi tidak dengan bangsa ini sendiri. Bangsa ini tidak sempat berpikir dan mempertimbangkan dengan baik sehingga secara semberono hanya dalam 30 tahun kita berhasil menghancurkan hutan alam berpuluh-puluh juta hektar yang merupakan lumbung dan gudang cadangan kemakmuran yang tidak tertanding itu.
Kita seakan merasa tidak bersalah atas tindakan gegabah yang jika kita hitung secara seksama telah menyebabkan kehilangan dan kerugian puluhan bahkan ratusan ribu trilyun.
Ada begitu banyak pohon penghasilan pangan, penghasil obat-obatan dan keperluan manusia lainnya yang habis. Ada puluhan ribu sumber pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat yang hilang, dan ada penutupan peluang kesejahteraan bagi puluhan juta masyarakat yang dapat bekerja dan berproduksi secara mandiri.
Karena itu, jika kita intropeksi lebih seksama dan mengacu pada jejak sejarah maka terasa bahwa pembabatan hutan secara besar-besaran yang terjadi secara membabi buta adalah sebuah tragedi penghancuran sumber-sumber kehidupan terbesar di muka bumi. Tindakan ini adalah tindakan yang paling tidak mensyukuri anugrah tuhan yang begitu besar bagi bangsa ini. Suatu tindakan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang luar biasa.
Yang lebih parahnya lagi kalau hanya sebatas penebangan, pengambilan hasilnya, sebenarnya tidak terlalu masalah apa lagi cara-cara pengambilan diatur sedemikian rupa, sebab alam kita masih mampu menumbuhkan kembali tanaman yang ada. Bahkan jika ukuran pohon dan batasan pengambilan pohon lainnya di atur maka selagi ada bumi hutan dengan segala potensinya akan tetap mampu memenuhi dan menjadi tulang punggung bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Namun sayangnya, penggarapan hutan yang terjadi bukan sekedar menebang pohon, tetapi membunuh seluruh pohon tanpa tersisa sebatang pohon pun lalu menggantinya dengan tanaman yang lain. Hal itu diperparah lagi ketika kawasan hutan yang oleh masyarakat pedesaan hanya diketahui sebagai hak negara, sehingga masyarakat memanfaatkan hasilnya secara komunal dengan kearifan, lalu oleh negara dikapliing-kapling untuk diserahkan pemanfaatan hasilnya bagi perusahaan.
Tindakan ini seakan pencabutan secara permanen terhadap peluang bagi perekononian dan kesejahteraan rakyat dan pembunuhan terhadap kekayaan budaya, tradisi dan keahlian yang dimiliki dan diwarisi selama berabad-abad bagi rakyat terutama mereka yang tinggal di pedesaan sekitar hutan baik di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi maupun pulau pulau lainnya.
Pemberian berpuluh-puluh juta hektare areal hutan kepada segilintir orang atas nama korporat telah melahirkan kesenjangan kehidupan yang begitu jauh soal ekonomi di tengah masyarakat. Hari demi hari masyarakat desa terus terdesak dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keahlian mereka dalam meramu dan memanfaatkan hasil hutan menjadi tidak berguna sama sekali. Masyarakat pedesaan dipaksa mengubah propesi, mengubah cara hidup yang sebelumnya tidak pernah mereka pikirkan.
Keahlian dalam mengolah hasil hutan, memanfaatkan sungai-sungai untuk sumber kehidupan tiba-tiba dianggap ketinggalan dan tidak berguna, perlahan tapi pasti mereka dari waktu ke waktu terus dijauhkan dari hutan, dijauhkan dari sumber sumber kehidupan mereka.
Cara-cara tradisi yang arif dalam penggarapan dan pemanfaatan alam sekitarnya terus di larang, diawasi, dan hingga kini sudah tidak sedikit masyarakat kita bukan hanya di kota tetapi juga di desa yang mulai alergi dengan hutan. Mulai aneh mendengar hutan, mulai bingung kalau dikatakan hutan adalah sumber kesejahteraan.
Hari ini kerinduan dalam pilihan untuk penunjang kehidupan dikalangan orang tua dan generasi muda justru bergeser dari masyarakat yang berproduksi secara mandiri kepada masyarakat buruh dan pemakan gaji.
Barangkali ada baiknya bangsa ini melakukan restorasi bagi upaya pensejahteraan masyarakat. Kita hanya perlu mengkaji ulang sambil melihat berbagai pertimbangan yang lebih holistik agar muara kebijakan tidak menjadi kamuflase. Kita merasa seolah olah maju, berkembang, tetapi yang sesungguhnya jangan-jangan kita sedang berjalan menuju jurang dan melahirkan kemiskinan absolut.
Kita mengejar pertumbuhan, tetapi mengenyampingkan pemerataan, kita mengejar penyerapan tenaga kerja, tetapi tanpa kita sadari kita sedang menggiring pada gerakan propesi perburuhan nasional, sedangkan seluruh potensi yang berpeluang untuk mensejahterakan masyarakat kita secara mandiri berorientasi pada sektor produksi kita serahkan kepada segilintir orang, Patutkah itu? ***
Oleh Fahrullazi, Sekretaris Pusat Kajian Ketahanan Pangan dan Masyarakat (PK2PM)