Berjiwa Besar Terima Kekalahan

int.

Ahad pagi. Matahari beranjak meninggi, perlahan namun pasti. Hangatnya menyapa seluruh alam, tanpa terkecuali. Hangatnya juga menularkan semangatkepada setiap mahluk untuk melakukan akitvitas yang sudah ditentukan. Ayam berkokok, burung-burung dan kupu-kupu berterbangan. Kerbau dan kambing berjalan ke ladang, tentu didampingi oleh pengembala, dan seterusnya.
 
Hangat matahari juga menjadi semangat bagi insan di muka bumi untuk terus bergerak, beraktivitas.  Tidak terkecuali dengan Ahmad Jalu, remaja belasan tahun itu yang sudah siap dengan pakaian rapi.
 
"Kamu mau pergi, Nak?" tanya Abah Leman.

"Iya, Bah.  Mau ketemu kepala sekolah," katanya.

"Tapi ini kan hari Ahad, waktunya libur?" Abah Leman penasaran.

"Ada masalah, Bah. Beberapa teman tidak terima dengan hasil pemilihan ketua OSIS di sekolah kami, minggu lalu. Kami mau protes. Kalau perlu kami minta kepala sekolah tidak melantiknya,” tandas Ahmad Jalu, berapi-api.

Abah Leman tersenyum mendengarnya. Ia sangat paham dengan tingkat emosi, Ahmad Jalu, anak remaja yang sedang berkembang. “Duduklah sebentar!”
pintanya.

Anak muda itu pun menempelkan pantatnya di lantai teras mushola. Wajahnya tampak resah. Matanya berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.

"Mengapa kamu mau protes ke kepala sekolah?"

"Ketua OSIS yang sekarang tidak legitimasi, Bah! Beberapa panitia bertindak curang dengan surat suara," tegasnya.

"Kamu yakin? Punya bukti?" cecar Abah Leman.

"Hmmm... tidak punya. Tapi feeling saya begitu!” ujarnya.

"Kalau sekedar feeling, berarti itu kira-kira, tidak kuat. Itu sudah termasuk prasangka."

"Tapi, banyak teman-teman yang bilang pemilihannya curang...!"

Abah Leman ikut duduk di hadapan anak remaja itu. Ia duduk bersila sambil tetap memasang wajah yang tenang. "Nak, hidup memang penuh persaingan. Tanpa persaingan, kita tidak akan mengenal semangat, usaha, dan perjuangan. Dengan adanya persaingan maka kita mengenal istilah kemenangan dan kekalahan. Pemilihan Ketua OSIS di sekolah kamu, adalah contoh kecil di lingkungan sekolah sekaligus pelajaran tentang persaingan. Di masyarakat, kamu bisa lihat persaingan yang lebih sengit. Orang-orang dewasa berebut jabatan, baik jabatan di pemerintahan atau jabatan di perusahaan.”

"Begitu, ya, Bah?" Ahmad Jalu mulai tertarik.

"Kamu bisa lihat di berita TV, di internet atau di koran-koran. Banyak orang tiba-tiba stress, mengamuk, karena berebut jabatan. Gagal jadi anggota dewan legislatif, stress dan dirawat di rumah sakit. Gagal jadi pejabat, mengamuk. Tidak hanya sampai di situ, ia menghasut pengikutnya membuat onar dan bertindak makar.  Banyak deh, contoh lainnya."
 
"Semua itu karena ingin jabatan ya, Bah?"

Abah mengangguk. "Semua itu karena mereka tidak tahu yang namanya istilah kekalahan. Mereka hanya tahu kemenangan," tukas Abah Leman. Kaki Ahmad Jalu mulai dinaikkan ke teras mushola, pertanda ia ingin mengetahui lebih dalam tentang yang dibahas.

"Bagi sebagian besar orang, kemenangan rasanya manis dan kekalahan rasanya pahit. Tapi bagi orang-orang tertentu itu sebaliknya. Kemenangan berasa pahit, dan kekalahan berasa manis." Abah Leman menambahkan.

Ahmad Jalu sedikit tidak pecaya dengan ucapan tersebut, "Ah, masa sih, Bah?"

"Bagi orang-orang tertentu, dalam hal ini yang memiliki iman lebih tinggi, kemenangan adalah kepahitan. Kemenangan menduduki jabatan, bagi kelompok orang ini adalah amanah yang berat yang harus jaga. Hidupnya akan lebih pusing karena memikirkan orang banyak, waktu bersama keluarga akan berkurang demi mengayomi warganya. Kalau ada kesalahan sedikit saja, akan tampak terlihat besar. Warga akan langsung menyorot dan mempertanyakan. Apalagi warga yang tidak suka, akan langsung menyerang seolah-olah melakukan kesalahan yang besar. Itu sebabnya, kemenangan meraih jabatan sebenarnya menikmati rasa pahit yang banyak," ungkap Abah Leman.

Ahmad Jalu mengangguk-anggukkan kepala, "Kalau kekalahan itu manis, maksudnya apa?"

"Masa kamu tidak bisa mencari tahu sendiri, tinggal kebalikannya saja. Coba, kamu sebutkan. Ini namanya diskusi. Jangan hanya mau disuapi terus," Abah Leman setengah meledek.

"Kekalahan terasa manis, jika kita jadikan kekalahan sebagai sarana untuk mengoreksi diri, mengakui ada yang lebih baik dari diri kita, dan memberikan kesempatan untuk terus belajar serta memperbaiki diri sendiri. Kira-kira begitu, Bah," kata Ahmad Jalu.

"Wah, analisis yang bagus," Abah Leman mengacungkan jempolnya. Katanya, "Kalau kita mau lihat sejarah, orang-orang besar yang mengubah peradaban manusia saat ini adalah mereka yang banyak mengalami kekalahan dan kegagalan dalam bidang yang ditekuninya. Albert Einstein, saat anak-anak dikeluarkan dari sekolah karena dianggap bodoh. Dalam dunia Islam, ada Imam Ibnu Hajar Asqalani, yang hampir kabur dari pesantren karena merasa tidak sanggup mengikuti pelajaran. Thomas Alfa Edison, ribuan kali melakukan percobaan sebelum berhasil menemukan lampu pijar. Tapi mereka tidak larut dalam kegagalan atau kekalahan. Mereka bangkit dari kekalahan. Dan sekarang kita mengetahui kalau orang tersebut orang yang besar karena keilmuan dan karyanya. Kekalahan sesungguhnya adalah ketika kita larut dan tidak mampu bangkit dari kekalahan tersebut."

Ahmad Jalu mengangguk-angguk meresapi penjelasan Abah Leman. Di saat bersamaan, beberapa teman sekolah Ahmad Jalu datang, "Yuk, ah. Langsung berangkat!" ajak seseorang diantara mereka.
 
"Datang-datang, kok tidak ucapkan salam," tegur Abah Leman.

"Maaf, Bah. Assalamu alaikum...,” sapa mereka, memberi salam.

Abah  Leman dan Ahmad Jalu membalas salam. Teman-teman Ahmad Jalu duduk di teras. Tampak, mereka berbicara kecil dengan Ahmad Jalu seolah ingin segera berangkat.
 
"Sedikit lagi, Nak. Kebanyakan orang kita, selain susah menerima kekalahan, juga cenderung mencari kambing hitam. Mereka bukan mengoreksi kekurangan yang ada pada diri sendiri, tapi justru menyalahkan pihak-pihak lain. Ini jelas tidak bagus," katanya. "Kalian di sekolah, sudah belajar demokrasi dengan adanya pemilihan ketua OSIS. Menerima kekalahan dengan lapang dada merupakan dinamika demokrasi yang harus kalian terima."

"Tapi, kami sudah terlanjur akan menemui kepala sekolah, Bah," sergah Ahmad Jalu.

"Silahkan kalian pergi. Datang baik-baik. Sampaikan maksud kalian baik-baik. Jika kalian memang ada indikasi kecurangan dalam pemilihan OSIS kemarin, kalian siapkan buktinya. Tapi jangan dibuat-buat.”

“Terima kasih, Bah.”

"Kalau hasilnya tidak sesuai yang kalian inginkan, kalian jangan kecewa apalagi marah-marah. Terima saja. Kalian bisa tetap menjadi pihak yang mengkritisi kebijakan ketua OSIS dalam menjalankan tugasnya. Kalau dalam istilah demokrasi, menjadi pihak oposisi. Pihak ini bukanlah lawan atau pihak yang menjegal, tapi pihak yang melengkapi pemikiran setiap kebijakan pemerintah. Paham!"

Ahmad Jalu dan teman-temannya mengangguk. Mereka kemudian berdiri dan bergegas melangkah meninggalkan Abah Leman yang berdiri tersenyum. Di langit, panas matahari mulai terasa. ***


Menteng, Jakarta, 26/1/2016
Editor    : Ai


[Ikuti RiauBernas.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar